27 August, 2007

Masih ada ruang pendidikan GRATISKAH buat orang miskin?


Ngomongin pendidikan memang tidak akan pernah lepas dari kebodohan bangsa ini. Secara kasat mata pendidikan di Indonesia semakin hari semakin terpuruk, karena beberapa faktor yang menjadikan semua ini menuju kehancurannnya pendidikan negeri yang tercinta ini.

Satu hal yang sangat terbebankan untuk pendidikan saat ini adalah betapa mahalnya mencari ilmu (pendidikan). Mahalnya pendidikan ini akan berdampak pada kita semua kaum yang tidak mampu, semakin hari kita akan tersingkirkan secara berlahan dengan pendidikan, karena orang yang terlahir dari pendidikan yang tinggi adalah orang-orang yang beruang, dan kita sebagai orang miskin hanya bisa tersenyum dan mengigit jari.

Jadi,
1. masih adakah cara untuk mencari pendidikan yang GRATIS?
2. dimana bisa menemukan pendidikan yang GRATIS?
3. apakah orang miskintidak bolek mengenyam pendidkan?

Farlan - KM

2 comments:

Rahadian P. Paramita said...

Pendidikan harus murah. Banyak sekali bukti yang sudah bis kita lihat. Jembrana di Bali, atau praktek teman-teman di Salatiga.

Yang membuat rumit sebenarnya kan cuma birokrasinya saja. Kalau birokrasi dipangkas, nyatanya pendidikan bisa dimurahkan.

Jadi, usulnya, lupakan DIKNAS. Kembali ke DInas Pendidikan. Tugas Pemerintas pusat hanyalah menyediakan dana, lalu berdayakan pemerintah lokal. Selesai kan?

Anonymous said...

Pertanyaan itu sejak dulu sudah ada dan masih relevan ditanyakan lagi saat ini. Biaya ratusan ribu sampai jutaan rupiah per-tahunnya (terutama untuk pendidikan
menengah dan universitas) tidak perlu dikaji lagi, sudah dapat dikatakan tentu sangat memberatkan keluarga miskin di Indonesia yang rata-rata penghasilannya hanya 1,5 juta per-tahun.

Beberapa lembaga sudah mengembangkan bantuan baik dalam bentuk bea siswa maupun membuat sekolah gratis seperti yang dilakukan Rumah Zakat Indonesia bersama Cempor di Bandung. (lihat liputannya di http://www.kompas.com/ver1/Dikbud/0708/13/195702.htm)

Namun ini harus dilihat sebagai dukungan yang sifatnya sementara saja. Ada beberapa prinsip yang harus terus menerus diperjuangkan

Pertama, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak dasar warganya, termasuk pendidikan. Inisiatif masyarakat tidak dapat membuat pemerintah melalaikan kewajibannya. Apalagi mengklaim hasil sebagai keberhasilan mereka.

Kedua, akses pendidikan hanyalah "pintu masuk" untuk memberikan kesempatan orang merubah nasibnya. Tetapi tanpa merubah pradigma dan pendekatan pembelajarannya,
kita tidak memberikan kontribusi pada siswa untuk merubah nasibnya. Justru kita mendorong mereka mengekalkan sistem "yang tidak adil" yang selama ini menghambat perubahan nasib mereka.

Ketiga, pendidikan harusnya kontekstual yang di dalamnya terkait berbagai isu konkrit, seperti ekonomi maupun politik. Melihat setting pendidikan melulu dari aspek teknik pembelajaran tidak banyak memberikan kontribusi sosial yang diperlukan. pendekatan atomistik (didasari paradigma pendidikan liberal) membuat kita banyak bertumpu pada peningkatan dan perubahan mutu personal daripada mengkritisi sistem sosial.

Dalam kacamata itu, meminta pemerintah mengalokasikan biaya bagi pendidikan adalah tagihan bukan permintaan bantuan. Siapapun harus berani mengatakan tidak kepada kebijakan atau program yang mengalihkan kewajiban pemerintah menjadi kewajiban masyarakat (contohnya seperti UU tentang Badan Hukum Pendidikan)

Kedua, menolak penyeragaman dan indoktrinasi kurikulum. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan menu yang
sudah teruji, komunitas mempunyai kewenangan untuk memilih menu yang disediakan tergantung kebutuhan dan
karakteristik masing-masing.

Dalam mimpi saya, mata pelajaran wajib jumlahnya tidak lebih dari 3-4 matapelajaran saja. Sisanya mata pelajaran dipilih secara bebas oleh siswa berdasarkan dampingan dari guru. pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kualitas pendampingan, sarana, biaya yang diperlukan selama proses tersebut berlangsung.

Jangan berhenti pada pendidikan gratis. Jangan beri pemerintah cek kosong memanfaatkan kita dengan "bantuannya". Kita harus bersikap seperti pemilik sah negeri ini. pemerintah harus diganti namanya menjadi pelayan kita semua.

Dan