24 April, 2005

Inovasi Sekolah Alternatif Sulit Diterapkan di Sekolah Reguler

Temans, tertarikkah anda semua untuk membuktikan bahwa judul artikel ini tidak sepenuhnya benar?
_______________________________


Inovasi Sekolah Alternatif Sulit Diterapkan di Sekolah Reguler

Jakarta, Kompas - Inovasi-inovasi yang ditemukan sekolah alternatif, yang sebenarnya menjadi impian dalam dunia pendidikan, masih sulit diadopsi menjadi arus utama dalam pendidikan di Indonesia. Masalahnya karena terbentur pada persoalan guru dan lembaga pendidikan guru yang ada saat ini. Mereka yang mempelajari ilmu pendidikan masih sulit untuk berpikir seperti yang dipraktikkan di sekolah-sekolah alternatif.

Pendapat tersebut mengemuka dalam diskusi informal tentang pendidikan alternatif di Redaksi Kompas, Kamis (31/3), yang menghadirkan Bahruddin, aktivis pendidikan alternatif dari Salatiga, Jawa Tengah. Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah dosen dan aktivis yang bergerak di bidang pendidikan, di antaranya Mussadiq Musbach dari Universitas Indonesia (UI) serta Jimmy Paat, Susi Fitri, dan Irsyad Ridho dari Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Menurut Susi Fitri, belajar tanpa harus memisah-misahkan subyek mata pelajaran, menggabungkan antara aspek kognitif, ilmu pengetahuan, dan kerja tidak dibicarakan dalam ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan dan psikologi justru cenderung memisah-misahkan mata pelajaran satu dengan yang lain, sebagaimana juga tercermin dalam kurikulum. Fitri meragukan apakah dosen-dosen di lembaga pendidikan guru dapat mengubah materi dan cara mengajar yang selama ini dipraktikkan.

Pendapat senada dikemukakan oleh Jimmy Paat. Menurut Jimmy, konsep yang menempatkan guru dan murid dalam posisi sama-sama belajar merupakan sebuah hal yang bertolak belakang dengan apa yang diajarkan dalam ilmu pendidikan. Menurut Jimmy, belajar dengan cara yang menyenangkan, memberi kebebasan seluas-luasnya kepada murid-asal tidak mengganggu pihak lain-merupakan prinsip-prinsip yang diketahui oleh mereka yang belajar pedagogi. "Namun, hingga sejauh ini mereka tidak bisa mempraktikkannya di lapangan," kata Jimmy.

Bekal keterampilan
Mussadiq menyatakan perlunya pendidikan alternatif menyediakan tempat bagi mereka yang mau langsung bekerja setelah tamat SMP. Akan tetapi, menurut Bahruddin, keterampilan pada tingkat pendidikan dasar mesti ditanggapi secara hati-hati. Keterampilan yang diajarkan kepada anak sekadar untuk terampil, bekerja secara mekanistis, bisa diartikan merampas hak anak untuk belajar lebih lanjut. Bahruddin berpendapat, bekal keterampilan pada tingkat pendidikan dasar sebaiknya hanya jadi sarana dan media belajar, bukan justru menjadi tujuan.

Mussadiq sepakat bahwa keterampilan yang diberikan pada pendidikan dasar tidak sekadar memberikan keterampilan yang bersifat mekanistik, tetapi juga yang memberikan kecakapan untuk hidup. Akan tetapi, ia juga mengatakan dalam lingkungan tertentu di- perlukan pula pendidikan keterampilan yang bersifat praktis. Ini agar anak bisa bekerja bila putus sekolah. (wis)

3 comments:

Anonymous said...

mungkin sekolah alam menjadi pilihan.... hasilnya ketika ujian nasional dibanding dengan sekolah reguler juga tidak kalah tuh....
salah satu sekolah yang aku kenal adalah sekolah alam arridho semarang
http://sekolahalamarridho.wordpress.com

Rahadian P. Paramita said...

betul pak. sekolah alam sangat menarik, terutama karena isu lingkungan belakangan ini yang sedang gencar-gencarnya... Semakin banyak sekolah alam, banyak pula generasi yang akan datang yang lebih ramah lingkungan. Salam!

Anonymous said...

(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at 2 Mei 2008)

Strategi Pendidikan Milenium III
(Tengkulak Ilmu: Rabunnya Intelektual Ilmiah)
Oleh: Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. MANUSIA adalah binatang yang menggunakan peralatan. Tanpa peralatan, ia bukan apa-apa. Dengan peralatan, ia adalah segala-galanya (Thomas Carlyle).

DALAM momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008, sangat tepat berbenah diri. Banyak kalangan menilai betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dibanding bangsa lain. Ini ditandai dengan produktivitas kerja rendah sehingga ekonomi lemah, karena tidak efesien, efektif dan produktif dalam mengelola sumber daya alam yang meski begitu melimpah.

Lalu, mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah?

KAPITAL manusia adalah kekayaan sebuah bangsa dan negara, sama halnya seperti pabrik, perumahan, mesin-mesin, dan modal fisik lainnya. Diakui dimensi teknologi, strategi, aliansi global dan inovasi merupakan komponen penting yang akan mempengaruhi keuggulan kompetitif pada masa depan. Namun demikian, komponen itu masih bergantung pada kembampuan manusia (Gary S. Becker).

Dalam ilmu matematika ada acuan dasar sederhana penilaian apa pun, yaitu posisi dan perubahan. Jadi, jika bicara kemajuan pendidikan kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah berkaitan di mana posisinya dan seberapa besar perubahannya dibanding bangsa lain di bidangnya.

Berkaitan dengan perubahan, ada dua cara posisi untuk unggul yaitu bertahan dengan keunggulan lokal dengan fungsi terbatas atau menyerang dengan keunggulan global dengan fungsi luas. Misal, menjadi ahli orang hutan Kalimantan yang endemik, atau menjadi ahli kera seluruh dunia. Jelas, sangat sulit menjadi unggul satu keahlian untuk global diakui secara global, sedang unggul keahlian untuk lokal diakui secara global pun - seperti tentang orang hutan Kalimantan (apalagi tentang gorila), didahului orang (bangsa) lain. Ini terjadi disemua bidang ilmu. Mengapa?

Indonesia (juga negara terkebelakang lain) memang negara yang lebih kemudian merdeka dan berkembang, sehingga kemajuan pendidikan pun belakangan. Umumnya, keunggulan (sekolah) pendidikan di Indonesia hanya mengandalkan keunggulan lisensi, bukan produk inovasi sendiri. Contoh, sekolah (dan universitas) yang dianggap unggul di Kalimantan bila pengajarnya berasal menimba ilmu di sekolah (dan universitas) unggul di pulau Jawa (atau luar negeri). Sedang di Jawa, pengajarnya berasal menimba ilmu di luar negeri. Jika demikian, pendidikan (ilmu pengetahuan dan teknologi) Indonesia atau di daerah tidak akan pernah lebih unggul di banding pusat atau luar negeri. (Ada beberapa sekolah atau universitas yang membanggakan pengajarnya lulusan universitas bergengsi atau menonjolkan studi pustaka di Jawa dan luar negeri. Artinya, ini sekadar tengkulak atau makelar (broker) ilmu dan teknologi). Dan memang, selalu, beban lebih berat bagi apa dan siapa pun yang terkebelakang karena harus melebihi kecepatan lepas (velocity of escape), kemampuan kemajuan yang unggul di depan untuk menang. Perlu kemauan keras, kerja keras dan strategi tepat mengingat banyak hal terbatas.

WALAUPUN Anda berada pada jalan yang benar, maka akan tergilas jika Anda cuma duduk di sana (Will Roger).

Lalu, mengapa otak orang lain unggul? Ada contoh menarik, Sabtu 30 Juli 2005 lalu, Michael Brown dari California Institute of Technology mengumumkan “Keluarkan pena. Bersiaplah menulis ulang buku teks!”. Astronom Amerika Serikat ini, mengklaim menemukan planet ke-10 dalam sistem tata surya yang diberi nama 2003-UB313, planet terjauh dari matahari, berdiameter 3.000 kilometer atau satu setengah kali dari Pluto. Planet ini pertama kali terlihat lewat teleskop Samuel Oschin di Observatorium Polmar dan teleskop 8m Gemini di Mauna Kea pada 21 Oktober 2003, kemudian tak nampak hingga 8 Januari 2005, 15 bulan kemudian.

Sebuah penemuan kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa, yang sebenarnya biasa saja dan mungkin terjadi di Indonesia andai ilmuwannya memiliki alat teleskop serupa. Tanpa teleskop itu, ketika memandang langit mata kita rabun, sehingga yang terlihat hanya langit malam dengan kerlip bintang semata. Sejarah mencatat, ilmuwan penemu besar sering ada hubungan dengan kemampuannya merancang atau mencipta alat penelitian sendiri. Tycho Brahe membuat sekstan (busur derajat) pengamatan benda langit, Johannes Kepler dengan bola langit sebagai peta astronomi, Isaac Newton membuat teleskop refleksi pertama yang menjadi acuan teleskop sekarang, atau Robert Hooke merancang mikroskop sendiri. Dan, alat teknologi (hardware) pengamatan berjasa mendapatkan ilmu pengetahuan ini disebut radas, pasangan alat penelitian (software) pengetahuan sistematis disebut teori.

ILMUWAN kuno kadang menekankan pentingnya seorang ilmuwan membuat alat penelitian sendiri. Merancang dan membuat sesuatu alat adalah sebuah cabang keahlian ilmiah (Peter B. Medawar).

Lalu, sampai di manakah perkembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi) di negara lain? Untuk (ilmu) pengetahuan sosial, di milenium ketiga kesejajaran dan keterpaduannya dengan ilmu pengetahuan alam, hangat di berbagai belahan dunia. Di ujung tahun 2007 lalu, Gerhard Ertl, pemenang Nobel Kimia tahun itu, kembali mengemukakan bahwa ilmuwan harus menerobos batasan disiplin ilmu untuk menemukan pemecahan beberapa pertanyaan tantangan besar belum terjawab bagi ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan menyatu seiring waktu. Banyak ilmuwan peserta forum bergengsi itu menjelaskan tugas penting ke depan yang harus diselesaikan berkenaan masalah batas, batasan atau titik temu pada dua atau lebih disiplin ilmu. Kemudian sejalan itu, tanggal 28 – 30 Maret 2008 lalu, di Universitas Warwick, Warwick, Inggris, berlangsung British Sociological Association (BSA) Annual Conference 2008, dengan tema Social Worlds, Natural Worlds, mengangkat pula debat perseteruan terkini yaitu batas, hubungan dan paduan (ilmu) pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dalam pengembangan teori (ilmu) sosial dan penelitian empiris, mencoba menjawab pertanyaan kompleks yang selalu mengemuka di abad ke 21 dalam memahami umat manusia. Berikutnya, tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008, di Universitas Melbourne dengan tema Re-imagining Sociology.

Ini peluang momentum besar (yang hanya satu kali seumur dunia) bagi siapa pun, baik universitas atau bangsa Indonesia untuk berlomba memecahkan masalah membuktikan kemajuan, keunggulan dan kehormatan sumber daya manusianya di milenium ketiga ini. (Dari pengalaman, pandangan rendah bangsa lain terhadap Indonesia (dan pribadi), tergantung kualitas kita. Kenyataannya, ilmuwan besar di universitas besar di benua Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia pun, dengan rendah hati mau belajar (paradigma Total Qinimain Zain: The (R)Evolution of Social Science: The New Paradigm Scientific System of Science dengan saya) selama apa yang kita miliki lebih unggul dari mereka.

SUMBER daya manusia harus didefinisikan bukan dengan apa yang sumber daya manusia lakukan, tetapi dengan apa yang sumber daya manusia hasilkan (David Ulrich).

Akhirnya, di manakah tempat pendidikan terbaik belajar untuk unggul secara lokal dan global di banding bangsa lain? Di University of Reality di kehidupan sekitar! Dengan syarat (mencipta dan) memiliki alat teknologi (hardware) atau alat teori (software) hebat sendiri. Jika tidak, semua mata intelektual ilmiah rabun, karena belajar dan memahami kehidupan semesta dengan otak telanjang adalah sulit bahkan mustahil, sama halnya mencoba mengamati bintang di langit dan bakteri di tanah dengan mata telanjang tanpa teleskop dan mikroskop. Sekarang rebut peluang (terutama untuk akademisi), bangsa Indonesia dan dunia krisis kini membutuhkan Galileo Galilei, Francis Bacon, dan Rene Descartes muda. Jika tidak, akan hanya menjadi tengkulak ilmu, dan harapan memiliki (serta menjadi) sumberdaya manusia berkualitas lebih unggul daripada bangsa lain hanyalah mimpi. Selamanya.

BODOH betapa pun seseorang akan mampu memandang kritis terhadap apa saja, asal memiliki peralatan sesuai tahapan pemahaman itu (Paulo Freire)

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru, Kalsel, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).