18 November, 2009

Dipecat dari Pesantren, Santri Bunuh Diri



Satu lagi, kasus siswa yang secara tragis bunuh diri karena dikeluarkan dari lembaga pendidikan. "Kenakalan"nya yang dianggap sudah melebihi batas, tidak dapat ditolerir lagi, sehingga pihak pengelola pesantren terpaksa melayangkan surat DO.

Menurut kabar, anak ini pernah dibina langsung di rumah gurunya, dan keadaan bisa membaik. Ia mulai memiliki kesibukan baru, dan kebiasaan buruknya mulai berkurang. Tapi kebijakan ini tidak bisa berlangsung lama, karena tidak dimungkinkan seorang murid berlama-lama di rumah gurunya. Ia harus kembali ke asrama, Berikut kutipan pengakuan dari sang guru, seperti yang dituliskannya di Politikana.com:

Dua kali dia pernah hendak dipulangkan ke orangtuanya karena banyak melanggar disiplin, dan 2 kali itu pula orangtuanya bermohon agar Cibro jangan dipecat. Atas jaminan saya, maka kala itu pihak pengasuhpun membatalkan surat pemecatan. Bahkan jaminan yang kedua, saya harus menempatkan dia serumah dengan saya, dan ditemani oleh seorang teman karibnya agar dia tak merasa sendirian....
Dan selama tinggal di rumah itu, berbagai aktifitas positif saya ciptakan untuknya, termasuk mewajibkannya aktif di Politikana. Saya belikan dia buku-buku ringan, kebanyakan buku cerita humor agar dia bisa lebih santai. Maka tak heran, artikel2nya kebanyakan hanyalah copasan belaka!! Selain itu saya juga berkonsultasi dengan aktivis BRANTAS dalam menghilangkan kebiasaan ngelem itu. Atas saran mereka, saya melakukan terapi, dengan minum air kelapa hijau, madu, telor ayam, dll... termasuk mengkonsumsi klorofil yang sengaja saya sediakan buatnya...
Selepas hari raya Idul Fitri kemaren, oleh pihak pengasuh dia disarankan untuk kembali ke asrama. Dia sudah dianggap sehat dan tak boleh berlama2 lagi bermukim di rumah guru. Akhirnya dia pun kembali bergabung dengan teman2nya di asrama.... Dan di setiap kesempatan, saya tetap menyempatkan diri untuk memantau aktifitasnya... Tapi karena di asrama ada bapak/pamong asrama, maka saya mengurangi diri dalam memantaunya, lebih2 karena kesibukan kerja dan kuliah saya yang lumayan banyak...

Yudi Cahyadi Cibro, adalah seorang anak berusia 15 tahun. Ia tercatat sebagai siswa/santri di Pesantren Al-Manar, Jalan Karya Bhakti Medan Johor. Siswa Tsanawiyah (setara SMP) ini dikeluarkan dari asramanya karena berulang kali ketahuan merokok, ngelem dan keluar asrama tanpa izin. Ia kemudian nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di toilet asrama pesantren, Jumat (13/11) siang.

Aktifitasnya di Politikana.com, mengundang banyak decak kagum pembaca lain. Sebagai anak berusia 15 tahun, banyak yang berpendapat bahwa kecerdasannya jauh melebihi usianya. Meski dalam aktifitasnya di Politikana, sang guru berperan sangat besar sebagai orang yang membimbing, memberinya asupan informasi, dan bimbingan, semangat anak itu sungguh sebuah potensi yang kiranya tidak main-main.

Sayang sekali, kebiasaan merokok dan ngelem, yang akhirnya tertangkap tangan oleh pihak pengelola asrama dan berujung keluarnya surat DO, meruntuhkan semangat hidupnya. Tanggal 11 November 2009 ia menerima surat itu, hari berikutnya ia dilaporkan teman-temannya menjadi murung, dan tanggal 13 November 2009, tampaknya ia memutuskan untuk meninggalkan semua aktifitasnya di dunia, nyata dan maya. Selamanya.

Melihat dari sisi kependidikan, bagaimana seharusnya lembaga pendidikan punya tanggung jawab dalam mendidik siswa/santrinya, hal seperti ini selalu menjadi ganjalan dihati. Kenapa, lembaga pendidikan kita selama ini seolah-olah hanya berperan seperti lembaga penitipan? Seperti tempat parkir, dimana Anda bisa menitipkan motor/mobil, tapi tukang parkir tidak peduli dengan kondisi kendaraan Anda. Mau ban bocor, bensin habis, rem blong, buat mereka selama konsumen bayar parkir, silakan nangkring.

Saya tidak mengarahkan tuduhan ini pada pengelola pesantren dimana Cibro akhirnya meninggal dunia. Saya mencoba melihat gejala, fenomena yang mumpung belum membawa korban lebih banyak, sebaiknya diatasi dari sekarang.

Apa yang bisa kita lakukan? Mengubah paradigma pengelolaan sekolah? Mengubah paradigma para pengelola sekolah? Mengubah paradigma pendidikan itu sendiri?

Harusnya ada cara lain, seperti kisah berikut, yang saya ambil dari tulisan di Politikana.com untuk cibro:

Once in Shao Lin monastery, a young monk was caught stealing from his fellow monks. That was not the first time, and all his fellow monks ran out of patience and petitioned the abbot to expel him. The abbot refused, and the angry monks threatened to walk out of the monastery.
To this threat, the abbot replied calmly thus, "You've all known already the difference between right and wrong. I know you're all good persons, and you'll all do well outside this monastery. This friend of yours, on the other hand, doesn't the difference between right and wrong. I can not let him go in his present condition. He needs me to teach him, and that's what I'm here for. Go, if you all want to go. He will stay here. So will I".
It is said that the young monk was so moved by the abbot's speech that he mended his way immediately. It is also said that later he became one of the abbots in Shao Lin's long history. His angry fellow monks? They stayed, of course.


Selamat jalan, kawan Cibro. Apapun faktanya, saya tidak akan pernah mengubah rasa simpati saya pada apa yang telah menimpamu. Semoga keluargamu diberi ketabahan oleh Allah, SWT. Amin, ya robbal alamin.

3 comments:

jemiro said...

padahal di pesantren, sayang mengapa harus bunuh diri, sayang sekali :(
semoga peristiwa ini tidak lagi terjadi

YoPs said...

Justru karena di pesantren makanya ia bunuh diri. Coba di psikolog atau lembaga pendidikan yg lebih dapat memahami potensi dan latar belakang perilaku anak daripada sekedar menilai benar-salah berdasar agama. Mungkin dia akan lebih baik.

Ayu marcy said...

Pesantren memang kelihatan nya lembaga yg memperbaiki mental pdhal justru menyudutkan mental. Di mana kesalahan kita tdk diampuni. Dimana kita harus dituntut begini begitu tanpa kecuali. Berisi anak-anak remaja yg tidak jarang saling bully dan mendiskriminasi satu sama lain. Saya sndiri smpat berpikir utk bunuh diri saat di pesantren.