08 February, 2010

Literasi Setengah Hati


Literasi, dalam program pemerintah seringkali diterjemahkan lurus menjadi program Calistung, Baca-Tulis-Hitung. Paling tidak itulah program awal yang berkaitan dengan literasi, karena memang yang menjadi target adalah angka melek-huruf rakyat Indonesia. Standar minimum melek huruf di Indonesia memang bisa membaca, baik itu huruf latin, dan/atau huruf Arab. Secara lengkap, dijelaskan bahwa melek huruf berarti mampu mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan.

Program melek huruf sudah menjadi program PBB, karena dipercaya melek huruf memiliki kaitan sangat erat dengan kemiskinan. Untuk itu, hari melek huruf diperingati setiap tahunnya, pada bulan September, tepatnya pada tanggal 8 September. UNESCO, mendeskripsikan hari melek huruf, atau Literacy Day sebagai berikut:
September 8th was proclaimed International Literacy Day by UNESCO on November 17, 1965. It was first celebrated in 1966. Its aim is to highlight the importance of literacy to individuals, communities and societies. On International Literacy Day each year, UNESCO reminds the international community of the status of literacy and adult learning globally. Celebrations take place around the world. Some 774 million adults lack minimum literacy skills; one in five adults is still not literate and two-thirds of them are women; 72.1 million children are out-of-school and many more attend irregularly or drop out. – UNESCO
Berdasarkan informasi di web tempointeraktif.com, pada semester pertama 2006, jumlah buta aksara mencapai 8,36 persen atau 3.182.492 orang. Pemerintah menargetkan buta aksara usia 15 tahun ke atas, turun menjadi 5 persen pada 2009. Lengkapnya, berikut kutipan dari tempointeraktif.com:
Pada tahun 2004 angkanya mencapai 15,4 juta orang, atau 10,21 persen dari jumlah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas. Tahun 2006 jumlahnya turun menjadi 12,88 juta (8,44 persen), dan tahun 2007 turun menjadi 11,87 juta (7,33 persen).
Hingga tahun 2009, Indonesia tercatat negara dengan 92% penduduknya sudah melek huruf, berdasarkan data UNDP tahun 2009. Pencapaian ini sungguh tampak hebat, karena jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan sudah mencapai 240-an juta per 2009. Angka melek huruf ini berlaku untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas.


Tapi dibalik angka melek huruf itu, ada data mengenai kemampuan membaca yang diteliti oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Lembaga riset ini melakukan penelitian 5 tahun sekali, dimulai pada tahun 2001. Beberapa negara di dunia sudah diteliti, dan data-datanya juga diterbitkan untuk umum. Indonesia masuk dalam data tersebut, pada tahun 2006, yang menunjukkan bahwa angka partisipan pendidikan di Indonesia, masih didominasi oleh kalangan pembaca 'pas-pasan'.

Artinya, ada potensi 54% dari penduduk yang melek huruf di Indonesia (waktu itu), baru menunjukkan kemampuan baca yang pas-pasan. Hanya sedikit sekali jumlah penduduk yang sudah memiliki kemampuan membaca yang baik, bahkan menurut standar PIRLS, yang memiliki kemampuan baca mahir kurang dari satu persen! Ini baru membaca teks, belum kemampuan dalam berhitung. Sementara, ada 25% lagi yang statusnya tidak jelas. Tapi kita masih disibukkan dengan UN, yang tidak jelas mau mengukur apa.

Kemampuan membaca, sangat menentukan kualitas intelektual penduduk, karena melek huruf saja tidak menjamin wawasan mereka kemudian jadi luas. Melek huruf saja baru menjamin satu hal, mengenali abjad dan bisa membaca. Sementara dari definisi di atas, selain mampu mengidentifikasi dan memahami, diperlukan kemampuan mengolah dan mengkomunikasikan kembali.

Jadi, sementara sibuk dengan program memberantas buta huruf, harus mulai diseriuskan upaya meningkatkan kemampuan membaca bangsa ini, sehingga mencapai kualitas literasi yang maksimal. Sudah mulai tumbuh komunitas perpustakaan keliling, atau taman bacaan yang lebih ilmiah, bukan sekedar komik dan bacaan hiburan lainnya.

Pada saat yang sama, media informasi semakin berkembang, dan menuju pencapaian yang luar biasa cepatnya. Setelah ada radio dan televisi, kini ada internet, yang tidak saja menyuguhkan teks, tapi juga bahasa rupa dan rungu. Kita butuh tidak saja literasi teks, tapi juga literasi visual. Selain itu internet menawarkan lingkungan baru, dengan aturan baru pula. Kita yang tidak literate, hanya akan jadi penonton, atau paling tidak cuma bisa mengkonsumsinya. Lalu muncullah kasus-kasus 'pelanggaran' yang belakangan rame, upaya reproduksi tanpa mengindahkan etika.

Dengan informasi di atas, saya sih tidak terlalu heran kalau kasus-kasus akan bermunculan semakin banyak. Literasi jaman sekarang, sudah tidak bisa lagi berkutat seputar membaca teks, tetapi juga bagaimana mengelola informasi itu menjadi sesuatu yang berguna. Dan itu semua, hanya bisa berjalan kalau kita tahu tata-kramanya.

Karenanya, media literacy, atau melek media sudah sepantasnya jadi perhatian kita. Jangan sampai diperdaya informasi, berdayalah dengan informasi!

[ via medialiterasi.co.cc ]

1 comment:

Sriayu said...

Yap stuja banget. Banyak mahasiswa mentok nulis skripsi krn terbentur masalah referensi. Kendala ini mungkin dpt di minimalisir jika minat baca telah terbentuk sejak dini. Apalagi diera digital skrg, minat media perlu ditumbuh kembangkan.

Senang menemukan site ini. Jika ada wkt mampir dong k rmh maya Q.

Salam pendidikan