Sayang ini tidak terjadi di sekolah. Sekolah hanya berperan menjadi pelaksana (baca: operator) dari sekian banyak target kurikulum. Sejak Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diberlakukan sampai Kurikulum 2004 belum nampak kesungguhan dalam menggali potensi lokal sebagai bahan pembelajaran. Padahal, seperti dilakukan di ruang serba guna ini, alat bantu pembelajaran sangatlah sederhana. Potongan koran, sedotan minuman bekas, denah desa, tukang bakso, anggota keluarga, teman-teman, semuanya dapat digunakan sebagai alat bantu pembelajaran. Murah dan kontekstual.
Salah satu kelemahan mendasar yang sulit dikikis dari kegiatan pendidikan di sekolah adalah kesalahkaprahan tentang kecerdasan anak. Kecerdasan cenderung diukur hanya berdasarkan aspek akademik, yakni sejauh mana anak menguasai materi pelajaran. Padahal di luar aspek akademik masih ada banyak jenis kecerdasan lain yang perlu diperhitungkan, seperti estetika, sosial, dan spiritual.
Padahal dua tahun lalu KalyANamandira memulai rumah belajar ini dengan tujuan yang sungguh sederhana. Sekitar dua tahun lalu beberapa orang tua datang minta tolong agar KalyANamandira (KM) membuka les tambahan menjelang ujian nasional. Inilah alternatif terakhir setelah mereka tidak mampu membiayai anaknya ikut bimbingan belajar atau les tambahan di sekolahnya.
Jadilah ruangan serbaguna milik RW 09 berubah menjadi tempat belajar setiap akhir minggu. Lebih dari 50 anak-anak usia sekolah dasar dan menengah belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Para pendamping membimbing mereka menjawab dan memecahkan soal Matematika dan Bahasa Inggris di buku atau lembar kerja yang mereka pakai di sekolah masing-masing. Tidak ada niat lebih daripada membantu anak-anak ini melewati ujian nasional. Kadung sudah didengung-degungkan ujian nasional menjadi titik ”hidup atau mati” seorang siswa.
Namun bagi pendamping KalyANamandira sendiri ini menjadi refleksi penting. Proses pembelajaran bersama komunitas memberikan prespektif pendidikan yang berbeda. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya ketika mengembangkan kegiatan di sekolah formal bersama siswa.
Salah satu yang bergulir menjadi pembicaraan adalah begitu jauhnya jarak antara pendidikan dengan keseharian anak-anak. Terutama pemukiman kumuh kota. Pendidikan sekolah yang diberikan, dan dengan setia kita ikuti, tidak memberikan bekal bagi anak-anak untuk mengkaji apalagi menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Masalah yang dihadapi keluarganya. Masalah yang dihadapi lingkungannya.
Sekarang anak-anak yang aktif hanya sekitar 15 orang saja. Biasanya jumlah ini bertambah jika ada acara nonton film atau jalan-jalan. Setiap hari Sabtu dan Minggu mereka belajar Bahasa Inggris dan matematika.
”Tantangannya adalah menjaga agar proses belajar berlangsung menyenangkan. Anak-anak tentunya merasa jenuh dan terganggu konsentrasinya” Kata Fahmi. Kadang-kadang pendamping juga kesulitan mengembangkan ide proses belajar menyenangkan. Buku-buku referensi metode dan teknik belajar dari berbagai lembaga menjadi acuan penyusun alur pembelajar. Terlebih lagi, diakui pendamping adalah relawan dari berbagai kalangan belum ahli menyusun kurikulum sendiri. ”Memodifikasi proses pembelajaran dari referensi atau lembaga lain adalah caranya. Baru itu yang dapat kami lakukan” tambah Fahmi yang mengembangkan alur pembelajaran bahasa Inggris.
Bagaimana dengan anak-anaknya? Ketika ditanya, mereka menyampaikan, bahwa belajar di sini lebih bebas. ”Di sini belajarnya lebih bebas. Kita bisa belajar sambil main-main atau ngegosip” kata Yuli (15 tahun). Mereka juga bisa protes kepada para pendamping. Itu semua tidak dapat dilakukan di sekolah.”Di sekolah malas untuk bertanya. Di sini mah kalo ghak ngerti bisa bebas tanya dan mencari sendiri”. Meski kadang-kadang capek juga. Kalo nanya, bukan langsung dijawab. Kita disuruh nyari sendiri dulu jawabanya” tambah Elan (16 tahun).
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment