”Untuk apa ini. Tanya-tanya modal dagang segala” kata tukang bakso yang kaget dan bingung didatangi kelompok anak-anak dengan kertas dan alat tulis. Berebutan anak-anak menyampaikan, bahwa ini adalah tugas Matematika. Terjadilah tanya jawab di pinggir jalan itu. Diselingi dengan ngobrol lain-lain. Juga kadang berhenti karena tukang bakso harus melayani pembeli yang datang.
Sebenarnya ini bukan wawancara sesungguhnya. Kadang-kadang malah tukang bakso itu yang bertanya. Anak-anak juga sering mengoreksi jawaban dari tukang bakso. Mereka seperti berbagi cerita. ”Kenapa si Mas tidak belanja di pasar Kosambi saja yang lebih murah dan dekat?”sanggah Restu (15 tahun) ketika tukang bakso menyebutkan pasar yang letaknya jauh dari tempat tinggal penjual bakso.
Memang mereka sedang belajar Matematika di rumah belajar Samoja yang dikelola KalyANamandira. Pada awal pembelajaran sore itu belum kelihatan perbedaan cara belajar di tempat ini dengan sekolah. Pendamping pertama-tama menyampaikan tujuan dan proses pembelajaran Matematika sore ini. Anak-anak kemudian dibagi dalam kelompok kecil sekitar 3-4 orang. Mereka diminta untuk mempelajari kertas kerja yang diberikan pendamping. “Mereka akan belajar matematika mengenai harga jual dan harga beli” Kata Fifin, pendamping pelajaran Matematika ini. ”Sebelumnya mereka sudah melakukan simulasi menghitung harga jual dan beli dengan menggunakan potongan iklan-iklan di koran”. Tapi mereka tidak hanya belajar di ruangan. Pendamping lebih jauh meminta mereka mewawancarai pedagang makanan keliling di sekitar pemukiman mereka.
Setelah pulang wawancara, mereka kembali lagi ke ruang serba guna RW dan menyalin hasil perhitungan mereka di kertas plano. Mereka membandingkan selisih harga beli dan harga jual untuk memperoleh angka keuntungan tukang bakso dalam satu hari. Satu persatu mempresentasikan hasil hitungan kelompoknya. Bukan presentasi yang rapih. Riuh rendah dibarengi canda dan komentar anak-anak.
Pendamping meminta kelompok berdiskusi untuk mencari cara untuk meningkatkan keuntungan tukang bakso. Macam-macam solusi yang ditawarkan anak-anak. Mulai dari membeli ke pasar yang lebih murah, memperpanjang waktu berjualan, meningkatkan kebersihan, promosi, sampai memperbanyak berdoa dan shalat. Semua dibahas sehingga muncul gagasan yang cukup realistis diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ini belum berakhir. Pendamping minta agar anak-anak membandingkan keuntungan tersebut dengan perkiraan pengeluaran sehari-hari. Mulai dari uang kontrak rumah dan makan setiap bulannya. Keuntungan dalam sehari yang tadinya kelihatan besar, ternyata tidak banyak dan bahkan kurang untuk menghidupi kehidupan sehari-hari. Bahkan sangat tidak mencukupi untuk membiayai sekolah, jika tukang bakso punya anak setingkat SMP seperti mereka.
”Inilah intinya. Bukan pemahaman hitungan matematika saja. Materi dan logika Matematika digunakan untuk merefleksikan kehidupan sehari-hari mereka” Kata Dan Satriana, ketua Badan Pengurus KalyANamandira. ”Kami percaya bahwa penyerapan materi pelajaran lebih mudah jika didekatkan dengan hal-hal yang mereka kenali akrab. Sebaliknya, kami juga percaya pendidikan seharusnya memberi kontribusi untuk memperkaya cara pandang dan aspek kecerdasan peserta belajar dalam menghadapi hidup sehari-hari”lanjutnya.
Begitulah hampir seluruh proses pembelajaran dirancang untuk sebanyak mungkin menjadi media refleksi mereka terhadap kehidupan sehari-hari dan tentu saja diri mereka sendiri. Demikian juga dengan pelajaran bahasa Inggris yang didampingi oleh Fahmi, seorang mahasiswa sebuah institut koperasi di Jatinangor. Memperkaya kosa kata dan tata bahasa dilakukan dengan diskusi mengenai keluarga, teman-teman, maupun tetangga mereka sendiri. Anak-anak misalnya diminta bercerita mengenai keluarga dan teman-temannya. Mereka kemudian mencatat dan mencari sendiri padanan kata-kata kunci yang dipakai dalam kamus bahasa Inggris. Lagi-lagi, bahasa Inggris dapat digunakan untuk merefleksikan pandangan anak-anak mengenai orang-orang di sekitarnya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment