16 July, 2008

Mahalnya Buku Sekolah

Baru-baru ini Kompas menempatkan berita mengenai harga buku sekolah yang memberatkan sebagai headline beritanya (Kompas, 15/7/2008). Dari beberapa teman yang anaknya bersekolah, kabarnya pola penjualan bukunya bahkan sangat 'tidak etis', semua paket buku untuk satu semester harus dibeli, tidak bisa beli satu persatu. Jadi benarlah Eko Prasetyo yang menulis buku, Orang Miskin Dilarang Sekolah.

Kita tahu bahwa harga-harga memang naik gara-gara BBM ikut naik. Penulis butuh duit, penerbit butuh duit, distributor butuh duit, toko buku butuh duit, maling pun butuh duit. Siapa sih yang nggak butuh duit di jaman kayak gini? Tapi kalau sudah berurusan dengan soal pendidikan, benturannya sulit dihindari.

Banyak kasus, orang-orang miskin yang disubsidi bukannya mengalihkan pendapatannya untuk pendidikan, tetapi untuk hal yang lain. Dan urusan perut adalah prioritas. Bahkan ketika sebuah program bagi-bagi makanan tambahan bergizi untuk anak, supaya orang tua tidak harus belanja, tetap saja uang itu tidak berujung ke biaya pendidikan anaknya.

Kenapa sih buku harus menjadi masalah terus menerus? Padahal pemerintah sudah berupaya membuka ruang agar masyarakat dapat memperoleh buku gratis, dengan mengunduhnya lewat internet. Hmmm.. silakan Anda periksa, buku-buku yang dipasang disana, apakah yang termasuk dalam buku yang dipakai sekolah atau bukan?

Kalau sekolah punya itikad baik, harusnya buku-buku yang sudah ada disana tidak perlu lagi diwajibkan membeli. Tapi kalau ini memang niatnya bisnis, sekolah bisa cari-cari alasan dan malah kucing-kucingan dengan memilih buku yang tidak ada versi gratisnya di internet. Lha, siapa yang tahu?
Buku-buku teks yang dipakai di sekolah tersebut merupakan keluaran dari penerbit buku ternama yang umum dipakai di sekolah. Tidak ada satu buku pun yang direkomendasikan dari buku digital yang disediakan pemerintah di situs web Depdiknas.

- Kompas.com

Sebagai informasi, harga buku dari penerbit rata-rata 30% lebih murah daripada harga buku yang ada di pasaran, atau di toko buku. Marjin yang cukup besar ini memang dinikmati oleh distributornya, atau si toko buku. Kalau tidak begini, memang sulit menjual bukunya. Mana ada toko buku yang mau untung sedikit? Tampaknya sih ada saja, tapi jumlahnya lebih sedikit daripada toko buku yang cari untung besar.

Gimana kalau gak usah pergi ke sekolah aja? Bikin aja sekolah sendiri di rumah. Syaratnya ya tentu saja orang tua harus berani ambil risiko. Ya siap diam di rumah, atau mencari kelompok-kelompok kecil yang mendirikan homeschooling murah. Kalau Homeschooling yang punya 'merk', wah itu mah sama saja dengan sekolah swasta. Biayanya bisa 50 juta!

Keompok-kelompok seperti ini seharusnya bisa membantu masyarakat miskin, agar tidak terus miskin hanya karena tidak bisa ke sekolah. Tanpa lembaga yang namanya sekolah, rasanya masih bisa dicarikan alternatif lain yang bisa mencerdaskan mereka. Pendidikan tidak sama dengan sekolah *formal* kan?

Zemanta Pixie

No comments: