10 August, 2008

Mengukur Hasil Pendidikan Kita

Selama ini, UN masih diperdebatkan sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan kita. Tetapi sayangnya, yang menjadi ukuran hanyalah variabel kecerdasan otak, dan bukan kecerdasan mental. Lalu, ketika tidak banyak anak-anak yang dirasa bisa lolos dari lubang jarum yang namanya UN, ramai-ramai dibuka kelas-kelas akselerasi, bak mesin mobil F-1 yang di 'tune-up' supaya larinya lebih kencang.

Daripada capek-capek mengukur standar keberhasilan pendidikan kita, kenapa tidak coba dengan sesuatu yang lebih sederhana, misalnya seberapa banyak pengguna jalan yang paham akan rambu-rambu di jalan raya? Seberapa banyak orang yang mampu bertahan dalam antrian yang rapi dan terkendali? Seberapa banyak orang yang mampu membedakan mana uang korupsi dan mana hasil diseminasi?

Orang-orang yang korupsi sekarang ini di DPR, adalah produk pendidikan masa lalu, paling tidak kurikulum tahun 70-an. Bahkan di antara mereka ada yang produk 80-an. Kenapa tidak mencoba lebih pintar dengan memperhatikan kegagalan kurikulum yang melahirkan para koruptor itu, lalu segera memperbaikinya.

Dengan cara-cara UN sekarang ini, anak-anak sudah diajarkan bagaimana caranya memperoleh hasil dengan jalan pintas. Tidak perlu sekolah dasar 6 tahun, tidak perlu sekolah menengah 3 tahun, karena jawabannya ada pada kelas akselerasi, atau kursus-kursus. Kursuslah yang mampu menjawab UN, lalu buat apa sekolahan?

Kenapa bersusah payah mengukur standar kependidikan kita, dengan ukuran yang dibuat oleh orang lain? Karena kita memang bangsa kuli, yang bisanya mengekor kebijakan orang lain? Seperti juga presiden yang bisa didikte oleh segerombolan orang dari Amerika yang menamakan dirinya anggota Kongres? Bagaimana presiden kita yang terhormat itu akan merespon surat dari Amerika yang arogan itu?

Halah. Kita dibuat capek dengan sibuk mempermak muka kita demi orang lain. Kita tidak pernah benar-benar mengarahkan pendidikan untuk kepentingan diri kita sendiri. Nyatanya sarjana pertanian nganggur, lantaran tidak ada lagi lahan pertanian. Padahal, katanya negeri ini negeri agraris. Mau jadi negara industri? Kalau tidak bisa bikin inovasi, jangan mimpi!


Enhanced by Zemanta

2 comments:

Keke Naima said...

iya nih kalo di pikir-pikir bertahun-tahun sekolah, nasibnya cuma di tentukan oleh soal pilihan ganda. Yang kalo kita emang lagi beruntung cukup dg menghitung kancing tanpa belajar pun bisa lulus. trus sy jg bingung, jam sekolah makin panjang (kyk org kantoran) tapi bimbel sptnya skrg jg jd kewajiban. Jadi fungsinya sekolah apa dong...? Ribet ya...

Rahadian P. Paramita said...

Yah, beginilah. Sekolah masih dipandang sebagai pabrik tenaga kerja, bukan tujuan memanusiakan manusia... Salam!