23 June, 2006

Lagi-lagi UAN(G)


Ujian Nasional memang kini disingkat UN. Bukan lagi Ujian Akhir Nasional yang disingkat UAN seperti tahun lalu. Tapi seperti yang kita semua tahu, UAN atau UN lagi-lagi menuai polemik.

Perdebatan soal UN ini terkait dengan perbedaan persepsi pemerintah dan DPR dalam mengkaji Pasal 57 dan 58 UU Sisdiknas. Berdasarkan pasal 57 pemerintah berhak menyelenggarakan ujian nasional. Namun, menurut kalangan anggota Komisi X DPR yang dimaksud dalam pasal 57 itu bukan ujian, melainkan evaluasi. Sedangkan, pasal 58 menyebutkan sekolah dan guru yang berhak menyelenggarakan ujian tersebut.

Sebut saja penolakan forum bersama Poros Pelajar yang terdiri dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Pelajar NU (IPNU), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Institute for Education Reform( IER) Paramadina, Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip), Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pendidikan, dan Front Mahasiswa Nasional (FMN). Forum ini memprediksi dalam UN yang diselenggarakan satu kali ini akan banyak yang berguguran, terutama di wilayah pedesaan, anak miskin di perkotaan, dan di daerah bencana serta konflik.

Kenapa proses mengatahui kualitas pendidikan kita ini selalu menuai polemik? Kompas sendiri menilai polemik seputar UN mulai berubah menjadi pembicaraan ngalor ngidul, pembicaraan yang tidak ada gunanya (?) Agak aneh juga, mengingat reputasi Kompas sebagai harian besar yang sangat dihormati.

Coba tengok judul tulisan ini. Benarkah ini masalah UN/UAN atau UANG? Dari sumber yang sama, yaitu Balitbang Depdiknas, dua media mencatat angka yang berbeda. Kompas mencatat Rp 250 Milyar, sedangkan Media Indonesia mencatat 280 Milyar. Angka yang fantastis bukan? Belum lagi dana dari setiap daerah yang dialokasikan melalui APBD, tidak kecil jumlahnya, seperti yang dilakukan di Medan dan Semarang . Semua itu demi menggratiskan UN yang fenomenal ini.

Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proses UN ini? Mereka yang mengelola ratusan milyar itu? Atau para pelajar yang menerima kunci jawaban dari guru-guru mereka? Dengan besaran anggaran seperti ini, siapa yang tidak mati-matian mempertahankan keberadaan UN? Alasan uang pada akhirnya merebak, meski ditutupi dengan berbagai alasan klise yang tidak jelas juntrungannya.

Kecurangan seputar UN
Bicara pelanggaran, memang hal yang lain lagi. Tapi apakah terpikir oleh pemerintah, bahwa mematok kelulusan melalui UN hanya akan membuat sekolah mengakali UN ini dengan memberi kunci jawaban ke siswanya? Apakah kenaikan prosentase kelulusan, dan nilai rata-rata sekonyong-konyong menjadi tolok ukur keberhasilan UN?

Berikut adalah data dari Kompas: untuk SMA, angka kelulusan naik dari 80,76 persen tahun 2005 menjadi 92,50 persen; madrasah aliyah dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen; SMK dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen. Adalah logika yang sederhana, jika sekolah tidak menginginkan reputasi mereka anjlok gara-gara UN. Dan seribu satu cara bisa dilakukan, termasuk mengirim jawaban melalui SMS yang berakhir dengan babak belur-nya seorang siswa di Banten . Hasil UN disana memang dianulir, tapi di tempat lain apa yang terjadi?

Sedemikian terbukanya kecurangan yang terjadi, dan seperti biasa, tidak ada audit yang dibeberkan kepada publik mengenai penyelenggaraan UN kali ini, termasuk UAN tahun lalu, baik dari segi pengelolaan uang, maupun dari segi penyelenggaraan kegiatan. Ingat, UAN yang lalu pemerintah dengan arogan mengeluarkan sistem konversi, agar nilai rata-rata hasil UAN bisa "dipermak". Hmmm...

Pada akhirnya UN hanya mengajarkan kecurangan, dan jalan pintas. Tak tanggung-tanggung, kecurangan itu dilakukan secara sistematis, dan terstruktur. Masih pantaskah kita bicara ngalor-ngidul tentang UN?

Seribu satu pertanyaan, dan sulit mencari jawaban di negeri yang suram ini. Di negeri korupsi ini, uang bisa (baca: sudah) menjadi Tuhan.

No comments: