07 August, 2009

Rendra, Kau Buat Indonesia Berkabung (Lagi)!




Sejak jatuh sakitnya Rendra, hanya satu yang saya khawatirkan. Apakah kita sudah menemukan 'Rendra baru', atau bahkan yang lebih baik darinya? Kekhawatiran ini tentu subjektivitas saya sendiri, mengingat meninggalnya Kang Harry Roesli beberapa tahun yang lalu kini masih menyisakan pertanyaan yang sama. Kita benar-benar kehilangan.

Tahun 1998 adalah masa dimana saya mengenal karya-karya Renda secara lebih intensif, dan menggunakannya sebagai bahan memotivasi diri, memompa keberanian, dan menyandarkan harapan. Tentu saya cuma anak kemarin sore dalam hal membicarakan karya-karya beliau, dan saya memang tidak bermaksud menyombongkan apapun dalam cerita ini.

Ditambah diskusi intens dengan komunitas Supratman 57, kediaman alm. kang Harry, 'sumpah-serapah' atas situasi saat itu dengan mudah melebur jadi energi lain. Pergerakan jadi semakin bertenaga, kenekadan tambah 'membabi-buta', dan pada akhirnya Mei 1998 meletuslah peristiwa itu. Ejakulasi politik tak terhindarkan, meski kita tahu hingga hari ini 'kemenangan' sesaat itu tinggal jadi dongeng belaka.

Sepanjang Februari-Mei 1998, baik di kamar kos atau di panggung-panggung kecil di kampus, syair-syair Rendra dari Potret Pembangunan dalam Puisi dibacakan secara bergantian. Kami buat ia sebagai teman penghantar tidur, agar esok ketika bangun kami tidak lupa. 'Perjuangan' masih panjang, masih membutuhkan energi, pengorbanan, dan keberanian lebih besar lagi. Untaian kata demi kata dari buku itu sungguh dahsyat, tidak saja menginspirasi, tapi juga benar-benar mengobarkan semangat.

Karena Rendra-lah, saya bisa memaknai kata Pembangunan secara lebih 'baik', setelah sebelumnya kata Pembangunan lebih sering menyertai kata "Bapak", dan maknanya terdistorsi pada stabilitas & pemberangusan perbedaan. Kalau pada saat SMP saya mengenal sastra lewat Aku Khairil Anwar, Merahnya Merah Iwan Simatupang, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana, atau Roman Siti Nurbaya-nya Marah Roesli, maka saya mendapat hal baru lewat sastra dari karya-karya Rendra. Apalagi ketika SMP, saya berada di Palu, Sulteng, tempat dimana perkembangan zaman rasanya tidak akan pernah terjadi (saat itu).

Buat Rezim Orde Baru, puisi-pusi Rendra tentu bikin kuping panas, karena selain kritis, satir, nyinyir, dan sinis, kata-kata Rendra dalam puisi-pusi itu juga terkadang sangat vulgar. Situasi penuh penindasan benar-benar dilawan dengan kata-kata oleh Rendra. Ia memang puitis, tapi tidak mendayu-dayu romatik, ia tegar dan garang. Kata-kata pilihannya merebak, bak burung merak, 'gelar' yang dipilihnya sendiri setelah menatap seekor burung merak di kebun binatang. Sajak Sebatang Lisong, adalah salah satu karya favorit buat saya.

Kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
Diktat – diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
Kita mesti keluar ke jalan raya
Keluar ke desa – desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan menghayati persoalan yang nyata

Bukan saja garang, tapi karya-karyanya juga merepresentasikan kondisi saat itu. Rendra mampu mendokumentasikan situasi negeri ini dengan hati, dengan kejujuran, dan tanpa kompromi. Kita masih (sangat) butuh konsistensi yang ditunjukkannya, bukan ekonom, teknokrat atau politikus plintat-plintut yang dengan mudah pindah kandang untuk mencari pakan.

Selamat Jalan Mas Willi! Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...

Bandung, 7 Agutus 2009

No comments: