07 September, 2010

Pendidikan Kritis, dalam Transformative Learning

Transformative learning, memang lebih merepotkan. Pembelajaran model ini mengharuskan si fasilitator, dalam hal ini akan berperan lebih banyak sebagai mediator belajar, memahami lebih komprehensif isu-isu apa yang berkembang di wilayah pembelajaran. Belum lagi harus menyadari kaitannya dengan apa yang terjadi di dunia ini, karena globalisasi sudah mengikat semua kehidupan hingga ke pelosok.

Jika kita bicara masyarakat secara umum, bukan anak-anak di sekolahan dari TK hingga PT, Pendidikan kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan sosial politik yang adil dan egaliter.  Dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization (pewujudan kesadaran kritis/the coming to critical consciousness). Karenanya muncul pula istilah Transformative Learning ini.

Konsentisasi akan membawa pada pendidikan yang membebaskan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada, untuk itu langkah praksis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diri dan lingkungannya.

Untuk menjadikan peserta didik/siswa aktif dalam pemerolehan pengetahuan, maka strategi dan metode yang digunakan adalah menghadapkan siswa dengan masalah yang dialaminya melalui Problem posing education atau pendidikan hadap masalah dimana education as the process of transferring information, and embraces a view of education as consisting of acts of cognition that take place through dialogue. Students and teachers become critical co-investigators in dialogue with each other. Dalam kondisi ini tidak ada satu pihak mengajar yang lain, tetapi semua pihak belajar: Men teach each other, mediated by the world, by the cognizable objects which in banking education are ‘owned’ by the teacher”.

Lalu mungkin ada pertanyaan, bagaimana pula mengukur keberhasilan pendidikan seperti ini? Tidak seperti sekolah formal, pendidikan seperti ini biasanya tidak mengukur angka-angka, atau rating, tetapi melihat bagaimana mereka (warga belajar) mampu merespon permasalahan di masyarakat, setelah mendapat pengetahuan tertentu. Dalam proses belajarnya, warga belajar senantiasa dipantau, dinilai, dan langsung mendapat umpan balik. Tentu saja tidak mungkin dilakukan dalam setting yang massal layaknya pendidikan formal.

Ada 3 komponen utama dalam Transformative Learning, seperti yang terdapat pada presentasi di atas:
Pertanyaan Inti, Tujuan Belajar, Penilaian. Pertanyaan Inti, adalah semacam pertanyaan penelitian, sesuatu yang harus bisa dijawab setelah kita mempelajari sesuatu. Tujuan Belajar, merupakan ujung dari proses pembelajaran yang diinginkan. Kalau Pertanyaan inti adalah pangkalnya, maka Tujuan ini adalah ujungnya. Penilaian, tidak seperti ujian, tetapi memantau proses pembelajaran. Ia bisa dilakukan di sepanjang proses, tidak harus menunggu di akhir proses.

Pendidikan semacam ini, yang menempatkan warga belajar seolah para ahli sosial, sosiolog, budayawan, aktivis di komunitas, atau seorang ekolog, akan memberdayakan. Berdaya, dalam arti mampu memahami konteks hidupnya, tidak terbatas hanya pada teori di buku atau di media massa, tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Apa yang dipelajari, adalah bekalnya menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Bukan teori tentang kehidupan yang akan dijalaninya.

No comments: