24 February, 2011

TUGAS Seorang Revolusioner Adalah Membuat Revolusi

Tulisan ini artikel lama di Harian Kompas, yang sejatinya adalah resensi buku. Seperti yang Anda lihat di pengantar artikel, ada penjelasan mengenai buku yang dimaksud. Melihat situasi saat ini di Indonesia, rasanya tulisan 10 tahun lalu ini, atau isi buku Freire yang sudah hampir 30-an tahun yang lalu. Silakan menyimak!

Surat-surat Pedagogis Paulo Freire
Judul: Pendidikan sebagai Proses Surat-menyurat Pedagogis dengan Para Pendidik Guinea-Bissau, Penulis: Paulo Freire, Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan Pertama, tahun 2000, Tebal: (xiv + 269) halaman.

"TUGAS seorang revolusioner adalah membuat revolusi", demikian kata Fidel Castro. Maka sebagai seorang revolusioner, ketika diasingkan di Jenewa, Freire menolak tawaran bekerja pada masyarakat San Francisco atau New Delhi yang liberal. Ia justru memilih duduk di belakang meja, berpikir dan menulis dengan kata-katanya yang turut mendorong revolusi kemerdekaan di negara-negara Afrika.

Salah satu dari negara baru tersebut adalah Guinea-Bissau yang lepas dari penjajahan Portugal. Para pemimpin negeri itu kemudian mencanangkan program rekonstruksi nasional, yaitu upaya membangun kembali Guinea-Bissau dalam menyongsong kehidupan baru yang makmur, damai, adil, dan demokratis. Mereka memandang bahwa pendidikan menempati posisi yang sangat penting dalam mendorong proses rekonstruksi nasional itu.

Dalam kerangka ini, para pemuka Guinea-Bissau kemudian meminta Freire untuk membantu membangun kembali dunia pendidikan. Tugas khusus Freire adalah pada pendidikan melek huruf bagi orang dewasa.

Mereka mengundang Freire karena kagum atas konsep-konsep pendidikan Freire yang revolusioner dan telah menimbulkan perubahan sosial yang cukup berarti ketika diterapkan di Brasil dan Cile. Freire menerima tawaran itu karena sesuai dengan keberpihakannya selama ini pada upaya pembebasan kaum
tertindas.

Dalam menjalankan tugasnya, Freire berangkat dari pandangan bahwa pendidikan tidak boleh lepas dari lingkungan sosialnya. Para pendidik harus berasal dari "dalam" sistem dan lingkungannya.
Pendidik yang berasal dari "luar" sistem harus "dibunuh" lalu "dilahirkan" kembali dengan kesadaran baru. Sehingga hubungan pendidik-peserta didik bersifat kolaborasi (collaboration) bukan invasi
kultural (cultural invasion).

Untuk itu, Freire harus mengetahui keadaan sebenarnya negeri itu. Selain menggali dari berbagai tulisan, ia melakukan observasi lapangan, bergumul dengan masyarakat setempat untuk melihat, mendengar, berdiskusi, dan bertanya.

Dalam rangka ini pula, ketika berada di Jenewa, Freire banyak berdiskusi lewat surat dengan Komisioner Negara untuk Pendidikan Republik Guinea-Bissau, Ir Mario Cabral serta beberapa anggota
timnya.

***

BUKU ini merupakan kumpulan surat-surat pedagogis tersebut yang berjumlah 17 buah. Freire kemudian melengkapinya dengan pendahuluan dan catatan akhir yang menjelaskan latar belakang
serta pokok-pokok pemikiran pendidikan yang ia tulis dalam surat itu.

Dari penelusurannya, Freire menemukan bahwa 90 persen rakyat Guinea-Bissau buta huruf. Tetapi, mereka mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Mereka antusias mendukung kemerdekaan, revolusi, dan proses rekonstruksi nasional.

Di sisi lain, Freire menemukan bahwa pendidikan warisan penjajah Portugal efektif menjadi sarana dominasi ideologi penjajah, sekaligus proses de-africanisasi. Out put-nya adalah rakyat akan menjadi
inferior, merasa hanya bisa hidup jika menjadi "putih" atau tetap "hitam" tetapi berjiwa "putih".

Pendidikan ala penjajah ini juga menyosialisasikan bahwa kedatangan Portugal bermaksud untuk memberadabkan dan membudayakan Guinea-Bissau. Penjajah itu menekankan bahwa
peradaban dan kebudayaan Portugal jauh lebih tinggi, karenanya layak untuk diikuti (hlm 16).

Dalam keadaan seperti itu, menurut Freire, pendidikan harus ikut mendukung revolusi dan rekonstruksi nasional. Out put yang dihasilkannya harus berupa rasa kebersamaan, solidaritas, tanggung jawab sosial serta kepedulian untuk menegakkan kehidupan yang lebih baik.

Implikasinya, pendidikan warisan penjajah harus ditolak. Bahkan, dalam surat yang ketiga, Freire menekankan perlunya upaya de-portugalisasi menuju re-africanisasi mentalitas masyarakat (hlm 113). Pendidikan harus menegaskan bahwa Guinea-Bissau adalah entitas bangsa yang mandiri, merdeka, dengan kebudayaan dan peradaban yang bermartabat sama, sejajar dengan Portugal dan bangsa lain di dunia; yang bisa hidup, beradab dan berbudaya tanpa harus meniru Portugal.

Paradigma pendidikan seperti ini pula yang diderivasi Freire dalam praktik pendidikan melek huruf. Sebagaimana ia katakan dalam suratnya yang pertama (hlm 99-102), pendidikan melek huruf tidak boleh direduksi sekadar masalah teknis mendepositokan kata-kata tak bermakna ke dalam diri siswa.

Pendidikan melek huruf harus dimaknai sebagai aksi budaya dalam rangka proses pembebasan. Sebagai aksi budaya, tidak boleh terpisah dari aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Dalam suratnya yang kelimabelas dan tujuhbelas, Freire menjelaskan, pada mulanya, para peserta terlebih dulu diajak berdiskusi tentang persoalan keseharian mereka; revolusi, rekonstruksi nasional, peningkatan produksi pangan, dan sebagainya. Mereka diajak mendata persoalan, menganalisis, memetakan, dan kemudian menyelesaikannya.

Dari situ mereka akan menyadari bahwa dengan melek huruf mereka akan lebih mampu menyelesaikan persoalan dan lebih berarti dalam mendukung rekonstruksi nasional. Selanjutnya, keikutsertaan mereka dalam pendidikan melek huruf, benar-benar atas kesadaran dan kebutuhan diri sendiri.

Diskusi ini kemudian dilanjutkan dengan belajar membaca. Kata yang dipelajari dipilih kata generatif dari realitas sebagaimana yang didiskusikan. Peserta belajar membaca teks, sekaligus juga "membaca" realitas yang dikandung oleh teks itu. Belajar membaca konteks teoritis sekaligus menghubungkannya dalam konteks nyata. Dalam metode ini, yang ditekankan bukanlah transfer pengetahuan, tetapi penguasaan peserta atas metode pengetahuan. Peserta tidak hanya akan mendapatkan pengetahuan, tetapi mampu menciptakan/mencari pengetahuan sendiri, ketika ia menghadapi obyek yang berbeda. Peserta akan menjadi berdaya, kritis, dan tanggap dalam menghadapi dinamika perubahan.

***

DARI segi ide, apa yang diungkapkan buku ini, sebenarnya telah banyak diungkap dalam buku-buku Freire terdahulu seperti: Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan (Gramedia, 1984), Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES, 1985), Politik Pendidikan (Pustaka Pelajar, 1999).

Kelebihannya dibanding buku-buku itu, buku ini ibarat rekaman langsung proses kreativitas Freire ketika menerjemahkan ide-ide pendidikannya ke dalam realitas Guinea-Bissau. Freire tidak mentransplantasikan begitu saja pengalamannya di Brasil dan Chili, tetapi mencipta ulang (re-invented) pengalaman itu sesuai kondisi Guinea-Bissau.

Proses penciptaan ulang itu sekaligus pelajaran menarik bagi pembaca, bagaimana menerapkan ide-ide pendidikan Freire ke dalam lingkungannya masing-masing. Bentuk tulisannya yang berupa surat, juga lebih mampu "menampilkan" sosok Freire sebagai seorang yang humanis, gentle, penuh cinta dan kasih sayang, serta dikenal dekat dan hangat kepada teman-temannya dan anak-anak.

Kesan itu bisa menempatkan posisi Freire lebih proporsional. Sebab, bisa jadi, karena terkesan ide-ide Freire amat revolusioner tentunya si pencetus itu sangar dan menakutkan. Di tengah maraknya perbincangan tentang persoalan dunia pendidikan di Tanah Air saat ini, ide-ide Freire yang bertumpu pada paradigma pembebasan, pemberdayaan, dan pembudayaan tersebut layak dijadikan bahan renungan. Apalagi, paradigma seperti itulah yang nyaris hilang dalam sistem pendidikan kita.

* Arwani Kohlejo, pendidik swasta, alumnus IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0012/11/DIKBUD/sura34.htm | Senin, 11 Desember 2000 [deadlink]

No comments: