18 August, 2008

Meneruskan Fakta dari Lapangan

Ini adalah email dari sebuah milis. Semoga bisa memberi kita gambaran yang jelas, mengenai ketidakjelasan sistem pendidikan (formal) kita:

Teman-teman,

Anak saya saat ini menjadi siswa sekolah negeri di Jakarta. Awalnya saya senang sekali karena proses seleksi dan pendaftarannya dari SMP ke SMA sangat transparan. Saya dampingi dia waktu daftar dan beberapa saat kemudian kami bisa cek perkembangannya via website. Dua hari kemudian, saya cek dari Medan (via internet) dan ternyata anak saya diterima di SMA pilihan pertamanya pada urutan 36 dari 275 peserta yang lolos seleksi (sesuai daya tampung) sekolah tersebut padahal anak saya daftar dari sekolah yang berbeda.

Hari ini saya sangat kecewa, setelah mendapat informasi rencana iuran peserta didik. Kebetulan yang ikut rapat adalah istri saya dan dia tidak puas. Akhirnya, pihak sekolah dan ketua komite sekolah (gak jelas bagaimana proses pemilihannya dulu) menyetujui cara pembayarannya yang semula mereka tawarkan 6 bulan menjadi 1 tahun. Sementara besarnya biaya tiap orang tua sebesar Rp 5.000.000 tidak bisa ditawar lagi meski sudah berdebat.

Mempelajari rincian anggraan yang diajukan pihak sekolah membuat kita berang, beberapa point penting misalnya :

1. Peningkatan pembelajaran sekolah : Rp 147.000.000,
2. Transport tenaga honor ; Rp 68.640.000,
3. Latihan Dasar Kepemimpina Sekolah (LDKS) : Rp 123.750.000,
4. Honor Dokter: Rp 33.000.000.
5. Pembelian barang, sarana dan humas (8 item) total : Rp 227.000.000
6. Lain-lain ;

Ulang tahun sekolah : Rp 33.000.000

Rapat kerja untuk 100 orang @ Rp 615.000 ; Rp 91.500.000

Total biaya Rp 1.320.055.000 (rinciannya terlampir)

Lucu rasanya, sekolah negeri namun hampir semua kebutuhan sekolah termasuk pengadaan AC, Laptop, printer dibebankan ke orang tua murid. Belum lagi tiap mata anggaran masih bisa dihemat dan kala itu diperdebatkan, sudah tidak bisa ditawar lagi. Akhirnya istri saya pulang dengan kecewa. Tidak berdaya karena kebanyakan orang tua yang ikut rapat juga sepertinya enggan bicara. Dia seperti teriak di padang pasir, padahal semua yang hadir adalah korban.

Barang kali diantara teman-teman (khususnya punya kegiatan advokasi sekolah) punya saran, informasi, produk hukum yang bisa dijadikan rujukan menghantam kesewenang-wenangan ini. Tampaknya pihak sekolah tidak prihatin dengan kondisi ekonomi saat ini. Menetapkan sesuatu dengan harga yang tidak masuk akal. Dan lagian ini sekolah negeri, lantas apa peran pemerintah.

Kami informasikan juga bahwa disamping Rp 5.000.000 tersebut anak kami masih harus bayar Rp 225.000 per bulan, uang seragam 195.000, LKS (lembar Kerja siswa) Rp 98.000 buku wajib (harus ada) Rp 660.000 dan semua itu sudah kami penuhi.

Kami mohon bantuan informasi, kemana harus mengadukan ketidak puasan ini?
Langkah apa yang harus kami tempuh. Bagimana sesungguhnya pembiayaan pendidikan di SLA. Mekanisme complain, dll.

Terima kasih,

Tumpal P. Saragi




Enhanced by Zemanta

No comments: