17 February, 2012

(Kompas) Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?

Oleh: Junifrius Gultom

Kekerasan merebak lagi, bahkan diperkirakan telah meluas dan terpendam selama puluhan tahun (Kompas, 12/11/2007). Tulisan itu dipacu munculnya kekerasan akibat bullying terhadap seorang siswa di SMA 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Apakah kekerasan terjadi karena tidak ada pihak yang merasa paling bertanggung jawab untuk mengintervensinya? Dapatkah ini disebut a tragedy of the common, di mana masyarakat dan pemerintah tak mempunyai sentuhan langsung dan terdampak bullying? David Thompson et al, dalam Bullying, Effective Strategies for Long-term Improvement (2002) menginventarisasi alasan ketidaksudian orang melakukan intervensi terhadap bullying. Alasan itu antara lain:

  • korban memang layak di-bully; 
  • bukan urusan saya melakukan intervensi; 
  • sebaiknya orang lain saja yang melakukan; 
  • kalau saya ikut campur tangan, bisa memperburuk situasi korban; 
  • saya takut orang yang melakukan bullying dan teman-teman akan menyerang saya; 
  • saya tidak mungkin dapat melakukan dengan sukses; 
  • orang lain saja tidak ada yang peduli dan tidak melakukan tindakan apa pun untuk mengatasi; 
  • jika saya mengintervensi, artinya saya konyol; 
  • tidak tahu bagaimana melakukan intervensi dengan cara simpatik dan tidak agresif. 
Alasan-alasan ini mungkin masih bisa ditambah.
Sebenarnya bullying (intimidasi) merupakan masalah klasik, berkesinambungan, dan kompleks. Bullying terjadi di hampir semua area kehidupan, politik, ekonomi, olahraga, keluarga, tempat kerja, dan dunia pendidikan. Bullying di sekolah merupakan masalah global dan merupakan masalah sosial yang berakibat serius dan berdampak negatif pada hidup dan langkah karier anak sekolah kelak (Peter K Smith, et al, Bullying in Schools. How Successful Can Interventions Be?).

Realitas "bullying"

Meski belum ada data yang memuat kasus bullying di tiap negara, ada gambaran dari tulisan Smith, yang dilansir The Scottish Council for Research in Education (1992) dan oleh Ken Rigby dalam buku New Perspectives on Bullying (1988) dapat dilihat sedikit data kasus bullying di sekolah di beberapa negara, yaitu Selandia Baru (15 persen-SMA), di Inggris (27 persen-SMP dan 10 persen-SMA), Australia (25-30 persen bahkan tiap hari), dan secara internasional (23 persen-SMP dan 10 persen-SMA).

Di Indonesia belum terpantau berapa persen kasus bullying di sekolah. Namun, kita tentu masih ingat kasus Cliff Muntu di STPDN. Kasus terbaru di SMA 34 Pondok Labu. Kedua peristiwa ini hanya puncak gunung es.

Hal ini seharusnya membuat kita khawatir karena dampak bullying begitu serius ke hampir semua masalah kesehatan. Gambary Namie tahun 2003 mensurvei 1.000 responden sukarela yang hasilnya dipublikasikan pada bullyinginstitute.com. Disimpulkan ada 33 jenis gejala gangguan kesehatan yang dialami orang-orang yang pernah di-bully.

Hasilnya,
(1) ketakutan, stres, kecemasan berlebihan (76 persen);
(2) kehilangan konsentrasi (71 persen);
(3) gangguan tidur (71 persen);
(4) Merasa tidak tenang, gampang terkejut, dan paranoia (60 persen);
(5) Sakit kepala (55 persen);
(6) Obsesi atas kejelimetan pekerjaan (52 persen);
(7) selalu teringat pengalaman buruk, mimpi buruk (49 persen);
(8) detak jantung lebih kencang (48 persen);
(9) Kebutuhan untuk menghindarkan perasan, pikiran, dan situasi yang mengingatkan orang itu terhadap trauma (47 persen);
(10) Sakit tubuh (45 persen);
(11) Kelelahan (41 persen);
(12) perilaku yang terpaksa (40 persen);
(13) depresi yang terdeteksi (39 persen);
(14) rasa malu (35 persen);
(15) perubahan signifikan pada berat badan (berkurang atau bertambah) (35 persen);
(16) sindrom kelelahan kronis (35 persen);
(17) serangan kepanikan (32 persen);
(18) pengetatan rahang (masalah gigi) (29 persen);
(19) perubahan kulit (28 persen);
(20) menggunakan bahan adiktif untuk menenangkan pikiran (28 persen);
(21) asma atau alergi (27 persen);
(22) berpikir kekerasan kepada orang lain (25 persen);
(23) Pikiran bunuh diri (25 persen);
(24) migran (23 persen);
(25) sindrom sakit perut yang mengganggu (23 persen);
(26) sakit pada bagian dada (23 persen); dan lain-lain.

Minimalisasi "bullying"

Bullying harus ditanggapi serius, simpatik, dan terpadu. Dari definisi bullying disebutkan kekerasan fisik dan psikologis yang berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia tertekan (Thompson, 2002, Arthur M Horne and Mark S Kiselica, 1999). Dari definisi ini, diketahui, korban ada pada posisi tidak mungkin dapat diharap untuk melawan atau mempertahankan diri dan korban terus mengalami untuk waktu lama.

Bullying pada kasus siswa/mahasiswa bukan sekadar tanggung jawab sekolah/universitas karena peristiwa itu bisa terjadi di luar sekolah/universitas, yaitu saat mereka pulang sekolah. Namun, kontribusi semua pihak amat berintegrasi.

Dalam konteks sekolah, tentu tidak mudah menghilangkan bullying mengingat adanya faktor pubertas pada masa remaja, krisis identitas, terbentuknya peer, faktor keluarga, sosial, dan lainnya.

Sementara itu, guru adalah agen pelaksana semua kebijakan sekolah dan langsung berhadapan dengan siswa. Guru dapat menyediakan diri sebagai konselor yang memberi bimbingan, tidak hanya dilimpahkan kepada guru BP. Guru juga dapat menjadi social support. Sekolah sebagai lembaga harus menyediakan pelatihan kepada para guru tentang cara intervensi bullying, menyediakan perangkat CCTV (bila perlu) untuk memonitor semua sudut sekolah, termasuk kantin.

Sekolah juga harus mempunyai mekanisme penyelesaian kasus bullying, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas, membuat bentuk penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas istimewa yang diperoleh siswa umumnya atau skorsing dan pemecatan. Kurikulum sekolah harus lebih berorientasi prososial karena, menurut Rigby (2002), perilaku bullying umumnya kurangnya kerja sama dan kesetiakawanan di antara siswa.

Apabila sekolah mempunyai website, harus menyediakan tempat pengaduan dan dialog antara siswa dan sekolah serta antarsekolah dan orangtua siswa, yang secara bebas dapat mengekspresikan apa yang mereka alami.

Departemen Pendidikan Nasional sudah harus mempunyai kebijakan tentang bullying di sekolah. AS dan Australia merupakan negara yang telah memerhatikan masalah ini secara serius. Mereka mempunyai Washington States PTA’s Guide to Implementation of the Anti-Bullying Bill 2002 dan Anti Bullying Guidelines for School and Educational Setting Policy.

Mungkin Indonesia menganggap bullying belum menjadi masalah sosial. Penanganan kejahatan di sekolah menjadi subyek hukum kriminal biasa. Artinya, penanganannya disamakan dengan kriminal umumnya. Jika tindakan kriminal fisik sudah menjadi kenyataan kekerasan, aparat baru turun tangan.

Kita harus memerhatikan apa yang dikatakan R Douglas Greer dalam "The Education Crisis" (Mattaini, et al, Finding Solution to Social Problem, 2002), "Kita harus kembali ke masalah sekolah bila mau mengatasi masalah masyarakat. Jika tidak dapat mengatasi masalah di sekolah kita, apa yang diharapkan untuk komunitas lebih luas?"


Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/17/opini/3988130.htm [deadlink]

Junifrius Gultom Pernah Meneliti "Intervensi Bullying" pada Program Magister Psikologi Terapan UI

No comments: