22 February, 2012

KPKB: Tindak Pelaku Jual Beli LKS dan Sejenisnya di Sekolah



Munculnya PP 48Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, terutama di Pasal 30, memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan gratis.

Dalam Permendiknas No. 2 Tahun 2008 Pasal 11, juga disebutkan dengan jelas agar para pihak di sekolah tidak boleh menjadi pengecer atau distributor buku di sekolah.

Khusus di Kota Bandung, peraturan ini telah diturunkan dengan dikeluarkannya Perda No. 15 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Namun pada kenyataannya berbagai pungutan masih dialami oleh orang tua. Termasuk dalam soal LKS (Lembar Kerja Siswa).

Berdasarkan pengamatan KPKB, berbagai pungutan kepada orang tua siswa masih terjadi di berbagai tahap proses pendidikan di sekolah, mulai dari tahap pendaftaran sampai dengan tahap kenaikan kelas atau kelulusan. Berbagai peraturan yang melarang adanya jual beli LKS pun sudah banyak yang terbit, selain kedua aturan di atas. Aturan terakhir adalah surat edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung No. 421/479/Sekrt/2012 bertanggal 30 Januari 2012 tentang Larangan LKS. 

Ironisnya, Disdik pada saat yang hampir bersamaan juga mengeluarkan surat izin kepada salah satu penerbit untuk mempromosikan buku pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini tertuang dalam surat yang bernomor 421.5/53-PSMAK/2011, tertanggal 31 Januari 2012 tentang Izin Rekomendasi kepada salah satu penerbit terkemuka, untuk menawarkan produk simulasi UN SMA/SMK. Surat tersebut merupakan balasan dari permintaan si penerbit melalui surat No. 05/ERL/ASM SMP-A BDG/I/12 tertanggal 31 Januari 2012.

Masalah jual beli LKS ini sudah lama meresahkan orang tua siswa, terutama bagi orang tua dengan kondisi ekonomi lemah. Sebagai ilustrasi, berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPKB, harga LKS di tingkat sekolah dasar berkisar antara Rp 60.000,00 - Rp 110.000,00 per paket per semester. Bila diambil nilai tengahnya, maka biaya untuk pembelian LKS ini mencapai Rp. 85.000,00. Untuk keluarga tidak mampu, besaran pengeluaran untuk LKS tersebut kurang lebih setengah dari total pengeluaran untuk pendidikan. Perhitungan KPKB berdasarkan data Susenas 2009 menunjukkan, keluarga miskin (diindikasikan sebagai penerima BLT), mengeluarkan dana pendidikan rata-rata sebesar Rp. 160.000,00 per semesternya. Hal yang kurang lebih sama terjadi untuk tingkatan SMP dan SMA.

Untuk anak terdapat dampak tambahan, yaitu berupa diskriminasi. KPKB menemukan beberapa kasus dimana anak mendapatkan diskriminasi bila tidak membeli LKS, baik dari sesama teman maupun oknum guru.

Salah satu bukti keresahan masyarakat tersebut adalah laporan dari orang tua yang diterima oleh KPKB, sampai tanggal 20 Februari 2012 melalui Radio PR FM telah mencapai ribuan laporan. KPKB percaya bahwa kegiatan jual beli LKS ini merupakan fenomena gunung es, dimana jumlah kasus sebenarnya dapat melebihi jumlah laporan yang masuk.

KPKB menyimpulkan setidaknya tiga butir penting yang patut diduga menjadi alasan dibalik pembiaran kegiatan jual beli LKS ini:
  • Ketidaktegasan disdik dalam menjalankan aturan. Tidak terlihat adanya sanksi bagi pelanggar oleh pihak Disdik. Alasan dimana tidak ada bukti untuk memberikan sanksi dirasa tidak tepat, karena laporan masyarakat sudah sangat banyak dan kasat mata. Ketidaktegasan Disdik dalam menjalankan aturan juga terlihat dari bukti dikeluarkannya surat izin kepada salah satu penerbit untuk mempromosikan buku pelajaran di sekolah.
  • Motif ekonomi. Perhitungan KPKB menunjukkan potensi transaksi dari penjualan LKS saja di seluruh tingkat sekolah negeri diperkirakan mencapai 50 milyar per tahunnya. Sebagai pembanding, nilai ini setara dengan 52 % alokasi anggaran program wajib belajar pendidikan 9 tahun dari APBD Kota Bandung 2011, yang tercatat 95,6 Milyar. Besarnya transaksi ini patut diduga menjadi motif adanya kerjasama antara pihak penerbit dengan pihak-pihak yang memberikan ijin ataupun yang menyediakan lokasi untuk penjualan LKS.
  • Adanya kemalasan pengajar. Motif muncul terkait dengan kenyataan dimana pemberian LKS dapat mempermudah pekerjaan dari guru. Namun hal ini selain tidak mendidik juga dapat menyebabkan pemberian informasi yang salah kepada anak didik. KPKB menemukan beberapa contoh kasus dimana LKS memberikan informasi yang salah.

Melihat berbagai hal tersebut, KPKB menyatakan berbagai hal berikut:
  1. Menuntut Dinas Pendidikan Kota Bandung untuk segera menghentikan penjualan LKS di sekolah, sekaligus memberi sanksi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penjualan LKS tersebut, paling lambat satu bulan ke depan sejak dikeluarkannya pernyataan ini. 
  2. KPKB akan melaporkan Kadisdik Kota Bandung ke Inspektorat Daerah Kota Bandung terhadap penerbitan surat izin rekomendasi kepada penerbit, karena bertentangan dengan Perda Pendidikan Kota Bandung No. 15/2008 Pasal 138. 
  3. Mencabut izin rekomendasi penjualan buku simulasi ujian nasional untuk sekolah-sekolah di Kota Bandung. 
  4. Mengajak masyarakat terutama pengguna jasa pendidikan Kota Bandung untuk berperan serta dalam pengawasan pelanggaran penjualan LKS di sekolah-sekolah dengan menyerahkan berbagai bukti ke posko KPKB atau ke PR FM. 
Pada tanggal 22 Februari, kami telah mengadukan kepada pihak Inspektorat daerah Kota Bandung terhadap kejanggalan surat izin rekomendasi ini. Kami berharap, masalah ini bisa diklarifikasi, dan diperjelas siapa yang harus bertanggung jawab. 

Tim dari KPKB (ke-2 hingga ke-4 dari kanan) melaporkan kejanggalan
surat Kadisdik Kota Bandung ke Inspektorat Daerah Kota Bandung. (22/2)



No comments: