27 August, 2008

Merevolusi Pendidikan Kita (3-habis)

Revolusi kebudayaan dalam paradigma baru AI
Memperkenalkan paradigma baru, pada akhirnya akan berhubungan dengan pembentukan budaya baru. Proses pembentukan budaya baru, tentu saja bukan proses setahun atau dua tahun. Teman-teman LSM di NTT, butuh bertahun-tahun untuk memperkenalkan yang namanya Wanatani. Bahkan sampai sekarang, perilaku lama tebas bakar dan tarik api masih menjadi musuh utama dalam sistem pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam disana.

Sekarang, ada yang namanya AI. Ia akan diperkenalkan kepada masyarakat, sebagai sebuah cara pandang baru menuju kesejahteraan bersama. Lupakan bahwa kita punya segunung masalah, dan mari melihat apa yang kita punya. Dari sinilah kita akan memulai perubahan, dari apa saja yang sudah berjalan baik hingga hari ini.

Disinilah muncul pertanyaan besar dalam mencoba memperkenalkan AI. Upaya apa yang akan ditempuh untuk mengubah paradigma masyarakat, dari paradigma defisit menjadi apresiatif? Sebuah upaya revolusi dalam perubahan sosial?

Upaya perubahan sosial yang akan dilakukan, melalui pendidikan formal, dengan cara seperti ini tampaknya akan terhadang sistem kurikulum pemerintah. Mereka yang masih percaya pendidikan adalah sebuah ukuran, angka-angka dan persentase yang dikuantifikasi dari keberhasilan para siswa membuat bulatan yang benar pada pilihan yang disodorkan. Jangan berharap kreativitas, karena semua jawaban adalah pilihan, yang tak dibuatnya sendiri pula.

Pendidikan yang melihat manusia sebagai sebuah potensi, sebuah keniscayaan terhadap perubahan, adalah pendidikan yang perlu dibangun. Lalu apa standarnya? Apa kriterianya? Bagaimana pula mengukur keberhasilannya?

Tentu tidak lewat ujian dengan pilihan berganda. Pendidikan semacam ini hanya bisa berlangsung setiap hari, tidak hanya di sekolahan, tetapi juga di jalan-jalan, di gedung pemerintahan, di rumah sakit, di sawah, di mana saja. Bagaimana sekolahan mampu merefleksikan dunia besar di luar sana, menjadi sebuah dunia kecil pembelajaran di dalam kelas. Ukurannya jauh lebih ketat, karena akan terus diamati oleh masyarakat. Setiap komentar, setiap pernyataan aspirasi dari masyarakat adalah ukuran yang perlu dijadikan standar bagi kemana arah pendidikan.

Semoga ini akan menjadi jawaban atas perpolitikan di Indonesia, yang belakangan ini perilakunya sungguh menyedihkan. (habis)

Enhanced by Zemanta

No comments: