Bulan Mei kita pandang sebagai Bulan Pendidikan. Dalam bulan Mei kita berpikir dan berenung tentang pendidikan kita. Dirasakan masih banyak hal yang harus diluruskan. Selain itu, ada juga hal-hal yang kita rasakan sebagai keberhasilan dan kecemerlangan.
Jadi dunia pendidikan kita kini dihadapi dengan perasaan campur baur. Ada hal-hal yang menimbulkan rasa bangga, tetapi ada pula yang menimbulkan rasa sedih dan iba.
Di tengah kesibukan menggagas pendidikan kita dikejutkan aneka peristiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita kini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat, kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuh percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Hari ini bilang "A", beberapa hari kemudian bilang "non-A". Kita menyaksikan perilaku politik Indonesia dalam format yang jelek.
Lalu di antara kita ada yang bertanya, "Masih adakah yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan yang tidak terlampau jauh?"
Untuk menjawab pertanyaan ini, melahirkan serangkaian diskusi dan seminar. Di antara kita ada yang berpandangan optimistis, tetapi ada pula yang berpandangan pesimistis, bahkan ada yang berpandangan sinis (cynical).
Sumber perilaku politik
Menurut pendapat saya, sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat tertutup.
Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar "uang pelicin" kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik.
Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan "budaya politik aji mumpung".
Apa hubungan budaya politik dengan pendidikan?
Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.
Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita, misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi feodal atau militer.
Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelaku politik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di Inggris para politikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunya dan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikan yang kurang beruntung.
Sosok pendidikan
Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimana kita men-definisi-kan "kehidupan politik" yang ideal. Namun, secara umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik disebut "pendidikan manusia seutuhnya".
Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini, jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut para ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum. Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga sarjana muda atau D-2/D-3.
Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.
Untuk ini mungkin di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucu perlu ditingkatkan dari 9 tahun jadi 15 tahun. Mungkin di masa depan perlu diadakan ketentuan, untuk menjadi anggota DPRD dan DPR diperlukan paling tidak ijazah D-2 atau D-3. Jadi perjalanan yang harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir generasi politik yang lebih cakap, lebih santun, dan lebih bertanggung jawab daripada yang ada kini.
Dapatkah ini kita capai? Semoga.
Mochtar Buchori
Pendidik
No comments:
Post a Comment