Showing posts with label politik-pendidikan. Show all posts
Showing posts with label politik-pendidikan. Show all posts

02 May, 2011

Hardiknas 2011: Mengingat Kembali Deklarasi Solo

Eddie B. Handono - SDM
DEKLARASI SOLO
Kerangka Kerja Aksi Indonesia
untuk Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat
Tahun 2001 – 2015

Permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia hingga tahun 2001 terdapat lebih dari 18 juta orang buta-huruf pada kelompok umur 10 tahun ke atas,  sekitar 9 juta anak belum tertampung di bangku sekolah dan angka partisipasi pada semua jenjang pendidikan diperkirakan terus menurun. Sebagian besar dari mereka adalah segmen masyarakat yang tinggal di pedesaan, anak-anak terlantar, perempuan dan masyarakat pinggiran lainnya.

Mengatasi persoalan tersebut diperlukan gerakan bersama yang nyata.
Sementara pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar dan kunci menuju pembangunan berkelanjutan, perdamaian, stabilitas dan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang berkeadilan.

Untuk itu, kami yang bekerjasama melalui Sentra Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat (SPPM), terdiri dari lembaga pemerintah dan organisasi non-pemerintah:
  1. Menegaskan visi Deklarasi Dunia tentang Education for All - EFA(Jomtien, 1990) yang menyatakan bahwa semua anak, pemuda, dan orang dewasa memiliki hak asasi untuk mendapatkan manfaat yang terbaik dari pendidikan terbaik.* 
  2. Mencermati Kerangka Kerja Aksi Dakkar (2000) dan Deklarasi Tokyo (2001), yang menegaskan kembali tentang pendidikan sepanjang-hayat dan keikutsertaan lembaga non-pemerintah dalam mewujudkannya.
  3. Meyakini bahwa pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat berarti: belajar untuk tahu, belajar untuk berbuat dan belajar hidup bersama, serta belajar menjadi seseorang untuk meraih harkat dan martabat kemanusiaan.
  4. Kerangka Kerja Aksi Indonesia ini adalah komitmen antara instansi-instansi pemerintah dengan lembaga-lembaga non-pemerintah yang mengembangkan program pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat untuk mengupayakan agar semua tujuan dan sasarannya dapat dicapai dan berkelanjutan.
  5. Kerangka Kerja Aksi ini merupakan tanggung-jawab yang akan berjalan efektif melalui basis kemitraan dalam arti yang luas, termasuk komunitas lokal.
Atas dasar pemikiran tersebut, kami menyatakan sebagai berikut:
  • Menekankan pentingnya pendidikan bagi anak dini-usia 
  • Melakukan upaya-upaya pembelajaran pada anak-anak marjinal (anak jalanan, pekerja anak, dan anak-anak dalam situasi sulit lainnya). 
  • Meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan bagi pemuda dan kelompok usia produktif lainnya sebagai bekal untuk memperoleh mata pencaharian yang tetap dan layak.
  • Melakukan upaya-upaya nyata dan memperluas program pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat bagi orang dewasa, terutama perempuan sesuai dengan tuntutan kebutuhan belajarnya, termasuk layanan keaksaraan fungsional.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kami bertekad untuk:
  • Mempromosikan Kerangka Kerja Aksi Indonesia untuk Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat.
  • Mengembangkan dan menguatkan kerjasama antara instansi-instansi pemerintah dengan lembaga-lembaga non-pemerintah serta organisasi masyarakat.
  • Mengadvokasi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap program pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pembentukan kebijakan yang bersemangat keadilan dan kesetaraan.
  • Membangun sistem perencanaan, pengelolaan, pemantauan dan kajian yang partisipatif dan peka-gender dalam setiap tahap proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.
  • Mengembangkan kegiatan dalam program pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada kebutuhan dan keunggulan komparatif sumberdaya lokal.

Upaya pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat tersebut, membutuhkan pengerahan sumberdaya yang maksimal dari semua pihak melalui peningkatan kualitas tenaga pengelola dan pendamping,  alokasi dana yang cukup dan memadai, serta penyediaan sarana dan prasarana, baik dari pemerintah di tingkat pusat hingga daerah dan organisasi/lembaga non-pemerintah serta warga masyarakat pada umumnya.

Solo,  28 September 2001

*) Kerangka aksi EFA dijabarkan dalam dokumen Guidelines for implementing the World Declaration on Education for All

06 April, 2011

Selamat Datang Kurikulum 2015


Perubahan kurikulum pendidikan nasional? Bukan. Judul proyeknya adalah Penataan Ulang Kurikulum. Kurikulum baru ini diharapkan mulai diterapkan secara nasional mulai tahun 2015. Jadi, Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) yang selama ini berlaku, akan ditata ulang. Mungkin karena dianggap masih berantakan.

Landasan Kebijakan Penataan Ulang Kurikulum
  • RPJMN 2010-2014;
Enam substansi inti program aksi bidang pendidikan yang harus dicapai pemerintah berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Keenam substansi ini meliputi 1) Akses Pendidikan Dasar dan Menengah yang harus meningkat, 2) Akses Pendidikan Tinggi yang juga harus meningkat, 3) Penerapan metodologi pendidikan yang menyeluruh (holistik), 4) Peningkatan pemeran kunci dalam Pengelolaan pendidikan dan kependidikan, serta 5) penataan ulang kurikulum yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah, dan 6) Peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan.
  • Peraturan lain yang terkait;
UU No. 8/2005 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3/2005 tentang Perubahan atas UU. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pembagian wewenang dan sektornya). Kepala Dinas Provinsi dan Kab/Kota seharusnya menjalankan fungsinya secara optimal untuk mengarahkan kurikulum sesuai kebutuhan di tingkat lokal.
  • Renstra Kemendiknas 2010-2014;
Penerapan metodologi pendidikan Akhlak Mulia dan Karakter Bangsa, dan Pengembangan metodologi pendidikan yang membangun manusia berjiwa Kreatif, Inovatif, dan Sportif, dan Wirausaha. Ini adalah gagasan yang dilandasi oleh Instruksi Presiden, yang juga sudah diluncurkan panduannya.
Alur Pikir Penataan Kurikulum


Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, penataan kurikulum maunya mencakup tiga hal,

(1) Penguatan Pelaksanaan KTSP; Diharapkan memperkuat metodologi pembelajaran yang mengaktifkan dan mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan, pendidikan budaya dan karakter bangsa, dan pendidikan ekonomi kreatif. Pendidikan kewirausahaan dan ekonomi kreatif, artinya ke depan kurikulum kita akan menghasilkan lulusan pendidikan menengah yang cakap untuk mandiri, mengembangkan usaha sendiri tanpa tergantung pada dunia industri. Pendidikan budaya dan karakter bangsa, diharapkan manusia Indonesia kembali berbudi pekerti yang luhur, berbudaya, dan memiliki karakter kebangsaan yang tangguh.

(2) Pengkajian Materi KTSP;
Pemetaan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi serta kualifikasi kemampuan lulusan (PAUD, SD/SDLB, SMP/SMPLB, SMA/SMALB, SMK, dan PNF). Ruang lingkup materi yang selama ini tercantum dalam Standar Isi dan Standar Kelulusan akan ditinjau kembali, ditata ulang agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.

3) Pengelolaan Kurikulum Sekolah;
Bahan usulan/masukan yang dapat digunakan untuk menyempurnakan UU Sisdiknas saat ini. Selama ini padahal KTSP sudah berbasis kebutuhan lokal, tetapi karena implementasi Cakupan Materi KTSP tidak tepat, maka yang terjadi masih penyeragaman kurikulum. Ke depan, benar-benar akan ditentukan oleh maisng-masing satuan pendidikan.

Apa yang dimaksud Metode Pendidikan yang Mengaktifkan?
  • Proses pembelajaran yang mendorong peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara;
  • Pembelajaran harus terselenggara secara optimal, sebagai upaya sadar, terencana, dan menciptakan suasana dan proses keaktifan, dan upaya menciptakan kemampuan peserta didik yang holistik;
  • Menghindarkan jebakan “menjawab soal” atau teaching to the test, yang hanya mengajarkan cara-cara menjawab soal, bukan pada pemahaman substansi keilmuannya. 
Apakah ada yang baru dengan definisi ini? Rasanya tidak. Kalau dibuka dengan teliti,dokumen-dokumen lama yang melandasi pelaksanaan kurikulum kita selama ini sudah menjawab definisi tersebut. Yang ironis justru pelaksanaan UN-lah yang mengkhianati semangat metode belajar aktif, karena telah mendorong sekolah dan siswa ke dalam situasi teaching to the test ala bimbingan belajar. Kalau penataan ulang ini benar-benar bisa meluruskan pendidikan kita dari jebakan ini, Alhamdulillah!
Tinggal kita periksa, bagaimana mekanisme UN di masa mendatang, ketika hasil penataan ulang ini mulai diberlakukan.

Apa saja Yang Berubah pada Struktur Kurikulum?




Paling tidak, telah dilakukan analisis dan telah diidentifikasi kesalahan besar dalam implementasi Kurikulum kita. Dalam implementasi kurikulum kita selama ini, implementasi Ketentuan Standar Nasional Pendidikan dan Ketentuan Kurikulum tercampur menjadi satu, sehingga seolah-olah KTSP kita sama sekali tidak berdasarkan Satuan Pendidikan, melainkan ditentukan oleh pusat. Gambar perbandingan kurikulum sekarang dan yang akan ditata ulang dapat dilihat di gambar ketiga.
Berdasarkan pertimbangan di atas, di masa mendatang harus dilakukan:
  • Pemilahan Standar Isi dan Kelulusan (SI/SKL) dari Kurikulum. Ketentuan tentang Standar Nasional Pendidikan dan Kurikulum sebagaimana yang diatur secara terpisah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan masing-masing secara tersendiri.
  • Pemilahan ranah kompetensi lulusan yang mencakup kualifikasi kemampuan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
  • Kurikulum akan diatur menurut jenjangnya, Tingkat Nasional, Tingkat Daerah, dan Tingkat Satuan Pendidikan.
Catatan untuk perubahan ini, terutama pada pemilahan ranah standar kompetensi lulusan, yang dilakukan berdasarkan Standar Isi. Dalam logika Dacum (Developing a Curriculum) yang saya anut, Standar Kompetensi justru yang harus menentukan isi atau materi apa yang harus disampaikan kepada siswa. Artinya, kita harus bisa mendaftarkan kompetensi apa saja yang harus dikuasai siswa kita di masa mendatang, baru kita bisa tentukan materi apa saja yang perlu kita pelajari. Ini penting untuk mengurangi peluang materi yang berlebihan.

Proses penentuan kompetensi ini tentu melibatkan para ahli pendidikan, agar kompetensi dasar yang sangat penting dan perlu diutamakan, dapat diprioritaskan, jangan sampai semua lalu dianggap penting, sehingga siswa lagi yang mendapat beban terlalu besar.

24 February, 2011

TUGAS Seorang Revolusioner Adalah Membuat Revolusi

Tulisan ini artikel lama di Harian Kompas, yang sejatinya adalah resensi buku. Seperti yang Anda lihat di pengantar artikel, ada penjelasan mengenai buku yang dimaksud. Melihat situasi saat ini di Indonesia, rasanya tulisan 10 tahun lalu ini, atau isi buku Freire yang sudah hampir 30-an tahun yang lalu. Silakan menyimak!

Surat-surat Pedagogis Paulo Freire
Judul: Pendidikan sebagai Proses Surat-menyurat Pedagogis dengan Para Pendidik Guinea-Bissau, Penulis: Paulo Freire, Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan Pertama, tahun 2000, Tebal: (xiv + 269) halaman.

"TUGAS seorang revolusioner adalah membuat revolusi", demikian kata Fidel Castro. Maka sebagai seorang revolusioner, ketika diasingkan di Jenewa, Freire menolak tawaran bekerja pada masyarakat San Francisco atau New Delhi yang liberal. Ia justru memilih duduk di belakang meja, berpikir dan menulis dengan kata-katanya yang turut mendorong revolusi kemerdekaan di negara-negara Afrika.

Salah satu dari negara baru tersebut adalah Guinea-Bissau yang lepas dari penjajahan Portugal. Para pemimpin negeri itu kemudian mencanangkan program rekonstruksi nasional, yaitu upaya membangun kembali Guinea-Bissau dalam menyongsong kehidupan baru yang makmur, damai, adil, dan demokratis. Mereka memandang bahwa pendidikan menempati posisi yang sangat penting dalam mendorong proses rekonstruksi nasional itu.

Dalam kerangka ini, para pemuka Guinea-Bissau kemudian meminta Freire untuk membantu membangun kembali dunia pendidikan. Tugas khusus Freire adalah pada pendidikan melek huruf bagi orang dewasa.

Mereka mengundang Freire karena kagum atas konsep-konsep pendidikan Freire yang revolusioner dan telah menimbulkan perubahan sosial yang cukup berarti ketika diterapkan di Brasil dan Cile. Freire menerima tawaran itu karena sesuai dengan keberpihakannya selama ini pada upaya pembebasan kaum
tertindas.

Dalam menjalankan tugasnya, Freire berangkat dari pandangan bahwa pendidikan tidak boleh lepas dari lingkungan sosialnya. Para pendidik harus berasal dari "dalam" sistem dan lingkungannya.
Pendidik yang berasal dari "luar" sistem harus "dibunuh" lalu "dilahirkan" kembali dengan kesadaran baru. Sehingga hubungan pendidik-peserta didik bersifat kolaborasi (collaboration) bukan invasi
kultural (cultural invasion).

Untuk itu, Freire harus mengetahui keadaan sebenarnya negeri itu. Selain menggali dari berbagai tulisan, ia melakukan observasi lapangan, bergumul dengan masyarakat setempat untuk melihat, mendengar, berdiskusi, dan bertanya.

Dalam rangka ini pula, ketika berada di Jenewa, Freire banyak berdiskusi lewat surat dengan Komisioner Negara untuk Pendidikan Republik Guinea-Bissau, Ir Mario Cabral serta beberapa anggota
timnya.

***

BUKU ini merupakan kumpulan surat-surat pedagogis tersebut yang berjumlah 17 buah. Freire kemudian melengkapinya dengan pendahuluan dan catatan akhir yang menjelaskan latar belakang
serta pokok-pokok pemikiran pendidikan yang ia tulis dalam surat itu.

Dari penelusurannya, Freire menemukan bahwa 90 persen rakyat Guinea-Bissau buta huruf. Tetapi, mereka mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Mereka antusias mendukung kemerdekaan, revolusi, dan proses rekonstruksi nasional.

Di sisi lain, Freire menemukan bahwa pendidikan warisan penjajah Portugal efektif menjadi sarana dominasi ideologi penjajah, sekaligus proses de-africanisasi. Out put-nya adalah rakyat akan menjadi
inferior, merasa hanya bisa hidup jika menjadi "putih" atau tetap "hitam" tetapi berjiwa "putih".

Pendidikan ala penjajah ini juga menyosialisasikan bahwa kedatangan Portugal bermaksud untuk memberadabkan dan membudayakan Guinea-Bissau. Penjajah itu menekankan bahwa
peradaban dan kebudayaan Portugal jauh lebih tinggi, karenanya layak untuk diikuti (hlm 16).

Dalam keadaan seperti itu, menurut Freire, pendidikan harus ikut mendukung revolusi dan rekonstruksi nasional. Out put yang dihasilkannya harus berupa rasa kebersamaan, solidaritas, tanggung jawab sosial serta kepedulian untuk menegakkan kehidupan yang lebih baik.

Implikasinya, pendidikan warisan penjajah harus ditolak. Bahkan, dalam surat yang ketiga, Freire menekankan perlunya upaya de-portugalisasi menuju re-africanisasi mentalitas masyarakat (hlm 113). Pendidikan harus menegaskan bahwa Guinea-Bissau adalah entitas bangsa yang mandiri, merdeka, dengan kebudayaan dan peradaban yang bermartabat sama, sejajar dengan Portugal dan bangsa lain di dunia; yang bisa hidup, beradab dan berbudaya tanpa harus meniru Portugal.

Paradigma pendidikan seperti ini pula yang diderivasi Freire dalam praktik pendidikan melek huruf. Sebagaimana ia katakan dalam suratnya yang pertama (hlm 99-102), pendidikan melek huruf tidak boleh direduksi sekadar masalah teknis mendepositokan kata-kata tak bermakna ke dalam diri siswa.

Pendidikan melek huruf harus dimaknai sebagai aksi budaya dalam rangka proses pembebasan. Sebagai aksi budaya, tidak boleh terpisah dari aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Dalam suratnya yang kelimabelas dan tujuhbelas, Freire menjelaskan, pada mulanya, para peserta terlebih dulu diajak berdiskusi tentang persoalan keseharian mereka; revolusi, rekonstruksi nasional, peningkatan produksi pangan, dan sebagainya. Mereka diajak mendata persoalan, menganalisis, memetakan, dan kemudian menyelesaikannya.

Dari situ mereka akan menyadari bahwa dengan melek huruf mereka akan lebih mampu menyelesaikan persoalan dan lebih berarti dalam mendukung rekonstruksi nasional. Selanjutnya, keikutsertaan mereka dalam pendidikan melek huruf, benar-benar atas kesadaran dan kebutuhan diri sendiri.

Diskusi ini kemudian dilanjutkan dengan belajar membaca. Kata yang dipelajari dipilih kata generatif dari realitas sebagaimana yang didiskusikan. Peserta belajar membaca teks, sekaligus juga "membaca" realitas yang dikandung oleh teks itu. Belajar membaca konteks teoritis sekaligus menghubungkannya dalam konteks nyata. Dalam metode ini, yang ditekankan bukanlah transfer pengetahuan, tetapi penguasaan peserta atas metode pengetahuan. Peserta tidak hanya akan mendapatkan pengetahuan, tetapi mampu menciptakan/mencari pengetahuan sendiri, ketika ia menghadapi obyek yang berbeda. Peserta akan menjadi berdaya, kritis, dan tanggap dalam menghadapi dinamika perubahan.

***

DARI segi ide, apa yang diungkapkan buku ini, sebenarnya telah banyak diungkap dalam buku-buku Freire terdahulu seperti: Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan (Gramedia, 1984), Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES, 1985), Politik Pendidikan (Pustaka Pelajar, 1999).

Kelebihannya dibanding buku-buku itu, buku ini ibarat rekaman langsung proses kreativitas Freire ketika menerjemahkan ide-ide pendidikannya ke dalam realitas Guinea-Bissau. Freire tidak mentransplantasikan begitu saja pengalamannya di Brasil dan Chili, tetapi mencipta ulang (re-invented) pengalaman itu sesuai kondisi Guinea-Bissau.

Proses penciptaan ulang itu sekaligus pelajaran menarik bagi pembaca, bagaimana menerapkan ide-ide pendidikan Freire ke dalam lingkungannya masing-masing. Bentuk tulisannya yang berupa surat, juga lebih mampu "menampilkan" sosok Freire sebagai seorang yang humanis, gentle, penuh cinta dan kasih sayang, serta dikenal dekat dan hangat kepada teman-temannya dan anak-anak.

Kesan itu bisa menempatkan posisi Freire lebih proporsional. Sebab, bisa jadi, karena terkesan ide-ide Freire amat revolusioner tentunya si pencetus itu sangar dan menakutkan. Di tengah maraknya perbincangan tentang persoalan dunia pendidikan di Tanah Air saat ini, ide-ide Freire yang bertumpu pada paradigma pembebasan, pemberdayaan, dan pembudayaan tersebut layak dijadikan bahan renungan. Apalagi, paradigma seperti itulah yang nyaris hilang dalam sistem pendidikan kita.

* Arwani Kohlejo, pendidik swasta, alumnus IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0012/11/DIKBUD/sura34.htm | Senin, 11 Desember 2000 [deadlink]

29 January, 2011

Mengubah Paradigma Pendidikan



Setelah menonton video di atas, tiba-tiba saya teringat dengan beberapa tulisan lama, yang bertema pendidikan. Tulisan aslinya berjudul Education: The Necessary Utopia, oleh Jacques Delors. Tulisan ini adalah sebuah pengantar dari sebuah kumpulan artikel berjudul Learning: the Treasure Within, yang diterbitkan oleh UNESCO. Judul artikel pengantar itu sangat menarik, sekaligus provokatif, menurut saya.

Delors adalah ketua dari International Commission on Education for the Twenty-first Century. Komisi ini dibentuk UNESCO tahun 1993, beranggotakan 14 orang dari berbagai belahan dunia dan berbagai latar belakang budaya serta pendidikan. Komisi ini bercita-cita merumuskan seperti apa bentuk pendidikan di abad-21. Inti dari kerja komisi ini, melahirkan 4 pilar pendidikan secara umum: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together.

Untuk menerapkan Learning to know (belajar untuk mengetahui), hubungan Guru-Murid harus diubah menjadi hubungan fasilitator-pembelajar. Guru juga dituntut untuk dapat berperan sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa. Istilah untuk siswa tetap pembelajar, dengan asumsi mereka belajar untuk dirinya sendiri, mereka membelajarkan dirinya sendiri.

Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) hanya dapat terjadi jika sekolah mampu mengaktualisasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minat siswanya dalam situasi yang konkrit. Kalau Anda percaya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan, mungkin Anda juga harus percaya bahwa tumbuh kembangnya bakat dan minat sangat bergantung pada lingkungan. Mungkin ada kasus tertentu dimana anak tumbuh menjadi anomali di lingkungannya, tetapi sebagian besar akan mencontoh apa yang terjadi di lingkungannya. Anak adalah produk lingkungannya, terutama lingkungan dimana ia mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya.

Belajar dengan mempraktekkan pengetahuan serta keterampilanya, merupakan cara paling ampuh. Maka apa yang berlaku di sekolah, dengan kepura-puraan kurikulum yang ambisius, tetapi pada akhirnya dihadapkan pada realitas ujian nasional dengan standar yang semu pula, adalah pembelajaran luar biasa bagi anak.

"Tidak perlu repot belajar, menemukan sesuatu, yang penting pintar-pintarlah menjawab soal ujian." Lebih mudah lagi, tunggu saja kunci jawaban dari guru.

Pilar berikutnya, Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan pemenuhan ketertarikan manusia pada sesuatu. Tidak semua manusia tertarik menjadi insinyur, atau jadi dokter. Masing-masing orang punya cita-citanya sendiri. Bahkan saya pernah punya teman yang cita-citanya sederhana saja, pengen jadi supir traktor, segala macam traktor.

Tapi Anda semua pasti tahu, bagaimana cita-cita yang tak mendatangkan duit macam supir traktor itu akan dibunuh secara sistematis dalam masyarakat kita. Sekolah sudah mengajarkan bagaimana struktur sosial kita dibentuk, yang antara lain karena status kesarjanaan.

"Sekolah lah nak, kumpulkan koneksi sebanyak-banyaknya". Orang seolah lupa, bahwa amanatnya bukan Sekolah selama-lamanya, tapi menuntut ilmu selama-lamanya. Menuntut ilmu, atau belajar, tidak sama dengan sekolah.

Kita sudah dibuat lupa, bahwa semua profesi di muka bumi akan saling terkait. Semua orang saling membutuhkan. Dan tidak semua sekolah menyediakan pengalaman yang mampu membentuk kompetensi sebuah profesi. Sekolah saat ini cenderung hanyalah labsite, percontohan mini yang sama sekali tidak bisa disamakan dengan dunia nyata. Bahkan lebih parah lagi, cuma sekedar ajang kursus adu jitu menghitung kancing.

Yang terakhir adalah Learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Pilar keempat ini, membangun kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, dan hidup berdampingan dalam perbedaan. Kondisi seperti ini sangat kita butuhkan di Indonesia, mengingat kebhinekaan yang kita miliki, baik dari aspek ras, suku, agama, dan lain-lain.

Berita belakangan ini sudah tentu tidak asing di telinga kita, tentang pertempuran antar pemeluk agama, bahkan dalam agama yang sama, atau pertempuran antar ideologi yang dimodali uang besar sekali hingga mampu memionkan manusia di garis depan agar mau menyabung nyawa. Atas nama sebuah ideologi politik, yang bahkan pengusungnya tak fasih memidatokannya.

Video di atas, adalah ceramah dari Sir Ken Robinson, seorang ahli pendidikan berbasis kreativitas, yang mengkritisi paradigma pendidikan, terutama di Amerika (karena contohnya sebagian besar dari sana). Sir Ken menawarkan perubahan paradigma yang cukup revolusioner, dari pendidikan yang berkiblat pada industri, dan sarat dikotomi, kembali pada pendidikan yang memanusiakan manusia.

Terdengar indah di telinga, dan sedap pula dipandang mata. Animasi yang diperagakan dalam video itu berupaya memvisualkan pandangan Sir Ken dengan sangat baik, sangat memikat untuk disimak. Tapi apakah juga mudah untuk diterapkan?

Sir Ken menawarkan cara pandang pendidikan sebagai upaya pembelajaran secara kolaboratif, karena memisahkan individu dalam proses belajar dan mengukur pencapaiannya secara terstandar, akan membuat jurang yang besar dalam komunitas. Standarisasi seperti ini yang ditentang oleh Sir Ken Robinson.

Daripada memandang pendidikan sebagai sebuah proses yang konvergen, Sir Ken menawarkan cara pandang yang divergen. Divergent Thinking, tidak sama dengan kreativitas. Tetapi ia merupakan inti dari tumbuhnya kreativitas. Berpikir secara divergen, menumbuhkan kemampuan berpikir alternatif. Tidak ada jawaban tunggal. Semua punya alernatif. Ini dicontohkannya dengan kasus penjepit kertas.

Berapa banyak kemungkinan yang bisa kita temukan untuk mendayagunakan Penjepit Kertas? Dengan cara pandang divergen, katanya bisa menghasilkan lebih dari 200 kemungkinan.

Saat ini, kita jelas membutuhkan cara pandang seperti itu. Berbagai kebuntuan menghadapi masalah, karena kita masih berpikir dalam kerangka-kerangka yang sempit, dan dikotomis. Penguasa yang memiliki kekuasaan untuk melakukan perubahan, malah sibuk membuat kompromi yang justru menjeratnya dalam kerikuhan politik. Terobosan jarang dibuat, dengan alasan konstitusional. Padahal kualitas konstitusi juga banyak yang patut dipertanyakan. Don't think outside the box! There is no box!

Tapi, seperti paragraf awal dalam tulisan Jacques Delors, pendidikan bukan tongkat ajaib ala Harry Potter yang tinggal diayun sambil baca mantera. Ia adalah upaya jangka panjang yang harus dilakukan tanpa kenal lelah.

The Commission does not see education as a miracle cure or a magic formula opening the door to a world in which all ideals will be attained, but as one of the principal means available to foster a deeper and more harmonious form of human development and thereby to reduce poverty, exclusion, ignorance, oppression and war.

Pendidikan, mungkin bisa dianggap sebagai utopis, karena dampaknya jangka panjang, sementara kebutuhan sudah demikian mendesak. Tapi lagi-lagi, judul tulisan Delors mengingatkan kita, bahwa pendidikan mungkin sebuah utopis, tetapi sebuah utopis yang memang diperlukan.
Ceramah lengkap Sir Ken Robinson bisa disimak di sini (55:20 menit).

07 September, 2010

Pendidikan Kritis, dalam Transformative Learning

Transformative learning, memang lebih merepotkan. Pembelajaran model ini mengharuskan si fasilitator, dalam hal ini akan berperan lebih banyak sebagai mediator belajar, memahami lebih komprehensif isu-isu apa yang berkembang di wilayah pembelajaran. Belum lagi harus menyadari kaitannya dengan apa yang terjadi di dunia ini, karena globalisasi sudah mengikat semua kehidupan hingga ke pelosok.

Jika kita bicara masyarakat secara umum, bukan anak-anak di sekolahan dari TK hingga PT, Pendidikan kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan sosial politik yang adil dan egaliter.  Dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization (pewujudan kesadaran kritis/the coming to critical consciousness). Karenanya muncul pula istilah Transformative Learning ini.

Konsentisasi akan membawa pada pendidikan yang membebaskan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada, untuk itu langkah praksis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diri dan lingkungannya.

Untuk menjadikan peserta didik/siswa aktif dalam pemerolehan pengetahuan, maka strategi dan metode yang digunakan adalah menghadapkan siswa dengan masalah yang dialaminya melalui Problem posing education atau pendidikan hadap masalah dimana education as the process of transferring information, and embraces a view of education as consisting of acts of cognition that take place through dialogue. Students and teachers become critical co-investigators in dialogue with each other. Dalam kondisi ini tidak ada satu pihak mengajar yang lain, tetapi semua pihak belajar: Men teach each other, mediated by the world, by the cognizable objects which in banking education are ‘owned’ by the teacher”.

Lalu mungkin ada pertanyaan, bagaimana pula mengukur keberhasilan pendidikan seperti ini? Tidak seperti sekolah formal, pendidikan seperti ini biasanya tidak mengukur angka-angka, atau rating, tetapi melihat bagaimana mereka (warga belajar) mampu merespon permasalahan di masyarakat, setelah mendapat pengetahuan tertentu. Dalam proses belajarnya, warga belajar senantiasa dipantau, dinilai, dan langsung mendapat umpan balik. Tentu saja tidak mungkin dilakukan dalam setting yang massal layaknya pendidikan formal.

Ada 3 komponen utama dalam Transformative Learning, seperti yang terdapat pada presentasi di atas:
Pertanyaan Inti, Tujuan Belajar, Penilaian. Pertanyaan Inti, adalah semacam pertanyaan penelitian, sesuatu yang harus bisa dijawab setelah kita mempelajari sesuatu. Tujuan Belajar, merupakan ujung dari proses pembelajaran yang diinginkan. Kalau Pertanyaan inti adalah pangkalnya, maka Tujuan ini adalah ujungnya. Penilaian, tidak seperti ujian, tetapi memantau proses pembelajaran. Ia bisa dilakukan di sepanjang proses, tidak harus menunggu di akhir proses.

Pendidikan semacam ini, yang menempatkan warga belajar seolah para ahli sosial, sosiolog, budayawan, aktivis di komunitas, atau seorang ekolog, akan memberdayakan. Berdaya, dalam arti mampu memahami konteks hidupnya, tidak terbatas hanya pada teori di buku atau di media massa, tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Apa yang dipelajari, adalah bekalnya menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Bukan teori tentang kehidupan yang akan dijalaninya.

15 June, 2010

Mari, Revolusi Pendidikan Kita

Lagi, Sir Ken Robinson membuat saya terkesima. Setelah presentasinya 4 tahun yang lalu bicara tentang bagaimana sistem sekolah berpotensi membunuh kreativitas anak, kali ini ia tampil lagi dengan topik yang tak kalah kontroversial, Bring on the learning revolution!

Buat saya, pemikiran Sir Ken Robinson ini mirip dengan Ivan Illich, dalam bukunya yang menjadi salah satu favorit saya, Deschooling Society. Ia membuka presentasi menarik ini dengan menyatakan, bahwa banyak sekali orang yang kehilangan kesempatan menemukan potensi dirinya, hanya karena sekolah selalu dipandang yang terbaik.




Berikut adalah kutipan pembuka presentasi Sir Ken Robinson, setelah pengantar yang lucu soal videonya di TED.com yang diunduh jutaan kali:

Al Gore spoke at the TED Conference I spoke at four years ago and talked about the climate crisis. And I referenced that at the end of my last talk. So I want to pick up from there because I only had 18 minutes, frankly. So, as I was saying...
But I believe there's a second climate crisis, which is as severe, which has the same origins, and that we have to deal with with the same urgency. And I mean by this -- and you may say, by the way, "Look, I'm good. I have one climate crisis; I don't really need the second one." But this is a crisis of, not natural resources, though I believe that's true, but a crisis of human resources.
I believe, fundamentally, as many speakers have said during the past few days, that we make very poor use of our talents. Very many people go through their whole lives having no real sense of what their talents may be, or if they have any to speak of. I meet all kinds of people who don't think they're really good at anything.
I meet all kinds of people who don't enjoy what they do. They simply go through their lives getting on with it. They get no great pleasure from what they do. They endure it, rather than enjoy it, and wait for the weekend. But I also meet people who love what they do and couldn't imagine doing anything else. If you said to them, "Don't do this anymore," they'd wonder what you were talking about. Because it isn't what they do, it's who they are.

Ini yang perlu kita perhatikan juga dalam pendidikan kita. Ada persoalan besar dengan mengarahkan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, tapi hanya dari sisi materi. Pendidikan ibarat pabrik yang ingin memproduksi manusia super canggih, mampu melakukan banyak hal dengan harga murah. Bahkan seperti kritik Sir Ken Robinson dalam presentasi ini, ada pandangan seolah Pendidikan Tinggi telah dimulai sejak TK. Padahal tidak sama sekali.

Anak berusia 3 tahun, tidak berarti usianya adalah setengah dari 6 tahun. Anak 3 tahun ya seperti anak 3 tahun dengan segala keceriaannya. Anak 3 tahun tidak bisa dipaksa untuk belajar sesuatu yang di luar fitrahnya sebagai anak-anak.

Kalau Sir Ken Robinson menyuarakan revolusi pendidikan, saya setuju hal ini pantas berlaku di sistem kita. Pertanyaannya mungkin, Revolusi seperti apa? Perubahan seperti apalagi yang perlu dilakukan, bukankah perubahan sudah banyak?

Revolusi yang perlu dilakukan, adalah di tataran paradigma. Mengubah kurikulum hanyalah hal teknis, tetapi perubahan secara paradigmatis dalam kurikulum tersebut, tidak terinternalisasi dengan baik oleh para pelakunya. Bahkan ada kecenderungan, kebijakan pemerintah seakan bertentangan dengan paradigma kurikulum yang telah diubah. Ketidakkonsistenan ini adalah penyebab kebingungan di kalangan pelaku dan penyelenggara pendidikan.

Akhirnya, jalan pintas adalah solusi. Belakangan, gagasan RSBI, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ternyata diduga melakukan tindak korupsi. Padahal gagasan ini maunya melahirkan siswa-siswa super cerdas, dengan menafikan pemerataan kualitas pendidikan yang masih menyedihkan. Akankah pendidikan kita terus-terusan dirundung kebingungan?

30 September, 2009

Mendiknas, Kembalilah ke Jalan yang Lurus!


Rangkaian iklan pendidikan gratis di televisi, belakangan ini semakin menjadi-jadi. Ketika tidak sengaja menonton lagi iklan-iklan pendidikan gratis itu, saya semakin yakin, bahwa Mendiknas sedang tersesat. Mungkin juga kebelet ditelepon SBY untuk jadi menteri lagi di "musim" depan.
Sebelum kelewatan, mari kita saling mengingatkan demi kebaikan.

Pak Menteri, layanan publik tidak bisa diselesaikan dengan iklan. Warga, kami, tidak butuh iklan. Yang kami butuhkan adalah akses terhadap standar minimum layanan pendidikan yang berkualitas. Dan membangun kualitas butuh kerja keras, bukan dengan iklan di media massa. Masih banyaknya keluhan di lapangan soal implementasi pendidikan gratis, membuktikan bahwa jajaran Anda belum cukup keras bekerja untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan. Padahal Anda punya alokasi 20% dana APBN khan?

Lagipula Pak Menteri, jangan lupa bahwa Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan warga negara atau citizen lawsuit, yang dilayangkan masyarakat yang dirugikan akibat ujian nasional (UN). Para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN. Dalam putusan itu Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memerintahkan pemerintah agar meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah Indonesia sebelum melaksanakan UN. Bapak belum lupa kan?

Baiklah. Kalau Bapak sudah lupa, saya akan coba ingatkan. Jangan cari putusannya di web Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, karena di sana hanya ada dua putusan yang bisa kita akses. Tapi, saya kira Anda pasti menerima salinan putusan itu khan? Sekedar mengingatkan, berikut putusan itu yang saya temukan di media massa.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu bernomor 377/PDT/2007 tertanggal 6 Desember 2007. Jika dalam 15 hari setelah diterbitkan tidak ditanggapi, putusan itu berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan ujian nasional ke depan akan dianggap melawan hukum jika tidak didahului evaluasi kualitas guru, akses informasi dan pemerataan sarana prasarana pendidikan (Kompas 14/04/2008). Kalau Anda menjawab putusan pengadilan itu dengan iklan, apa itu bukan sesat pikir namanya?

Tapi, baiklah. Saya tahu sebentar lagi Anda akan berhenti dari jabatan menteri. Komentar saya ini mungkin tidak terlalu banyak gunanya. Sebelum Anda turun, saya sarankan, kembalilah ke jalan yang lurus. Saya tahu Anda juga sudah mengisyaratkan kenaikan gaji guru bantu minimal 2 juta sejak awal tahun 2009 yang lalu. Tapi saya yakin, itu tidaklah cukup. Sebaiknya, uruslah mekanisme pengelolaan pendidikan negeri ini dengan kewenangan yang Anda punya, daripada membuat iklan yang cuma menguntungkan media massa, dengan materi yang menyesatkan pula.

Di salah satu iklan terakhir, dengan arogan Anda menjewer seorang anak perempuan berseragam SD. Anda melakukannya di depan publik. Anda, seorang Menteri Pendidikan Nasional, yang bergelar Prof. Dr. itu mempraktekkan kekerasan pada anak di depan publik. Menurut Anda itu sesat atau tidak Pak?

Kalau yang Anda maksud adalah menjewer penyelenggara pendidikan yang melanggar aturan pendidikan gratis itu, saran saya ambil tokoh kepala sekolah, lalu jewerlah kupingnya di depan publik. Kalau Anda tidak punya stok talent untuk itu, saya siap membantu mengajukan nama kepala sekolah yang bisa Anda jewer itu Pak. Atau bapak memang beraninya cuma lawan anak kecil?

Banyak kok praktek-praktek sukses di lapangan yang bisa dijadikan sumber belajar. Sebagai menteri dengan gaji sebesar Anda, dan tingkat pendidikan yang Anda miliki, saya kira nyewa internet unlimited, dan browsing di google aja bisa kok nemu praktek-praktek itu. Apalagi Anda punya kementrian dengan barisan aparat yang saya kira bukan sekumpulan orang tolol.

Ah, Pak menteri yang terhormat, saya cuma bisa ngomong doang di sini. Kalau ada yang kurang berkenan, mohon dimaafkan. Kalau ada kelebihan, mohon dikembalikan...

Artikel ini aslinya saya post di Politikana.com

07 August, 2009

Rendra, Kau Buat Indonesia Berkabung (Lagi)!




Sejak jatuh sakitnya Rendra, hanya satu yang saya khawatirkan. Apakah kita sudah menemukan 'Rendra baru', atau bahkan yang lebih baik darinya? Kekhawatiran ini tentu subjektivitas saya sendiri, mengingat meninggalnya Kang Harry Roesli beberapa tahun yang lalu kini masih menyisakan pertanyaan yang sama. Kita benar-benar kehilangan.

Tahun 1998 adalah masa dimana saya mengenal karya-karya Renda secara lebih intensif, dan menggunakannya sebagai bahan memotivasi diri, memompa keberanian, dan menyandarkan harapan. Tentu saya cuma anak kemarin sore dalam hal membicarakan karya-karya beliau, dan saya memang tidak bermaksud menyombongkan apapun dalam cerita ini.

Ditambah diskusi intens dengan komunitas Supratman 57, kediaman alm. kang Harry, 'sumpah-serapah' atas situasi saat itu dengan mudah melebur jadi energi lain. Pergerakan jadi semakin bertenaga, kenekadan tambah 'membabi-buta', dan pada akhirnya Mei 1998 meletuslah peristiwa itu. Ejakulasi politik tak terhindarkan, meski kita tahu hingga hari ini 'kemenangan' sesaat itu tinggal jadi dongeng belaka.

Sepanjang Februari-Mei 1998, baik di kamar kos atau di panggung-panggung kecil di kampus, syair-syair Rendra dari Potret Pembangunan dalam Puisi dibacakan secara bergantian. Kami buat ia sebagai teman penghantar tidur, agar esok ketika bangun kami tidak lupa. 'Perjuangan' masih panjang, masih membutuhkan energi, pengorbanan, dan keberanian lebih besar lagi. Untaian kata demi kata dari buku itu sungguh dahsyat, tidak saja menginspirasi, tapi juga benar-benar mengobarkan semangat.

Karena Rendra-lah, saya bisa memaknai kata Pembangunan secara lebih 'baik', setelah sebelumnya kata Pembangunan lebih sering menyertai kata "Bapak", dan maknanya terdistorsi pada stabilitas & pemberangusan perbedaan. Kalau pada saat SMP saya mengenal sastra lewat Aku Khairil Anwar, Merahnya Merah Iwan Simatupang, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana, atau Roman Siti Nurbaya-nya Marah Roesli, maka saya mendapat hal baru lewat sastra dari karya-karya Rendra. Apalagi ketika SMP, saya berada di Palu, Sulteng, tempat dimana perkembangan zaman rasanya tidak akan pernah terjadi (saat itu).

Buat Rezim Orde Baru, puisi-pusi Rendra tentu bikin kuping panas, karena selain kritis, satir, nyinyir, dan sinis, kata-kata Rendra dalam puisi-pusi itu juga terkadang sangat vulgar. Situasi penuh penindasan benar-benar dilawan dengan kata-kata oleh Rendra. Ia memang puitis, tapi tidak mendayu-dayu romatik, ia tegar dan garang. Kata-kata pilihannya merebak, bak burung merak, 'gelar' yang dipilihnya sendiri setelah menatap seekor burung merak di kebun binatang. Sajak Sebatang Lisong, adalah salah satu karya favorit buat saya.

Kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
Diktat – diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
Kita mesti keluar ke jalan raya
Keluar ke desa – desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan menghayati persoalan yang nyata

Bukan saja garang, tapi karya-karyanya juga merepresentasikan kondisi saat itu. Rendra mampu mendokumentasikan situasi negeri ini dengan hati, dengan kejujuran, dan tanpa kompromi. Kita masih (sangat) butuh konsistensi yang ditunjukkannya, bukan ekonom, teknokrat atau politikus plintat-plintut yang dengan mudah pindah kandang untuk mencari pakan.

Selamat Jalan Mas Willi! Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...

Bandung, 7 Agutus 2009

25 July, 2009

Pendidikan Buruh untuk Negara Agraris' (?)

Ini berawal dari diskusi tentang pendidikan. Link and Match. Berbasis Kompetensi. Dan segala macamnya. Ketika mencoba menilik produknya, sarjana pengangguran, ketidakjelasan kualitas lulusan perguruan tinggi, dan seterusnya. Kesimpulan awal, kita mengalami sejarah panjang Disorientasi Sistem Pendidikan, sampai sekarang.

Coba kita lihat beberapa kasus menarik. Ketika kurikulum pendidikan kita mencoba menjawab tantangan industri, bahkan SMK kini diiklankan sebagai 'jalan pintas' bagi orang miskin daripada meneruskan ke perguruan tinggi yang mahal. Kita lupa dengan konsep pendidikan dasar, yang sekarang baru ditetapkann hingga 9 tahun. Dimana-mana, pendidikan dasar dipatok 12 tahun. Asumsinya, dalam konvensi hak anak, yang disebut anak itu hingga yang berusia 18 tahun. Di sini, kita mempersiapkan anak berusia dibawah 17 tahun, untuk menjadi buruh. Kita serius dengan usaha itu, dilembagakan, dibangga-banggakan pula sebagai terobosan!

Berbasis kompetensi. Belakangan kurikulum pendidikan kita bergeser menjadi KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Asumsinya, kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan seterusnya. Berbagai kemampuan mental, akan diukur dengan standar kompetensi. Jadi bayangkan, bagaimana ukuran seseorang sudah beriman atau tidak? Rajin beribadah, tapi kalau bikin KTP masih suka nyogok? Bagaimana membuat standar performance dari Keimanan dan Ketakwaan itu?

Mungkin toolsnya bisa dikembangkan, tapi kalau urusan ibadah itu sudah jelas patokannya di agama masing-masing. Nah, kalau masih suka nyogok, mau dibahas di pelajaran agama atau di pelajaran PPKN? Lalu bagaimana supaya ukuran kompetensi tadi tidak saling tertukar?

Competency Based Education, diterapkan di negara yang memang secara kultur industrinya kuat. Artinya, mereka adalah negara industri. Makanya disana partai buruh yang berkuasa, karena sebagian besar manusia di sana adalah 'buruh'. Lha kita? Negara berkembang? Negara agraris? Atau apa sih sebenarnya? Oke lah, kalau kita memang pernah mengaku sebagai negara agraris dan kelautan, apakah negara cukup serius menggarap industri kelautan dan agrobisnis, supaya pendidikan berbasis kompetensi itu jadi relevan? Rasanya tidak.

Petani dan nelayan adalah kaum marjinal di negara yang mengaku dan agraris dan kelautan ini. Industri yang dimodali negara besar-besaran malah industri yang lain lagi. Petani dan nelayan butuh sumberdaya manusia unggul, teknologi tepatguna, untuk membuat inovasi-inovasi, tapi sekolah tak sanggup melayani kebutuhan yang cepat itu. Pertanian cuma jadi sebuah fakultas, atau sebuah institut. Sekolah menengah pertanian malah diberangus. Paradoks. Negara ini memang 'negara' yang aneh.

19 September, 2008

Apa pula Pendidikan Kritis?

Membaca kembali Buku Pendidikan Popular terbitan INSIST, mengingatkan pada paradigma pendidikan kritis. Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan dalam rangka untuk pemberdayaan dan pembebasan. Perdebatan mengenai peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan praktisi berkisar mengenai pendidikan sebagai untuk melawan sistem kapitalisme, dan sistem lain yang menindas. Namun, pembahasan mengenai pendidikan sebagai alat perubahan sosisial, menyebabkan terbaginya dua aliran menyangkut pendidikan—apakah pendidikan dapat digunakan sebagai media transformasi sosial.

  1. Golongan pertama adalah penganut paham “reproduksi”. Golongan ini sangat pesimis bahwa pendidikan mempunyai peran untuk perubahan sosial menuju transformasi sosial. Mereka menganut teori repsoduksi. Golongan ini menganggap bahwa pendidikan dalam sistem kapitalisme berperan untuk mereproduksi sistem itu sendiri. Pendidikan akan melahirkan peserta didik yang akan memperkuat sistem dalam masayarakat. Sehingga mereka sangat pesimistis bahwa pendidikan akan mampu menjadi penyebab transformasi sosial.

  2. Golongan kedua, yakni penganut paham "produksi". Golongan ini, meyakini bahwa pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Bukankah sebagian besar tokoh nasional dunia ketiga yang memimpin bangsa mereka untuk melawan penjajahan, kolonialisme dan imperialisme lahir dari hasil pendidikan oleh sisitem pendidikan yang justru dimaksudkan untuk mempertahankan dan melanggengkan kolonialisme? Dengan demikian bagi penganut paham ini, pendidikan senantiasa mempunyai aspek pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui proses yang membebaskan serta dilaksanakan dalam kerangka membangkitkan kesadaran kritis.
Pijakan dasar tradisi pendidikan kritis yakni pemikiran dan paradigma kritik ideologi terhadap sistem dan struktur sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil. Dengan demikian pendidikan dalam perspektif paham ini merupakan media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Maka pendidikan kritis merupakan proses perjuangan politik.

Bagi penganut pendidikan kritis, ketidakadilan kelas, diskriminasi gender, hegemoni kultural dan politik serta dominasi melalui diskursus pengetahuan yang merasuk di dalam mayarakat, akan terefleksi dalam proses pendidikan, dan harus menjadi cermin kondisi sosial dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan proses refleksi dan aksi (praksis) terhadap seluruh tatanan dan relasi sosial dari sistem dan struktur sosial dan bagaimana perannya, cara kerjanya, dalam menyumbangkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial.

Artinya apa? Proses pembelajaran di kelas adalah sebuah miniatur kehidupan. Bahwa nilai-nilai dalam Pancasila adalah nilai yang luhur, tapi tanpa diuji keluhurannya dalam proses pembelajaran yang kritis dan kreatif, maka nilai-nilai itu hanya akan jadi hafalan saja. Inilah konsep dimana pendidikan adalah sebuah proses hadap masalah, dan bukan lari dari masalah, atau sekedar kucing-kucingan dengan fakta di lapangan. Anak-anak bukanlah makhluk bodoh yang bisa dengan mudah dikendalikan seperti kerbau yang tercocok hidungnya. Mereka juga punya mata, punya telinga, dan punya rasa. Kontras antara tema diskusi di dalam kelas dengan fakta di jalanan, hanya akan membuat mereka frustasi dan akhirnya menciptakan nilai-nilainya sendiri. Anarki.

17 September, 2008

Pendidikan (justru) Membunuh Kreativitas?







Education is a terrible way to find out what you're good at. Sound strange, right?

But think about this; how many of you are currently working in the subject you liked most in school. Not the one you excelled in, the one you liked.

In our very streamlined public education system, children around the world are taught the maths and sciences, but how many of them are taught art, painting or dance with the same vigour?

In our very streamlined public education system, children around the world are taught the maths and sciences, but how many of them are taught art, painting or dance with the same vigour?

Riz speaks with world renowned creativity and education expert Ken Robinson who strongly believes the current state of education may begin holistically but progressively focuses "on the head, and then just to one side."



Reblog this post [with Zemanta]

27 August, 2008

Merevolusi Pendidikan Kita (1)

Wacana pemberdayaan masyarakat kini diperkaya dengan hadirnya Appreciative Inquiry (AI), sebuah pendekatan baru dengan paradigma baru pula. Paling tidak terminologi 'baru' ini berlaku untuk masyarakat, namun (mungkin) tidak bagi beberapa LSM. Lalu ada kaitan apa AI dengan dunia pendidikan kita?

Belakangan ini koran kita dipenuhi dengan berbagai berita mengenai pemilu 2009. Tentang sulitnya mencari kader, hingga perekrutan besar-besaran kalangan artis menjadi caleg partai. Semua ini adalah potret betapa pendidikan kita tidak menyumbang banyak dalam peningkatan sumberdaya manusia. Karenanya, perlu sebuah revolusi kebudayaan- melalui pendidikan - yang mengarah pada kelahiran kembali manusia Indonesia. AI mungkin adalah sebuah alternatif dalam menyumbang perubahan yang signifikan, terutama kaitannya dalam komunitas.

Pertama berkenalan dengan AI, yang tampak adalah sebuah daur dengan 4 titik perhentian, yang disebut sebagai 4D-nya AI. Diawali dengan tahap Discovery, Dream, Design, dan terakhir Destiny (Delivery). Demikian seterusnya, daur ini akan berputar seiring berjalannya waktu.

Tapi lalu ada hal-hal yang lebih mendasar dibalik 4D ini. Satu tahapan yang disebut sebagai Affirmative Topic Choice. Tahap ini memang tidak nampak jelas dalam berbagai literatur yang berhasil dikumpulkan, tetapi ternyata tahap ini krusial bagi keberlanjutan daur 4D. Tahapan pra-4D ini berupaya menentukan fokus yang akan digali lebih jauh dalam kerangka daur yang pertama, yakni Discovery.

Tanpa fokus yang jelas dalam ber-AI, akan menyesatkan pesertanya dalam banyak sekali topik-topik, sekumpulan informasi yang tidak mudah untuk dikelola. Memfokuskan topik penggalian juga akan memfokuskan kemana arah perubahan yang diinginkan. Tahap Discovery akan mengarahkan peserta pada cerita sukses dalam situasi dan setting yang relatif sama, karena fokus yang telah ditetapkan sebagai affirmative topic.

Menggali cerita sukses di masa lalu bukan sekedar aktivitas bernostalgia, tetapi berupaya mengapresiasi apa yang telah berjalan dengan baik dalam organisasi atau komunitas. Aktivitas yang berbau reflektif ini diarahkan hanya pada hal-hal yang sudah berjalan baik, tanpa reserve. Para pelaku akan melakukan penelitian atas diri mereka sendiri, mereka yang menjadi bagian dari organisasi/komunitas.

Mengeksplorasi diri, menjadi salah satu ujung tombak dari paradigma AI. Kata Inquiry, yang melekat di belakang kata Appreciative, berarti tindakan eksplorasi atau penemuan, menyiratkan tindakan penyelidikan tentang kemungkinan baru, dan sebuah komitmen untuk belajar.

Selanjutnya adalah proses menetapkan visi bersama, dan merancang, menstrukturkan kembali segala sumberdaya yang dimiliki organisasi/komunitas agar visi tersebut dapat tercapai. Cara baru mengelola sumberdaya inilah yang akan mengantarkan organisasi/komunitas menuju visi yang diimpikan. Tahapan terakhir adalah melembagakan cara baru ini ke setiap unsur organisasi/komunitas, sehingga melahirkan budaya baru dalam organisasi/komunitas. (bersambung)


Enhanced by Zemanta

Merevolusi Pendidikan Kita (2)

Prasyarat yang dibutuhkan
Demi kelancaran proses 4D seperti yang digambarkan sebelumnya, Coperrider sebagai salah satu penemu AI menyatakan bahwa sebagai sebuah paradigma baru, AI harus diterima sebagai sebuah keniscayaan. Artinya siapapun yang akan menjalani AI, membutuhkan 'keimanan' yang cukup dalam terhadap kemampuan AI membawa perubahan. Tanpa keimanan yang cukup, maka 4D hanya akan menjadi sekedar metodologi, teknik-teknik yang dipraktekkan tanpa penjiwaan yang cukup. Ibarat sebuah skenario film yang diperankan tanpa ekspresi.

AI memang bukan sekedar sekumpulan teknik, bukan metodologi yang cespleng untuk mengatasi sebuah persoalan. AI adalah sebuah paradigma baru dalam memandang misteri kehidupan sebuah organisasi/komunitas. Jika menurut paradigma lama, kita memandang organisasi/komunitas adalah sebuah kumpulan persoalan yang butuh jalan keluar, maka AI menawarkan cara pandang yang lain. Sebuah organisasi/komunitas adalah sebuah misteri yang terdiri dari sekumpulan orang-orang dan sumberdaya, yang menunggu untuk dipecahkan. Namanya juga misteri, maka kita belum tahu pasti akan kemana arahnya.

Arah yang akan dicapai, menurut AI, ada di tangan orang-orang di dalam organisasi/komunitas itu sendiri. Jika kehancuran yang menjadi tema utama keseharian mereka, maka hancurlah organisasi itu. Jika kesejahteraan yang dijadikan nafas kehidupannya, maka kesanalah organisasi itu akan berujung.

Memperkenalkan cara pandang baru ini bukan sekedar mengganti kacamata, melainkan pergantian kepercayaan. Sebagai sebuah konsep, AI membutuhkan komitmen organisasi/komunitas untuk terus menerus belajar, tumbuh, dan berkembang. Langkah pertama yang disarankan Coperrider adalah internalisasi oleh organisasi/komunitas itu terhadap konsep-konsep yang diusung AI.

Maka diperlukan sebuah proses menggugat kepercayaan lama, dan menggantinya dengan yang baru. Memperkenalkan cara pandang yang baru, adalah sekaligus menyatakan bahwa cara pandang yang lama itu kurang tepat. Cara pandang tidak sekedar mempengaruhi cara berpikir, tetapi merupakan sebuah dasar bagi dinamika sebuah komunitas.

"A constellation of concepts, values, perceptions and practices shared by a community which forms a particular vision of reality that is the basis of the way a community organizes itself."
Thomas Kuhn, the Structure of Scientific Revolutions (1962)

Dalam teori Paradigma Shift-nya Thomas Kuhn, setiap kali muncul sebuah paradigma baru, meski melalui sebuah proses sosial yang kompleks sekalipun, paradigma yang baru itu memang benar-benar lebih baik daripada yang lama, bukan sekedar 'berbeda'. Teori Kuhn memang berdasar pada perkembangan ilmu pengetahuan, dan AI, yang lahir dari tradisi kependidikan Barat, tampaknya pantas kalau kita bingkai dalam kerangka berpikir Kuhn. (bersambung)


Enhanced by Zemanta

Merevolusi Pendidikan Kita (3-habis)

Revolusi kebudayaan dalam paradigma baru AI
Memperkenalkan paradigma baru, pada akhirnya akan berhubungan dengan pembentukan budaya baru. Proses pembentukan budaya baru, tentu saja bukan proses setahun atau dua tahun. Teman-teman LSM di NTT, butuh bertahun-tahun untuk memperkenalkan yang namanya Wanatani. Bahkan sampai sekarang, perilaku lama tebas bakar dan tarik api masih menjadi musuh utama dalam sistem pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam disana.

Sekarang, ada yang namanya AI. Ia akan diperkenalkan kepada masyarakat, sebagai sebuah cara pandang baru menuju kesejahteraan bersama. Lupakan bahwa kita punya segunung masalah, dan mari melihat apa yang kita punya. Dari sinilah kita akan memulai perubahan, dari apa saja yang sudah berjalan baik hingga hari ini.

Disinilah muncul pertanyaan besar dalam mencoba memperkenalkan AI. Upaya apa yang akan ditempuh untuk mengubah paradigma masyarakat, dari paradigma defisit menjadi apresiatif? Sebuah upaya revolusi dalam perubahan sosial?

Upaya perubahan sosial yang akan dilakukan, melalui pendidikan formal, dengan cara seperti ini tampaknya akan terhadang sistem kurikulum pemerintah. Mereka yang masih percaya pendidikan adalah sebuah ukuran, angka-angka dan persentase yang dikuantifikasi dari keberhasilan para siswa membuat bulatan yang benar pada pilihan yang disodorkan. Jangan berharap kreativitas, karena semua jawaban adalah pilihan, yang tak dibuatnya sendiri pula.

Pendidikan yang melihat manusia sebagai sebuah potensi, sebuah keniscayaan terhadap perubahan, adalah pendidikan yang perlu dibangun. Lalu apa standarnya? Apa kriterianya? Bagaimana pula mengukur keberhasilannya?

Tentu tidak lewat ujian dengan pilihan berganda. Pendidikan semacam ini hanya bisa berlangsung setiap hari, tidak hanya di sekolahan, tetapi juga di jalan-jalan, di gedung pemerintahan, di rumah sakit, di sawah, di mana saja. Bagaimana sekolahan mampu merefleksikan dunia besar di luar sana, menjadi sebuah dunia kecil pembelajaran di dalam kelas. Ukurannya jauh lebih ketat, karena akan terus diamati oleh masyarakat. Setiap komentar, setiap pernyataan aspirasi dari masyarakat adalah ukuran yang perlu dijadikan standar bagi kemana arah pendidikan.

Semoga ini akan menjadi jawaban atas perpolitikan di Indonesia, yang belakangan ini perilakunya sungguh menyedihkan. (habis)

Enhanced by Zemanta

21 August, 2008

Mencermati 20% Anggaran Pendidikan

Old book bindings at the Merton College library.Image via Wikipedia
Horee! Anggaran pendidikan kita benar-benar memenuhi amanat UUD 45 yang diamandemen, yaitu 20% dari APBN, dalam hal ini APBN 2009. Kalau dirupiahkan, kira-kira anggaran pendidikan kita tahun 2009 nanti menurut MenKeu Sri Mulyani, jumlahnya naik dari Rp 154 triliun menjadi Rp 224 triliun atau naik cukup besar, sehingga porsi anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari total anggaran sesuai dengan amanat konstitusi.

Nah, kemana saja tuh duit? Dari laporan ANTARA, menurut Mendiknas anggaran pendidikan itu akan dialokasikan melalui Depdiknas, Depag, dana alokasi umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). "Anggaran terbesar diberikan ke daerah melalui DAU dan DAK di mana sebagian besarnya adalah untuk gaji guru," katanya. Namun Presiden sudah memberikan pengarahan agar diprioritaskan tunjangan fungsional guru, peningkatan mutu SMK, dan pengembangan penelitian. Demikian laporan ANTARA.

Jadi jangan terlalu gembira dulu. Berdoa saja anggaran itu bisa dibelanjakan dengan baik dan benar, mengingat daya serap anggaran kita masih sangat rendah, baru mencapai sekitar 30% dari rencana anggarannya. Sementara itu, simak juga laporan dari KOMPAS.com yang menyebutkan, bahka kenaikan ini berarti juga kenaikan hutang negara. Berikut kutipan dari kompas.com:
Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 persen ternyata seiring dengan meningkatnya defisit anggaran 2009. Dapat diasumsikan, ambisi pemerintah memenuhi konstitusi tersebut dipenuhi dengan cara berutang. Hal ini diungkapkan oleh anggota Komisi XI dari Fraksi PAN Dradjad Wibowo usai keterangan pers sejumlah partai menanggapi pidato kenegaraan presiden di Jakarta, Jumat (15/8).

Nah lo. Tapi tidak apa-apalah. Saya lebih setuju ngutang demi pendidikan, daripada ngutang buat dikorupsi sama pejabar negara, atau dikemplang sama pengusaha tak bertanggung jawab.
Enhanced by Zemanta

13 July, 2008

Stop Kekerasan & Bullying dalam OSPEK & MOS




Sebentar lagi pada ospek. Yang di sekolahan, bakalan ada MOS. Sudah saatnya meninggalkan kebiasaan kekerasan dalam OSPEK atau MOS, karena ajang itu seharusnya bisa dikemas lebih kreatif, dan waktunya memberi para peserta sesuatu yang lebih bermanfaat, daripada praktek kekerasan, baik fisik maupun psikologis dalam bentuk bullying.

Boikot kekerasan dalam OSPEK dan MOS!!

Update:
  1. Hati-hati Bullying di Sekolah
  2. Sekolah Nyaman, Bullying Enggan
  3. Kekerasan di sekolah, Jogja Paling Tinggi

02 May, 2008

Pembocor UN = Pembocor Rahasia Negara = Teroris

Ini adalah cuplikan berita dari Kompas:

Tiga hari sudah berlalu, tetapi Sianturi mengaku masih shock. Dia mengatakan hanya ingin membantu siswa yang kesulitan mengerjakan soal Bahasa Inggris. Diakuinya semua direncanakan para guru. Pada saat para siswa terlihat tidak bisa mengerjakan soal, guru-guru akan membantu membetulkan jawaban. ”Kami terpaksa,” katanya.

UN itu, menyisakan lagi cerita yang tidak mengenakkan. Meski kita sudah tahu itu terjadi sejak dulu, hanya saja ada yang tidak mau tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bahkan, masih ingat dengan guru-guru di Sumut juga, yang tahun lalu melaporkan kebocoran tapi malah diasingkan? Dulu mereka bahkan mendapat intimidasi karena melaporkan kecurangan UN. Ini adalah blog mereka http://airmataguru.blogspot.com/

Sungguh fakta yang paradoks.
Masihkah UN diperlukan? Tidak adakah jalan lain?

20 November, 2007

Paket B sekali lagi!!!!



Hari ini, untuk kedua kalinya saya mengantarkan murid-murid saya untuk mengikuti Ujian Paket B. dari 8 orang murid saya yang harusnya mengikuti ujian, hanya ada 7 orang murid yang bisa ikut. Satu orang murid saya yang tidak ikut ujian dikirim orang tuanya unruk menjadi
tukang bangunan di Jawa.

Dari 7 orang muridku yang mengikuti ujian, ada 6 orang yang ujian PAket B di PKBM Amanah dan 1 orang ujian di Patra Komala.

Kami semua tiba di PKBM Amanah pukul 12.oo. Hingga sekitar pukul 12.30, PKBM Amanah masih sepi. PKBM Amanah memiliki 2 ruang kelas yang kecil. Suasananya mengingatkan saya akan sekolah murid-murid saya yang telah bubar.

Ujian mulai pukul 13.oo. Mendekati waktu ini, pengawas pun telah tiba. Ibu Euis, pemilik PKBM Amanah, dan seorang guru dari SMP Bina Bangsa merupakan pengawasnya. Selain ke 6 muridku, ada juga 5 orang bapak-bapak yang juga mengikuti ujian.

Ujian pertama adalah PPKN. Perlu diketahui bahwa kami semua belum mengetahui jadwal ujian untuk 3 hari ini dan waktunya sebelum kemarin pk 13.oo. Gila bukan!! Kami baru diberitahu jadwal ujian sehari sebelumnya!! Bahkan, kemarin pagi, kami belum mengetahui apakah ujiannya pagi atau siang.

Setiap muridku diminta oleh oihak PKBM untuk membayar p 250.000,- per anak. Hal itu cukup berat untuk keluarga murid-muridku, dan sampai seminggu sebelum ujian, kami masih bingung darimana harus mendapatkan uangnya.

Beruntunglah kami, seorang kenalan dari internet membantu membiayai uang ujian ketujuh muridku. Kami sangat bersyukur akan hal ini.

Walaupun uang sumbangan tersebut telah saya pegang, sampai ujian tadi saya belum membayarkannya ke PKBM. Saya ingin tahu apakah saya akan ditagih atau tidak.

Waktu saya sedang menungu murid-muridku yang ujian PPKN, saya dipanggil untuk masuk ke ruang kelas yang tidak digunakan untuk ujian.

"Ibu ada yang manggil," kata Bu Euis. Ternyata seorang ibu yang berseragam dinas pendidikan, Bu Dewi namanya. Dia ternyata memanggilku untuk mengingatkanku bahwa anak-anak belum membayar uang ujian.

Saya iseng bertanya," Bukannya pemerintah yang membiayai?" Ibu itu pun menjawab,"Ibu jangan salah, ujian ini tidak disubdsidi pemerintah. Tolong dibedakan yah. Ada ujian yang disubsidi pemerintah. Kalau ini tidak."Dan secara manis, ibu tersebut mencoba merayuku,"Ini uangnya kan dipakai buat uang transport. Pengawasnya kan tiap hari ada 2, jadi untuk 3 hari pengawasnya ada 6. Kalau disubsidi pemerintah mah kita juga gak bakal minta. Selain itu kan buat transport pengawas."

Dalam hati saya percaya bahwa sebenarnya pihak PKBM Amanah memungut bayaran dalam keadaan 'terpaksa'.Pasti ada pihak tertentu yang memberikan tekanan pada PKBM untuk menarik bayaran1. Saya telah menanyakan penduduk sekitar tentang PKBM Amanah. Bu Euis, pemilik PKBM Amanah terkenal karena sering memberikan bantuan pendidikan ke anak-anak usia SD – SMU di sekitar sana. Selain itu ia sibuk mengajar di sana-sini.

Teman saya telah memperingatkan saya bahwa bisa saja pihak PKBM Amanah menggratiskan anak-anak untuk ikut ujian, tetapi pihak PKBM Amanah mungkin akan ditekan oleh pihak tertentu. Salah satu bentuk tekanan yang mungkin terjadi adalah pihak PKBM dimintai menggantikan uang anak-anak yang tidak membayar. Walaupun ini belum tentu benar, saya tidak berharap hal ini terjadi.

Akhirnya saya pun membayar uang ujian murid-murid dengan hasil sumbangan seorang kenalan di Internet. Untuk 6 orang anak, saya harus membayar 6 x Rp 250.000,- = 1,5 juta rupiah.

Setelah saya membayar, saya mendapatkan perlakuan yang sangat manis dari Ibu dari dinsa pendidikan Kota Bandung, yang katanya merupakan penilik ujian yang tugasnya adalah untuk mengawasi ujian tersebut. Aku benci sekali sikap 'sok manis ini' ini dan sebenarnya saya marah sekali. Akan tetapi kemarahan tersebut saya simpan dalam hati dan saya paling memberikan semyuman sinis pada ibu tersebut.

Ibu tersebut meminta Bu Euis untuk meberikan saya soal matematika yang akan diujiankan untuk pelajaran kedua(saat itu masih waktu untuk ujian I). Katanya saya boleh membuatkan solusinya dan memberikannya ke anak-anak saat ujian. "Biar anak-anak lulus, kasian kan udah 2 kali gak lulus."

Saya menolak sambil tersenyum sinis.

Saya bahkan ditawarkan untuk mengisi lembar jawabannya Heri, muridku yang tidak mengikuti ujian karena telah menjadi tukang bangunan. Agar Heri nanti bisa mendapatkan ijazah.

Saya pun menolak.

Saat anak-anak akan memasuki ujian ke dua, saya diperbolehkan masuk ke dalam kelas. Saya duduk di bangku kosong panjang yang ada di belakang kelas. Saat soal dibagikan, saya pun diberi soal matematika yang diujiankan.

Karena iseng, dan suka menghitung, saya pun membuat solusi jawaban. Rencananya akan saya simpan sendiri, sebagai 'bahan tambahan belajar' untuk murid-muridku yang sekarang. Tapi ternyata ibu-ibu dari dinas pendidikan mengira saya membuatkan kunci jawaban untuk murid-murid saya yang akan ikut ujian,"Nah gitu dong!" Padahal, solusi tersebut sama sekali baut muridku yang saat itu sedang mengikuti ujian. Dan saya sama sekali tidak suka dengan kata-kata si ibu tersebut. Saya pun sibuk sendiri menghitung dan membiarkan si ibu pergi.

Ujian selesai sekitar pukul 17.00 kami pun pulang. Saya ingin segera pulang untuk menuliskan apa yang telah saya alami hari ini.

-dari Puti/Taboo

17 May, 2006

Perilaku Politik, Budaya Politik, dan Pendidikan

Bulan Mei kita pandang sebagai Bulan Pendidikan. Dalam bulan Mei kita berpikir dan berenung tentang pendidikan kita. Dirasakan masih banyak hal yang harus diluruskan. Selain itu, ada juga hal-hal yang kita rasakan sebagai keberhasilan dan kecemerlangan.

Jadi dunia pendidikan kita kini dihadapi dengan perasaan campur baur. Ada hal-hal yang menimbulkan rasa bangga, tetapi ada pula yang menimbulkan rasa sedih dan iba.

Di tengah kesibukan menggagas pendidikan kita dikejutkan aneka peristiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita kini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat, kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuh percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Hari ini bilang "A", beberapa hari kemudian bilang "non-A". Kita menyaksikan perilaku politik Indonesia dalam format yang jelek.

Lalu di antara kita ada yang bertanya, "Masih adakah yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan yang tidak terlampau jauh?"

Untuk menjawab pertanyaan ini, melahirkan serangkaian diskusi dan seminar. Di antara kita ada yang berpandangan optimistis, tetapi ada pula yang berpandangan pesimistis, bahkan ada yang berpandangan sinis (cynical).

Sumber perilaku politik

Menurut pendapat saya, sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat tertutup.

Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar "uang pelicin" kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.

Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik.

Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan "budaya politik aji mumpung".

Apa hubungan budaya politik dengan pendidikan?

Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.

Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita, misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi feodal atau militer.

Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelaku politik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di Inggris para politikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunya dan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikan yang kurang beruntung.

Sosok pendidikan

Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimana kita men-definisi-kan "kehidupan politik" yang ideal. Namun, secara umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik disebut "pendidikan manusia seutuhnya".

Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini, jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut para ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum. Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga sarjana muda atau D-2/D-3.

Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.

Untuk ini mungkin di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucu perlu ditingkatkan dari 9 tahun jadi 15 tahun. Mungkin di masa depan perlu diadakan ketentuan, untuk menjadi anggota DPRD dan DPR diperlukan paling tidak ijazah D-2 atau D-3. Jadi perjalanan yang harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir generasi politik yang lebih cakap, lebih santun, dan lebih bertanggung jawab daripada yang ada kini.

Dapatkah ini kita capai? Semoga.

Mochtar Buchori
Pendidik