25 July, 2009

Pendidikan Buruh untuk Negara Agraris' (?)

Ini berawal dari diskusi tentang pendidikan. Link and Match. Berbasis Kompetensi. Dan segala macamnya. Ketika mencoba menilik produknya, sarjana pengangguran, ketidakjelasan kualitas lulusan perguruan tinggi, dan seterusnya. Kesimpulan awal, kita mengalami sejarah panjang Disorientasi Sistem Pendidikan, sampai sekarang.

Coba kita lihat beberapa kasus menarik. Ketika kurikulum pendidikan kita mencoba menjawab tantangan industri, bahkan SMK kini diiklankan sebagai 'jalan pintas' bagi orang miskin daripada meneruskan ke perguruan tinggi yang mahal. Kita lupa dengan konsep pendidikan dasar, yang sekarang baru ditetapkann hingga 9 tahun. Dimana-mana, pendidikan dasar dipatok 12 tahun. Asumsinya, dalam konvensi hak anak, yang disebut anak itu hingga yang berusia 18 tahun. Di sini, kita mempersiapkan anak berusia dibawah 17 tahun, untuk menjadi buruh. Kita serius dengan usaha itu, dilembagakan, dibangga-banggakan pula sebagai terobosan!

Berbasis kompetensi. Belakangan kurikulum pendidikan kita bergeser menjadi KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Asumsinya, kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan seterusnya. Berbagai kemampuan mental, akan diukur dengan standar kompetensi. Jadi bayangkan, bagaimana ukuran seseorang sudah beriman atau tidak? Rajin beribadah, tapi kalau bikin KTP masih suka nyogok? Bagaimana membuat standar performance dari Keimanan dan Ketakwaan itu?

Mungkin toolsnya bisa dikembangkan, tapi kalau urusan ibadah itu sudah jelas patokannya di agama masing-masing. Nah, kalau masih suka nyogok, mau dibahas di pelajaran agama atau di pelajaran PPKN? Lalu bagaimana supaya ukuran kompetensi tadi tidak saling tertukar?

Competency Based Education, diterapkan di negara yang memang secara kultur industrinya kuat. Artinya, mereka adalah negara industri. Makanya disana partai buruh yang berkuasa, karena sebagian besar manusia di sana adalah 'buruh'. Lha kita? Negara berkembang? Negara agraris? Atau apa sih sebenarnya? Oke lah, kalau kita memang pernah mengaku sebagai negara agraris dan kelautan, apakah negara cukup serius menggarap industri kelautan dan agrobisnis, supaya pendidikan berbasis kompetensi itu jadi relevan? Rasanya tidak.

Petani dan nelayan adalah kaum marjinal di negara yang mengaku dan agraris dan kelautan ini. Industri yang dimodali negara besar-besaran malah industri yang lain lagi. Petani dan nelayan butuh sumberdaya manusia unggul, teknologi tepatguna, untuk membuat inovasi-inovasi, tapi sekolah tak sanggup melayani kebutuhan yang cepat itu. Pertanian cuma jadi sebuah fakultas, atau sebuah institut. Sekolah menengah pertanian malah diberangus. Paradoks. Negara ini memang 'negara' yang aneh.

3 comments:

Choi Family said...

Senang menemukan blog ini. Saya seperti menemukan teman seperjuangan. Learning Freedom!!!

Anonymous said...

biarin aja kaleee sirik aja!!abis msk smk kan bisa lsg kerja!!!drpd msk sma g bs kuliah jd pengangguran ga penting!!!

Anonymous said...

Yey, ntar giliran digaji rendah, protes :P SMA memang bukan buat langsung kerka, masuk ke D1 dulu atuh, beasiswanya..