06 December, 2007

“WAYANG KARDUS” MEMBUAT MEREKA BERCERITA

Bermula dari mengikuti workshop “Wayang Motekar” di studio Pohaci milik Herry Dim. Komunitas mereka sudah mengembangkan wayang dari kardus bekas sebagai media anak-anak sekitar Cibolerang untuk mengembangkan daya cipta dan kreasi. Wayang motekar menjadi pertunjukkan anak-anak yang asyik dan menjadi wahana anak-anak menceritakan pikiran mereka tentang dunia di sekitarnya. Menarik.

Terinspirasi oleh pengalaman tersebut tersebut dan juga pengalaman Yayasan Semak dengan seni sebagai media pembelajaran anak jalanan, para pendamping memodifikasi wayang kardus dalam pembelajaran anak-anak di Rumah Tahanan Kebon Waru Bandung.

Mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pengalaman anak-anak di rumah tahanan tidak mudah. Mereka dihantui berbagai ketakutan. Mereka takut salah bicara dan mendapatkan kekerasan sebagai akibatnya. Ini yang paling sering dijadikan alasan. Sebagian dari mereka juga menganggap percuma saja bicara. Toh tidak akan merubah apapun.

Seabrek kardus bekas. Ya, dimulai dengan memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mencipta karakter dua dimensi. Ditambah dengan warna-warni cat tembok, karton kini telah menjelma menjadi “Mr Punk”, “Temi”, “Anggun”, bahkan “Kebo Gareng”.

Tidak cukup di sana, anak-anak membayangkan kehidupan lebih luas setiap tokoh yang mereka ciptakan. Mereka memasukkan “roh” mereka kepada teman barunya. Mereka membayangkan wayang menjadi wakil dirinya. Setidaknya sebagian karakter menggambarkan kehidupan dan mimpi mereka.

Seperti juga pembuatnya, kini wayang dari kardus tersebut saling bertemu. Setiap karakter bertemu dan membuat cerita. Dalam kelompok-kelompok kecil setiap anak (dengan wayangnya) menyusun cerita pertemuan dan kesaksian terhadap kejadian di sekelilingnya. Para pendamping hanya membenahi alur cerita. Semua cerita milik mereka. Di setiap kerumunan kelompok, anak-anak membangun cerita dan skenario. Suaranya berbaur menjadi gumaman tidak jelas. Diselingi ketawa atau teriakan untuk meyakinkan agar idenya masuk dalam cerita.

Saatnya mereka pentas sekarang. Di balik bentangan kain putih yang disorot lampu dari belakang, Setiap kelompok berbagi peran. Sebagian menjadi dalang. Lainnya menjadi pemain musik sebagai ilustrasi.

Pementasan perlu mendapat komentar tersendiri. Kelompok dadakan itu mendapat mainan baru dengan merekayasa bayangan di kain. Musik menjadi latihan dan ekspresi mereka. Gaduh.

Namun pertunjukkan sebenarnya terjadi antara pelakon dan penonton. Adegan mendapatkan komentar yang sejadinya dijawab oleh pementas meski keluar dari skenario yang dihafalnya. Inilah pertunjukkan sebenarnya.

No comments: