Showing posts with label tragedi pendidikan. Show all posts
Showing posts with label tragedi pendidikan. Show all posts

24 December, 2012

Pendidikan Kota Bandung 2012 Mempertahankan Prestasi Buruk


Refleksi Pendidikan Kota Bandung 2012

Kebijakan pendidikan pemerintah Kota Bandung pada tahun 2012 harus dinamakan sebagai  kebijakan yang “berjalan di tempat”. Sebutan ini pantas  diberikan karena pada tahun ini tidak ada perubahan kebijakan pendidikan yang berarti. Pemerintah Kota Bandung hanya mengulang-ulang kebijakan dan program tahun-tahun sebelumnya. Termasuk mengulangi kelemahan dan pelanggaran yang sebenarnya sudah sering dikritik pada tahun-tahun sebelumnya.

Selama bertahun-tahun Pemerintah Kota Bandung telah mengabaikan amanah dari Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang antara lain secara  jelas mewajibkan pemerintah daerah untuk memenuhi hak peserta didik, memenuhi hak tenaga pendidik dan kependidikan, mengelola anggaran secara transparan dan akuntabel, serta  memfasilitasi peran serta masyarakat. Pemenuhan kewajiban tersebut menjadi penting, karena dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dan kelompok kepentingan di bidang pendidikan.

Namun pada kenyataaannya sampai Tahun 2012 ini kita masih melihat gambaran dari kebijakan pendidikan Kota Bandung yang “jalan di tempat”, antara lain:

Pemerintah Kota Bandung telah gagal memenuhi hak peserta didik mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi. Selama bertahun-tahun sampai dengan tahun 2012 ini Pemerintah Kota Bandung tidak mampu menyelesaikan masalah diskriminasi pelayanan pendidikan kepada peserta didik dari keluarga yang tidak mampu. Masalah keterjangkauan pelayanan pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu hanya ditanggapi oleh program yang sifatnya karitatif  (bantuan) semata. Pemerintah Kota Bandung tidak mampu melakukan perubahan sistem pengelolaan penyelenggaraan pendidikan yang menjadi akar masalah dari keterjangkauan pelayanan pendidikan di Kota Bandung.

Kota Bandung terkesan membiarkan berbagai jenis pungutan terjadi di sekolah yang membebani terutama masyarakat tidak mampu. Pemerintah Kota Bandung juga menegaskan kesenjangan pelayanan dengan terus menerus menggunakan pembagian “cluster” tanpa ada upaya pemerataan kualitas pelayanan sekolah. Pemerintah Kota Bandung juga memberikan dukungan yang lebih besar kepada sekolah peserta RSBI yang cenderung menjadi sekolah eksekutif. Terakhir, Pemerintah Kota Bandung pada Tahun 2012 ini tidak melakukan perubahan signifikan terhadap mekanisme penerimaan peserta didik baru yang nyata-nyata rentan disalahgunakan menjadi ajang transaksi uang dan politik.
Pemerintah Kota Bandung telah gagal memenuhi hak tenaga pendidik dan kependidikan.

Pada Tahun 2012 Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan kebijakan pemberian honorarium kepada guru honorer melalui mekanisne dana hibah. Kebijakan ini dapat dikatakan merupakan kebijakan pengalihan sesaat saja, karena sesuai peraturan perundangan yang berlaku maka pemberian dana hibah hanya dapat diberikan satu kali kepada kelompok yang sama. Pada tahun depan dan seterusnya hak guru honorer untuk mendapatkan penghasilan yang memadai kembali akan menghadapi masalah karena kebijakan Pemerintah Kota Bandung justru tidak menyentuh akar masalah berupa kepastian status dari guru honorer tersebut.

Selain itu, secara terang-terangan Pemerintah Kota Bandung melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang mengatur mekanisme pengangkatan  kepala sekolah dan pengawas pendidikan, sehingga mengabaikan hak tenaga pendidik dan kependidikan untuk mendapatkan penghargaan terhadap prestasi kerja mereka secara obyektif.

Pemerintah Kota Bandung telah gagal melaksanakan pengelolaan dana pendidikan yang transparan dan akuntabel. Selama bertahun-tahun pemerintah Kota Bandung hanya beretorika tentang transparansi namun secara tidak langsung mendukung ketertutupan pengelolaan anggaran pendidikan.
Informasi mengenai pengelolaan dana  masyarakat yang dihimpun di  sekolah maupun anggaran publik yang disalurkan melalui BOS dan anggaran di Dinas Pendidikan nyatanya sulit diakses masyarakat. Ketertutupan informasi dalam pengelolaan anggaran ini, sebagaimana di banyak sektor lain, pada akhirnya menghambat partisipasi warga dalam mengawasi agar anggaran pendidikan dikelola secara efesien dan tepat sasaran.

Pemerintah Kota Bandung telah gagal memfasilitasi masyarakat untuk berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan pendidikan. Selain tidak mempunyai mekanisme formal dalam menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat, Pemerintah Kota Bandung malah mengacaukan kemandirian Dewan Pendidikan Kota Bandung dengan menjadikan lembaga ini sebagai pengelola dana hibah “Bawaku Sekolah”.

Dilibatkannya Dewan Pendidikan Kota Bandung dalam sebuah program pemerintah telah menimbulkan konflik kepentingan untuk “memisahkan” peran Dewan Pendidikan Kota Bandung sebagai pengawas dan sekaligus pelaksana program pemerintah Kota Bandung.  Bias kepentingan ini pada akhirnya merugikan masyarakat dan pemerintah itu sendiri, karena menghambat partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan obyektif bagi peningkatan mutu pelayanan pendidikan secara obyektif dan mandiri

Melihat kondisi selama Tahun 2012 tersebut, tidak dapat disalahkan jika muncul opini bahwa Pemerintah Kota Bandung tidak memiliki komitmen dan kreatifitas, sehingga terjebak pada rutinitas pemenuhan kewajiban administrasi dan teknis penyelenggaraan pelayanan pendidikan semata.  
Sesuatu hal yang patut disesali karena Kota Bandung mempunyai berbagai kelebihan potensi dan anggaran yang memadai untuk menjadi contoh sebuah kota yang peduli pendidikan. Rupanya semua pihak harus mengakui dan mau belajar dari beberapa kabupaten/ kota yang lebih kecil namun terbukti mempunyai terobosan kebijakan pendidikan yang berpihak pada pemenuhan hak masyarakat.

Semua permasalahan ini sudah saatnya dihentikan. Jika pemimpin Kota Bandung saat ini tidak mampu menciptakan perubahan berarti, pergantian Walikota Bandung pada Tahun 2013 harus dijadikan momentum untuk memilih seorang pemimpin yang berani melakukan terobosan kebijakan. Seorang pemimpin yang tegas dalam memilih pejabat di tingkat Dinas Pendidikan maupun satuan pendidikan sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku.

Itupun belum cukup. Pemerintah Kota Bandung dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung harus menyelesaikan pekerjaan rumah untuk menyusun standar dan terobosan program pelayanan pendidikan Kota Bandung yang konkrit.

Terakhir, tahun ini adalah waktu yang tepat untuk menilai keberadaan lembaga mandiri yang berperan sebagai pengawas serta menyusun sebuah mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung.

Demikian refleksi sekaligus harapan dari berbagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap keterjangkauan akses dan peningkatan mutu pelayanan pendidikan di Kota Bandung.

Bandung, 24 Desember 2012
Koalisi Pendidikan Kota Bandung

26 July, 2012

Kekerasan Lagi di Sekolah, Kapan Akan Berhenti?

Kekerasan, terjadi lagi. Masih dengan sebab yang sama, dengan alasan yang sama. Sesulit apakah mengubah wajah pendidikan kita dari citra kekerasan?

Kali ini, cerita datang dari SMA Seruni Don Bosco, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Pondok Indah. Shinta Langka, melalui akun Twitter-nya @shintwitt, Kamis lalu (26/7/2012), menarik perhatian tweeps di linimasa terkait serangkaian kicauannya. Menurut berita di vivanews.com, Nurahangkasa, selaku Guru Bidang Kurikulum Don Bosco menjelaskan, bahwa kasus dugaan kekerasan yang dilakukan murid kelas tiga terhadap siswa baru tersebut sudah dibicarakan. Para murid tersebut juga telah dipertemukan dengan orangtua murid yang anaknya menjadi korban.


Seperti yang diceritakan di Twitter ini, mediasi di sekolah tidak menghasilkan apa-apa. Sekolah seperti enggan mengambil langkah tegas. Lalu, kalau tidak ada hukuman yang setimpal, kapan aksi kekerasan bisa dihentikan? Hukuman seperti apa yang layak bagi anak-anak belasan tahun itu?


26 February, 2012

[KPKB] Kadisdik Kota Bandung & Penerbit Bohong Soal Surat Izin Rekomendasi


Berdasarkan laporan KPKB ke Inspektorat Daerah, Kadisdik Kota Bandung, Oji Mahroji menyatakan kalau ia tidak melegalkan penjualan LKS lewat surat rekomendasi tersebut, Katanya, "Tidak ada kaitannya edaran itu dengan LKS. Jelas berbeda antara LKS dengan simulasi UN. Ketika disdik kedatangan pihak ketiga untuk pelaksanaan try out, maka dinas memberi pelayanan mengingat itikad baik yang disebutkan oleh lembaga tersebut. Disdik mempersilahkan, dan sekolah dibebaskan, boleh ikut atau tidak," - seperti yang dikutip Pikiran Rakyat.

Kepala cabang salah satu penerbit yang disebutkan dalam surat edaran Kadisdik Bandung, yang ditemui waratawan secara terpisah, juga mengatakan bahwa edaran yang ditandatangani Kadisik bukanlah untuk menjual LKS atau buku di sekolah. Melainkan penawaran untuk melaksanakan try out atau simulasi UN di sekolah.

"Kami pun tidak membebankan biaya kepada siswa, karena sekolah yang bayar. Bentuknya juga bukan buku tetapi simulasi berupa pelaksanaan simulasi UN lengkap dengan analisis hasil try outnya. Bahkan untuk analisisnya tidak ada biaya," ujarnya.

Kedua pernyataan adalah kebohongan publik, karena bukti yang dimiliki KPKB adalah lampiran surat izin dan daftar harga buku yang bunyinya sudah berupa pemesanan. Anda bisa lihat fotonya di bagian atas artikel ini. Kebohongan kedua pihak, adalah tindakan tak terpuji kepada publik. Sangat tidak layak untuk dilakukan, terutama bagi pejabat publik seperti Kadisdik.

22 February, 2012

KPKB: Tindak Pelaku Jual Beli LKS dan Sejenisnya di Sekolah



Munculnya PP 48Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, terutama di Pasal 30, memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan gratis.

Dalam Permendiknas No. 2 Tahun 2008 Pasal 11, juga disebutkan dengan jelas agar para pihak di sekolah tidak boleh menjadi pengecer atau distributor buku di sekolah.

Khusus di Kota Bandung, peraturan ini telah diturunkan dengan dikeluarkannya Perda No. 15 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Namun pada kenyataannya berbagai pungutan masih dialami oleh orang tua. Termasuk dalam soal LKS (Lembar Kerja Siswa).

Berdasarkan pengamatan KPKB, berbagai pungutan kepada orang tua siswa masih terjadi di berbagai tahap proses pendidikan di sekolah, mulai dari tahap pendaftaran sampai dengan tahap kenaikan kelas atau kelulusan. Berbagai peraturan yang melarang adanya jual beli LKS pun sudah banyak yang terbit, selain kedua aturan di atas. Aturan terakhir adalah surat edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung No. 421/479/Sekrt/2012 bertanggal 30 Januari 2012 tentang Larangan LKS. 

Ironisnya, Disdik pada saat yang hampir bersamaan juga mengeluarkan surat izin kepada salah satu penerbit untuk mempromosikan buku pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini tertuang dalam surat yang bernomor 421.5/53-PSMAK/2011, tertanggal 31 Januari 2012 tentang Izin Rekomendasi kepada salah satu penerbit terkemuka, untuk menawarkan produk simulasi UN SMA/SMK. Surat tersebut merupakan balasan dari permintaan si penerbit melalui surat No. 05/ERL/ASM SMP-A BDG/I/12 tertanggal 31 Januari 2012.

Masalah jual beli LKS ini sudah lama meresahkan orang tua siswa, terutama bagi orang tua dengan kondisi ekonomi lemah. Sebagai ilustrasi, berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPKB, harga LKS di tingkat sekolah dasar berkisar antara Rp 60.000,00 - Rp 110.000,00 per paket per semester. Bila diambil nilai tengahnya, maka biaya untuk pembelian LKS ini mencapai Rp. 85.000,00. Untuk keluarga tidak mampu, besaran pengeluaran untuk LKS tersebut kurang lebih setengah dari total pengeluaran untuk pendidikan. Perhitungan KPKB berdasarkan data Susenas 2009 menunjukkan, keluarga miskin (diindikasikan sebagai penerima BLT), mengeluarkan dana pendidikan rata-rata sebesar Rp. 160.000,00 per semesternya. Hal yang kurang lebih sama terjadi untuk tingkatan SMP dan SMA.

Untuk anak terdapat dampak tambahan, yaitu berupa diskriminasi. KPKB menemukan beberapa kasus dimana anak mendapatkan diskriminasi bila tidak membeli LKS, baik dari sesama teman maupun oknum guru.

Salah satu bukti keresahan masyarakat tersebut adalah laporan dari orang tua yang diterima oleh KPKB, sampai tanggal 20 Februari 2012 melalui Radio PR FM telah mencapai ribuan laporan. KPKB percaya bahwa kegiatan jual beli LKS ini merupakan fenomena gunung es, dimana jumlah kasus sebenarnya dapat melebihi jumlah laporan yang masuk.

KPKB menyimpulkan setidaknya tiga butir penting yang patut diduga menjadi alasan dibalik pembiaran kegiatan jual beli LKS ini:
  • Ketidaktegasan disdik dalam menjalankan aturan. Tidak terlihat adanya sanksi bagi pelanggar oleh pihak Disdik. Alasan dimana tidak ada bukti untuk memberikan sanksi dirasa tidak tepat, karena laporan masyarakat sudah sangat banyak dan kasat mata. Ketidaktegasan Disdik dalam menjalankan aturan juga terlihat dari bukti dikeluarkannya surat izin kepada salah satu penerbit untuk mempromosikan buku pelajaran di sekolah.
  • Motif ekonomi. Perhitungan KPKB menunjukkan potensi transaksi dari penjualan LKS saja di seluruh tingkat sekolah negeri diperkirakan mencapai 50 milyar per tahunnya. Sebagai pembanding, nilai ini setara dengan 52 % alokasi anggaran program wajib belajar pendidikan 9 tahun dari APBD Kota Bandung 2011, yang tercatat 95,6 Milyar. Besarnya transaksi ini patut diduga menjadi motif adanya kerjasama antara pihak penerbit dengan pihak-pihak yang memberikan ijin ataupun yang menyediakan lokasi untuk penjualan LKS.
  • Adanya kemalasan pengajar. Motif muncul terkait dengan kenyataan dimana pemberian LKS dapat mempermudah pekerjaan dari guru. Namun hal ini selain tidak mendidik juga dapat menyebabkan pemberian informasi yang salah kepada anak didik. KPKB menemukan beberapa contoh kasus dimana LKS memberikan informasi yang salah.

Melihat berbagai hal tersebut, KPKB menyatakan berbagai hal berikut:
  1. Menuntut Dinas Pendidikan Kota Bandung untuk segera menghentikan penjualan LKS di sekolah, sekaligus memberi sanksi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penjualan LKS tersebut, paling lambat satu bulan ke depan sejak dikeluarkannya pernyataan ini. 
  2. KPKB akan melaporkan Kadisdik Kota Bandung ke Inspektorat Daerah Kota Bandung terhadap penerbitan surat izin rekomendasi kepada penerbit, karena bertentangan dengan Perda Pendidikan Kota Bandung No. 15/2008 Pasal 138. 
  3. Mencabut izin rekomendasi penjualan buku simulasi ujian nasional untuk sekolah-sekolah di Kota Bandung. 
  4. Mengajak masyarakat terutama pengguna jasa pendidikan Kota Bandung untuk berperan serta dalam pengawasan pelanggaran penjualan LKS di sekolah-sekolah dengan menyerahkan berbagai bukti ke posko KPKB atau ke PR FM. 
Pada tanggal 22 Februari, kami telah mengadukan kepada pihak Inspektorat daerah Kota Bandung terhadap kejanggalan surat izin rekomendasi ini. Kami berharap, masalah ini bisa diklarifikasi, dan diperjelas siapa yang harus bertanggung jawab. 

Tim dari KPKB (ke-2 hingga ke-4 dari kanan) melaporkan kejanggalan
surat Kadisdik Kota Bandung ke Inspektorat Daerah Kota Bandung. (22/2)



17 February, 2012

(Kompas) Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?

Oleh: Junifrius Gultom

Kekerasan merebak lagi, bahkan diperkirakan telah meluas dan terpendam selama puluhan tahun (Kompas, 12/11/2007). Tulisan itu dipacu munculnya kekerasan akibat bullying terhadap seorang siswa di SMA 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Apakah kekerasan terjadi karena tidak ada pihak yang merasa paling bertanggung jawab untuk mengintervensinya? Dapatkah ini disebut a tragedy of the common, di mana masyarakat dan pemerintah tak mempunyai sentuhan langsung dan terdampak bullying? David Thompson et al, dalam Bullying, Effective Strategies for Long-term Improvement (2002) menginventarisasi alasan ketidaksudian orang melakukan intervensi terhadap bullying. Alasan itu antara lain:

  • korban memang layak di-bully; 
  • bukan urusan saya melakukan intervensi; 
  • sebaiknya orang lain saja yang melakukan; 
  • kalau saya ikut campur tangan, bisa memperburuk situasi korban; 
  • saya takut orang yang melakukan bullying dan teman-teman akan menyerang saya; 
  • saya tidak mungkin dapat melakukan dengan sukses; 
  • orang lain saja tidak ada yang peduli dan tidak melakukan tindakan apa pun untuk mengatasi; 
  • jika saya mengintervensi, artinya saya konyol; 
  • tidak tahu bagaimana melakukan intervensi dengan cara simpatik dan tidak agresif. 
Alasan-alasan ini mungkin masih bisa ditambah.
Sebenarnya bullying (intimidasi) merupakan masalah klasik, berkesinambungan, dan kompleks. Bullying terjadi di hampir semua area kehidupan, politik, ekonomi, olahraga, keluarga, tempat kerja, dan dunia pendidikan. Bullying di sekolah merupakan masalah global dan merupakan masalah sosial yang berakibat serius dan berdampak negatif pada hidup dan langkah karier anak sekolah kelak (Peter K Smith, et al, Bullying in Schools. How Successful Can Interventions Be?).

Realitas "bullying"

Meski belum ada data yang memuat kasus bullying di tiap negara, ada gambaran dari tulisan Smith, yang dilansir The Scottish Council for Research in Education (1992) dan oleh Ken Rigby dalam buku New Perspectives on Bullying (1988) dapat dilihat sedikit data kasus bullying di sekolah di beberapa negara, yaitu Selandia Baru (15 persen-SMA), di Inggris (27 persen-SMP dan 10 persen-SMA), Australia (25-30 persen bahkan tiap hari), dan secara internasional (23 persen-SMP dan 10 persen-SMA).

Di Indonesia belum terpantau berapa persen kasus bullying di sekolah. Namun, kita tentu masih ingat kasus Cliff Muntu di STPDN. Kasus terbaru di SMA 34 Pondok Labu. Kedua peristiwa ini hanya puncak gunung es.

Hal ini seharusnya membuat kita khawatir karena dampak bullying begitu serius ke hampir semua masalah kesehatan. Gambary Namie tahun 2003 mensurvei 1.000 responden sukarela yang hasilnya dipublikasikan pada bullyinginstitute.com. Disimpulkan ada 33 jenis gejala gangguan kesehatan yang dialami orang-orang yang pernah di-bully.

Hasilnya,
(1) ketakutan, stres, kecemasan berlebihan (76 persen);
(2) kehilangan konsentrasi (71 persen);
(3) gangguan tidur (71 persen);
(4) Merasa tidak tenang, gampang terkejut, dan paranoia (60 persen);
(5) Sakit kepala (55 persen);
(6) Obsesi atas kejelimetan pekerjaan (52 persen);
(7) selalu teringat pengalaman buruk, mimpi buruk (49 persen);
(8) detak jantung lebih kencang (48 persen);
(9) Kebutuhan untuk menghindarkan perasan, pikiran, dan situasi yang mengingatkan orang itu terhadap trauma (47 persen);
(10) Sakit tubuh (45 persen);
(11) Kelelahan (41 persen);
(12) perilaku yang terpaksa (40 persen);
(13) depresi yang terdeteksi (39 persen);
(14) rasa malu (35 persen);
(15) perubahan signifikan pada berat badan (berkurang atau bertambah) (35 persen);
(16) sindrom kelelahan kronis (35 persen);
(17) serangan kepanikan (32 persen);
(18) pengetatan rahang (masalah gigi) (29 persen);
(19) perubahan kulit (28 persen);
(20) menggunakan bahan adiktif untuk menenangkan pikiran (28 persen);
(21) asma atau alergi (27 persen);
(22) berpikir kekerasan kepada orang lain (25 persen);
(23) Pikiran bunuh diri (25 persen);
(24) migran (23 persen);
(25) sindrom sakit perut yang mengganggu (23 persen);
(26) sakit pada bagian dada (23 persen); dan lain-lain.

Minimalisasi "bullying"

Bullying harus ditanggapi serius, simpatik, dan terpadu. Dari definisi bullying disebutkan kekerasan fisik dan psikologis yang berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia tertekan (Thompson, 2002, Arthur M Horne and Mark S Kiselica, 1999). Dari definisi ini, diketahui, korban ada pada posisi tidak mungkin dapat diharap untuk melawan atau mempertahankan diri dan korban terus mengalami untuk waktu lama.

Bullying pada kasus siswa/mahasiswa bukan sekadar tanggung jawab sekolah/universitas karena peristiwa itu bisa terjadi di luar sekolah/universitas, yaitu saat mereka pulang sekolah. Namun, kontribusi semua pihak amat berintegrasi.

Dalam konteks sekolah, tentu tidak mudah menghilangkan bullying mengingat adanya faktor pubertas pada masa remaja, krisis identitas, terbentuknya peer, faktor keluarga, sosial, dan lainnya.

Sementara itu, guru adalah agen pelaksana semua kebijakan sekolah dan langsung berhadapan dengan siswa. Guru dapat menyediakan diri sebagai konselor yang memberi bimbingan, tidak hanya dilimpahkan kepada guru BP. Guru juga dapat menjadi social support. Sekolah sebagai lembaga harus menyediakan pelatihan kepada para guru tentang cara intervensi bullying, menyediakan perangkat CCTV (bila perlu) untuk memonitor semua sudut sekolah, termasuk kantin.

Sekolah juga harus mempunyai mekanisme penyelesaian kasus bullying, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas, membuat bentuk penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas istimewa yang diperoleh siswa umumnya atau skorsing dan pemecatan. Kurikulum sekolah harus lebih berorientasi prososial karena, menurut Rigby (2002), perilaku bullying umumnya kurangnya kerja sama dan kesetiakawanan di antara siswa.

Apabila sekolah mempunyai website, harus menyediakan tempat pengaduan dan dialog antara siswa dan sekolah serta antarsekolah dan orangtua siswa, yang secara bebas dapat mengekspresikan apa yang mereka alami.

Departemen Pendidikan Nasional sudah harus mempunyai kebijakan tentang bullying di sekolah. AS dan Australia merupakan negara yang telah memerhatikan masalah ini secara serius. Mereka mempunyai Washington States PTA’s Guide to Implementation of the Anti-Bullying Bill 2002 dan Anti Bullying Guidelines for School and Educational Setting Policy.

Mungkin Indonesia menganggap bullying belum menjadi masalah sosial. Penanganan kejahatan di sekolah menjadi subyek hukum kriminal biasa. Artinya, penanganannya disamakan dengan kriminal umumnya. Jika tindakan kriminal fisik sudah menjadi kenyataan kekerasan, aparat baru turun tangan.

Kita harus memerhatikan apa yang dikatakan R Douglas Greer dalam "The Education Crisis" (Mattaini, et al, Finding Solution to Social Problem, 2002), "Kita harus kembali ke masalah sekolah bila mau mengatasi masalah masyarakat. Jika tidak dapat mengatasi masalah di sekolah kita, apa yang diharapkan untuk komunitas lebih luas?"


Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/17/opini/3988130.htm [deadlink]

Junifrius Gultom Pernah Meneliti "Intervensi Bullying" pada Program Magister Psikologi Terapan UI

09 November, 2011

[KPKB] STOP MOBILISASI SISWA!

Perkara memobilisasi siswa untuk kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan kependidikan, entah kenapa Diknas Kota Bandung ini cukup getol. Saat kontroversi tentang Voting SMS Komodo justru mencuat, sekolah-sekolah di Bandung pernah dimobilisasi untuk mengirim SMS bersama. Apa pula kepentingan sekolah sampai dimobilisasi untuk acara idol-idolan yang sedang dipertanyakan itu?

Kali ini, menjelang Sea Games ke-26 yang akan dibuka di Stadio Jakabaring, Palembang. Dengan alasan Pendidikan Karakter Bangsa dalam bentuk dukungan pada kegiatan Sea Games 2011 ini, Dinas Pendidikan Kota Bandung menerbitkan surat edaran untuk sekolah agar memobilisasi guru dan siswa-siswanya pada tanggal 13 dan 14 November yang akan datang untuk meramaikan Eksibisi "Tarung Derajat" di Senayan. Tarung Derajat ini memang beladiri yang muncul di Bandung, dulunya bernama 'AA Boxer'. Pada Sea Games 2011 ini Tarung Derajat mulai diperkenalkan dalam bentuk eksibisi (pertunjukan), belum baru memperebutkan 6 medali emas.



Dalam surat eradaran tersebut, jelas disebutkan sekolah-sekolah mana saja yang diperintahkan untuk berangkat ke Senayan. Pertanyaan pertama, apa kaitannya Sea Games dengan Pendidikan Karakter Bangsa hingga harus hadir langsung ke Senayan? Pertanyaan kedua, darimana sumber dana pemberangkatan ini? Apakah karena ini dianggap sebagai bagian dari kegiatan belajar tentang Kepribadian Karakter Bangsa, lalu menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah)?

Hingga tulisan ini dibuat, sedang dipertanyakan kejelasan berita ini. Perwakilan Forum Orangtua Siswa (FORTUSIS) Bandung sudah membuat pernyataan di beberapa media di Bandung, dan mungkin hari ini akan terbit laporannya.

UPDATE: Fortusis Protes Edaran ke Sekolah

BLK. FACTORY,(GM) - Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Kota Bandung memprotes keras edaran ke tiap sekolah yang berisi permintaan untuk mengirimkan guru dan siswa sebanyak 50 orang guna untuk mendukung pertandingan ekshibisi tarung derajat pada SEA Games XXVI di Jakarta. Protes itu disampaikan Ketua Fortusis Kota Bandung, Wanto Subawanto yang dihubungi "GM" via telepon selulernya, Selasa (8/11). 
"Jelas kami protes keras, jika dukungan itu menjadi suatu kewajiban bagi para siswa di SMP, SMA, dan SMK negeri di Kota Bandung," tandasnya. 
Wanto mensinyalir, permintaan ini merupakan keinginan pejabat eksekutif maupun yudikatif yang duduk sebagai pengurus cabang olahraga tersebut. "Tapi kenapa kewajiban mendukung dan menonton ini ditimpakan pada siswa dan guru?" ujarnya. 
Menurut Wanto, sebaiknya dukungan tidak diwajibkan atau lebih baik alami saja.
Selain itu, Wanto menilai, anggaran yang digunakan untuk mengirim siswa dan guru ke Jakarta ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) untuk SMA dan SMK, serta Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SMP.  
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Oji Mahroji membantah jika pengiriman siswa tersebut wajib. "Hanya imbauan," ucapnya singkat.  
Tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan Kepala SMA Negeri 22 Bandung, Ajat Sudrajat, yang juga Ketua MKKS SMA Kota Bandung. (B.81)**


Dari sisi implementasi Pendidikan Akhlak Mulia dan Karakter Bangsa, instruksi Presiden yang menjadi landasan gagasan ini hanya menyebut "pengembangan metodologi", yang hingga kini masih menjadi pertanyaan besar di kalangan guru sendiri. Bagaimana implementasi karakter bangsa dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)? Kalau kemudian gagasan memobilisasi ini dilabeli dengan Pendidikan Karakter Bangsa, apa tidak salah arah ini pendidikan kita? Ada kepentingan apa sebenarnya di balik mobilisasi ini?

Kalau masih ingat dengan kewajiban siswa menonton film G30S/PKI di jaman orde baru, kebiasaan memobilisasi seperti ini ternyata masih jadi pilihan. Pendidikan macam apa yang berisi indoktrinasi? Pendidikan seharusnya membebaskan, memberi pilihan terbuka kepada generasi muda untuk menjadi lebih baik. Bukan lahan perebutan kepentingan politik yang cenderung menjadi pembodohan bagi siswa.

UPDATE:

Ini adalah Panduan Program BOS. Jika kegiatan ini menggunakan dana BOS, pada kategori apakah? Coba perhatikan di halaman 21, pada pasal Larangan Penggunaan Dana BOS, terutama pada butir c:

Larangan Penggunaan Dana BOS
a. Disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan.
b. Dipinjamkan kepada pihak lain.
c. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biayabesar, misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya.
d. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru.
e. Membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah).
f. Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat.
g. Membangun gedung/ruangan baru.
h. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran.
i. Menanamkan saham.
j. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/secara wajar, misalnya guru kontrak/guru bantu.

Panduan Program Bos

21 July, 2011

Pemda Intervensi Guru dan Kepala Sekolah

Dari: www.tribunnews.com 


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala daerah di Indonesia seperti bupati dan walikota sudah mulai turut campur dalam pelaksanaan pendidikan. Mereka terus melakukan intervensinya kepada para pejabat dinas, bahkan kepada para pendidik seperti guru dan kepala sekolah.

Menurut Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Iwan Hermawan, kejadian tersebut ditemukan di daerah Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Ia mengatakan aparat daerah dari yang atas hingga guru saling menekan.

"Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) itu terkait akreditasi sekolah dan kredibilitas kepala sekolah. Kalau UN gagal kepala sekolah dimutasi, sekolah turun nama baiknya, makanya kepala sekolah terus menekan guru agar baik, kepala sekolah juga ditekan kepala dinas, kepala dinas ditekan oleh Bupati atau Walikota dan walikota ditekan Gubernur," ujar Iwan saat acara diskusi Polemik di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (18/6/2011).

Dengan demikian Iwan menjelaskan sudah cukuplah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) jika hanya menimbulkan masalah. Ujian Nasional (UN) lanjut Iwan hanya dipergunakan untuk berbagai macam kepentingan yang ada seperti misalnya, pemetaan mutu program satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan pendidikan, salah satu penentu penilaian kerja guru, penentu kinerja kepala sekolah.

Terakhir, penentuan akreditasi sekolah dan indikator keberhasilan pendidikan di Kota atau Kabupaten.

Sementara itu menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Oce Madril mengatakan sistem yang ada tersebut harus dipotong. Peran masyarakat secara luas dan pemerintah serta DPR juga sangat dibutuhkan.

"Saya kira peran ini bisa dilakukan siapapun, agar sama-sama bertanggung jawab mengatasi kebobrokan ini, peran serta masyarakat harus diendorce, tanggung jawab hukum dan politik membenahi sistem ada di pemerintah, dan di parlemen," pungkasnya.

18 June, 2011

Sekali lagi, Tolak UN

Kasus Ny. Siami dan Alif, sudah menunjukkan bukti nyata bahwa UN dan mekanismenya yang sekarang ini lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan.

Pihak Dewan Pendidikan Jawa Timur, juga sudah bereaksi, salah satunya dalam sms yang ditembuskannya kepada Prof. Hamid, Guru Besar UPI Bandung.

Berikut adalah sms yg dikirim Dewan Pendidikan Jatim, dan respon dari Prof. Hamid.

Assalamu'alaykim wr.wb.
Yth. Prof. Hamid,

Ujian Nasional yg hanya mengukur kompetensi2 tingkat rendah yg tidak penting dalam hidup namun diposisikan menentukan kelulusan, telah terbukti menghancurkan karakter murid dan guru.

Ujian Nasional ternyata tidak menciptakan nilai tambah pendidikan, tapi justru menggerogoti nilai Pendidikan.

Melihat kenyataan policy blunder ini, apakah komunitas Pendidikan berdiam diri, membiarkan korban2 moral berjatuhan lebih banyak lagi ?

Are we not guilty by obmission ?

Hormat saya.
Daniel Rosyid,
Dewan Pendidikan Jatim

------------

Syukurlah orang mulai percaya bahwa UN merusak pendidikan. Bagaimana kebohongan MA dan Diknas yang menyatakan bahwa UN tidak dilarang itu ya? Kalau tidak dilarang, mengapa diknas capek-capek sampai ke tingkat kasasi, dan MA memperkuat keputusan PN dan PT ya? Mudah-mudahan menteri faham masalah UN bukan masalah efektif, lagi-lagi pejabat salah menggunakan istilah.

Prof Hamid

-----------------

Sekali lagi, kami tetap akan menolak UN. Laksanakan putusan MA!

Kunjungi web http://tolakunas.com/ untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gerakan menolak UN.
posted from Bloggeroid

11 June, 2011

Menakar Kejujuran di Kantin Sekolah

Diambil dari flickr.com
Uji kejujuran yang dilakukan, selain menjadi pembelajaran bagi warga sekolah, ternyata juga bisa membuktikan bahwa kalau kepercayaan itu diberikan dengan sungguh-sungguh, mungkin rasa tanggung jawab yang akan tumbuh. Tidak harus dengan 'pentungan' saja kan... :D

Kasus kantin SMA Negeri 1 Ciparay Kab. Bandung membuktikan, bahwa kejujuran itu bisa dilatihkan, dan ditumbuhkembangkan. Ia bukan teori yang harus dihafalkan. Ia adalah sikap yang harus diinternalisasi, dan diterapkan. Tidak aneh kalau sekolah punya tanggung jawab dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai kejujuran ini.

Meski banyak pembeli "menyerbu" makanan yang dijajakan, kantin di SMA Negeri 1 Ciparay itu tak pernah dijaga oleh kasir atau semacamnya. Uniknya, pembeli memahami benar keadaan itu. Mereka akan mengeluarkan uang dari saku dan meletakkannya dalam kotak khusus saat mengambil makanan, yang jumlahnya sesuai dengan harga banderol. Jika jumlah uangnya terlalu besar, pembeli pulalah yang mengambil kembaliannya. Hanya kejujuran pembelilah yang memegang peran dalam kegiatan operasional kantin tersebut sehari-hari.

Rugikah? Teryata tidak, selama kejujuran dapat ditegakkan oleh para pembeli. Konsep yang sangat sederhana, namun mungkin akan sangat sulit dalam pelaksanaannya ini, digagas Pemkab Bandung, Kejaksaan Negeri Bandung, dan Karang Taruna. Tak tanggung-tanggung, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eko Soesamto Tjiptadi turut hadir dalam peresmian kantin tersebut, Januari 2008. Program ini rencananya akan diterapkan di seluruh SLTA di Kab. Bandung, dan Bupati Bandung saat itu, memberikan dana stimulan bagi beberapa SLTA untuk menerapkan sistem Kantin Kejujuran tersebut

Tapi hanya gara-gara Ujian Nasional, pendidikan untuk kejujuran itu bisa dilibas karena justru dianggap menyusahkan. Ironis, karena Ujian Nasional adalah program evaluasi, yang kita tahu justru menjadi programnya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional, sebagai amanat UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tersebutlah Ny Siami. Warga Jl. Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya, ini dikabarkan menjadi korban sistem Ujian Nasional. Petaka datang ketika ujian nasional di SDN Gadel 2 Surabaya,  Al, anaknya, dijadikan sumber contekan teman-temannya sesama peserta UN. Karena ingin jujur, Ny Siami tidak menerima kecurangan itu. Ia melaporkan wali kelas anaknya, yang diduga merancang kerjasama contek-mencontek dengan menggunakan anaknya sebagai sumber contekan.

Bukannya menjadi pahlawan, kejujuran Ny. Siami malah berujung menjadi malapetaka. Lebih dari 100 warga Kampung Gadel Sari dan wali murid SDN Gadel 2, tempat anaknya menimba ilmu, meminta keluarga penjahit itu enyah dari kampungnya! Edan!!

Apa yang dilakukan sekolah? Sekolahnya justru menganggap Ny. Siami ini mencemarkan nama baik sekolah. Padahal, menurut pengakuan Al, anaknya, kecurangan itu sudah direncanakan jauh hari sebelumnya! Oleh Sekolah! Kepala sekolah dan sang wali kelas, akhirnya dicopot.

Yang paling menyakitkan dari berita ini adalah, bagaimana sikap warga yang justru merasa dirugikan dengan kejujuran Al, dan Ny. Siami, sang ibu. Bagaimana dengan beringas mereka mengepung keluarga itu di rumahnya, mencaci makinya sebagai sok pahlawan, bahkan mengusirnya dari tempat mereka tinggal.

Kejujuran, seperti hal kecil di kantin sekolah itu bukanlah hal sulit untuk dilakukan, tapi efeknya pasti besar terhadap masa depan bangsa. Tapi kenapa upaya berdampak besar dengan modal kecil itu justru bisa hancur oleh upaya yang lebih sistematis, oleh para pelaku pendidikan sendiri?

Saatnya untuk menatap kaca lebih lama, dan mengusap buramnya bayangan pendidikan kita. Tulisan ini diposting ulang, sebagai bagian dari gerakan #IndonesiaJujur, menyikapi kasus Ny. Siami dan Al. Kumpulan berbagai berita dan tulisan tentang kasus ini bisa dilihat juga di sini.

28 October, 2010

Nasib Pendidikan Nonformal-Informal

Perubahan Landasan Hukum PNFI
Dalam UU No. 2/1989 tentang Sisdiknas yang lama, jalur pendidikan terdiri dari 2 jalur, jalur sekolah dan luar sekolah. Jalur sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Sedangkan jalur luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, tanpa harus berjenjang dan berkelanjutan.

Paska reformasi, lahirlah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, yang merupakan pengganti bagi UU No. 2/1989. Terjadi sedikit perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur, menjadi 3 jalur: Formal, Nonformal, dan Informal. Jalur pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Berdasarkan UU Sisdiknas yang baru tersebut, pendidikan nonformal di Indonesia diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Selain itu berfungsi juga dalam mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Hal ini lalu seringkali diterjemahkan sebagai sekolah bagi warga miskin yang tak mampu mengakses sekolah formal, sehingga warga belajar PNF seringkali adalah anak-anak usia sekolah.

Berbeda dengan UU Sisdiknas lama, yang dengan jelas menyebut pendidikan nonformal tidak harus terstruktur dan berjenjang, dan juga tidak menyebut kesetaraan dengan pendidikan formal. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan.

Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dalam UU Sisdiknas yang lama, pendidikan informal termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah.

Implementasi Pendidikan Nonformal/Informal
Dalam implementasinya, sistem pendidikan nonformal dan informal disatukan dalam satu Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) di bawah Kementrian Pendidikan Nasional. Direktorat ini memiliki visi Terwujudnya manusia Indonesia pembelajar sepanjang hayat, dan dijabarkan dalam 7 misi utama:
  1. Program pendidikan anak usia dini (PAUD) bermutu yang mampu "melejitkan" kecerdasan anak, membentuk kesiapan belajar lebih lanjut, serta melaksanakan pelayanan dengan jangkauan sasaran yang semakin meluas, merata, dan berkeadilan.
  2. Program pendidikan keaksaraan bermutu yang mampu meningkatkan kompetensi keaksaraan pada semua tingkatan (dasar, fungsional, dan lanjutan) bagi penduduk buta aksara dewasa secara meluas, adil dan merata untuk mendorong perbaikan kesejahteraan dan produktivitas penduduk, dan ikut serta dalam mendukung perbaikan peringkat IPM.
  3. Program pendidikan kesetaraan bermutu dan relevan yang mampu meningkatkan kecakapan hidup, termasuk kesiapan kerja, produktivitas dan kemandirian peserta didik, serta dalam rangka mendukung keberhasilan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dan perluasan akses pendidikan menengah nonformal.
  4. Kelembagaan kursus dan kursus para-profesi yang berorientasi pada peningkatan kecakapan hidup (PKH) yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat serta pelayanan yang semakin meluas, adil dan merata, khususnya bagi penduduk miskin dan penganggur terdidik, dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional.
  5. Terwujud pendidikan yang berkeadilan gender melalui peningkatan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pendidikan serta mendukung upaya pencegahan diskriminasi, traficking, dan tindak kekerasan sebagai wujud perlindungan HAM.
  6. Masyarakat pembelajar sepanjang hayat melalui peningkatan budaya baca serta penyediaan bahan-bahan bacaan yang berguna baik bagi aksarawan baru maupun anggota masyarakat lainnya agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang relevan bagi peningkatan produktivitas mereka.
  7. Terwujud peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketenagaan yang profesional, dan satuan pendidikan nonformal yang terakreditasi agar mampu menjangkau sasaran yang semakin luas, adil dan merata serta dapat memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang terus berkembang. 

Pendidikan nonformal sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, juga dikutip kembali dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Pendidikan nonformal juga terikat oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan.

Selain itu sistem pendidikan nonformal kita juga harus mengikuti aturan akreditasi, dengan adanya Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF) yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (Pasal 1 ayat 25).

Berdasarkan aturan di atas, pendidikan nonformal di Indonesia, yang dalam istilah lainnya disebut Non-Formal Education (NFE), harus mengikuti standarisasi dan pemformalan sistem, baik dalam isi, proses, maupun hasil. Tak heran jika kemudian KTSP dan Ujian Nasional juga diberlakukan bagi pendidikan nonformal, meski dalam UU hanya menyebut dapat dihargai sama dengan pendidikan formal jika mengikuti ujian tertentu.


Interpretasi UU itu menyiratkan bahwa pemegang ijazah Paket A, B, dan C seharusnya tidak harus setara dengan lulusan SD, SMP, dan SMA. Tetapi jika warga belajarnya ingin setara dengan jalur formal, maka mereka diwajibkan mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan. Terasa sebagai sebuah pilihan bagi warga belajarnya, tetapi dalam prakteknya seolah menjadi kewajiban bahwa lulusan Paket A, B, dan C, HARUS setara dengan SD, SMP, dan SMA.

Tetapi dalam Permendiknas RI Nomor 15 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan, Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan yang selanjutnya disebut UNPK adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik program Paket A, Paket B, dan Paket C yang dilakukan oleh Pemerintah. Satuan pendidikan nonformal kesetaraan adalah penyelenggara pendidikan kesetaraan, mencakup Kelompok Belajar, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan satuan pendidikan sejenis lainnya.

Mata pelajaran yang diujikan dalam UNPK Paket A meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Matematika, (3) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), (4) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan (5) Pendidikan Kewarganegaraan. Lalu ujian nasional Paket B yang meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, (3) Matematika, (4) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), (5) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan (6) Pendidikan Kewarganegaraan. 

Mata ujian untuk Paket C-IPS yang setara dengan SMA-IPS meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, (3) Matematika, (4) Ekonomi, (5) Geografi, (6) Sosiologi, dan (7) Pendidikan Kewarganegaraan/Tata Negara. Untuk Paket C-IPA yang meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, (3) Matematika, (4) Biologi, (5) Fisika, (6) Kimia, dan (7) Pendidikan Kewarganegaraan.

Persyaratan peserta UNPK bagi peserta didik Program Paket A, Paket B, dan Paket C adalah: 
  • terdaftar pada satuan pendidikan nonformal kesetaraan; 
  • memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada satuan pendidikan formal atau nonformal mulai semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir; 
  • untuk Paket B dan Paket C memiliki ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah dengan minimum usia ijazah 3 tahun atau usia ijazah minimum 2 tahun bagi peserta UNPK yang berusia 25 tahun atau lebih. 
  • Khusus untuk peserta UNPK Program Paket C yang berasal dari Kulliyatul/Tarbiyatul Mu’allimin memiliki dokumen yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan program pendidikan selama tiga tahun di satuan pendidikan tersebut.  
Persyaratan peserta UNPK bagi peserta didik yang pindah jalur dari pendidikan formal ke pendidikan nonformal kesetaraan adalah: 
  • terdaftar pada satuan pendidikan nonformal kesetaraan; 
  • memiliki  kartu tanda peserta ujian nasional pendidikan formal dan surat keterangan tidak lulus atau telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran di pendidikan formal; 
 Persyaratan peserta UNPK bagi peserta didik yang belajar secara mandiri adalah: 
  • terdaftar pada satuan pendidikan nonformal kesetaraan atau pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat; 
  • memiliki ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah dengan minimum usia ijazah 3 tahun. 
  • pengecualian terhadap ayat (4) huruf b dapat diberikan kepada peserta didik yang menunjukkan kemampuan istimewa yang dibuktikan dengan kemampuan akademik dari pendidik dan IQ 130 ke atas yang dinyatakan oleh  lembaga yang disetujui BSNP.  
Memperhatikan peraturan ini, maka tak aneh pula jika keberadaan Pendidikan Nonformal, terutama program kesetaraan, semakin terdesak oleh paradigma pendidikan formal yang serba akademik. Visi tentang pendidikan nonformal sebagai pendidikan sepanjang hayat, dan mengembangkan potensi dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, mendadak lenyap. Ini didorong juga oleh rekrutmen tutor pendidikan kesetaraan yang banyak diambil dari guru sekolah formal.

Lingkaran setan ini harus bisa diakhiri, paling tidak dimulai dengan kaji uang penerapan PNFI di Indonesia, lalu mengajukan perubahan kebijakan yang simpang siur. Lembaga P2PNFI sebagai Pusat Pengembangan PNFI, yang salah satu fungsinya adalah merumuskan kebijakan teknis di bidang pendidikan nonformal dan informal di wilayah kerjanya dapat secara aktif membuat kajian dan mengadvokasikan perubahan mendasar, secara bertahap. Isu bahwa program kesetaraan akan diambil alih oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, mungkin bisa menjadi awal bagi PNFI untuk menemukan kembali jati dirinya.  

03 October, 2010

PNFI, Mewujudkan Pembelajar Sepanjang Hayat


Demi pemerataan pendidikan nasional, menurut UU Sisdiknas ada beberapa jalur pendidikan yang bisa ditempuh. Setelah reformasi terjadi sedikit perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur,  sekolah dan luar sekolah, menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13). Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak diatur secara ketat. Tetapi dalam prakteknya, sistem pendidikan nonformal dan informal disatukan dalam satu Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) di bawah Kementrian Pendidikan Nasional.

Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15).
Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16). Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Itulah kenapa istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP.

Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).

Setelah menempuh jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) dilanjutkan ke jenjang pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18).

Sementara itu pendidikan nonformal di Indonesia diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Selain itu berfungsi juga dalam mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2).

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3).

Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6).

Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).

Paradigma Nonformal tapi Sok Formal
Entah bagaimana asal usulnya, pendidikan nonformal di Indonesia, yang dalam istilah lainnya disebut Non-Formal Education (NFE), justru terjebak dalam standarisasi dan pemformalan sistem, baik dalam isi maupun proses. Berdasarkan prioritas program Pendidikan Nonformal dan Informal di Indonesia, paling tidak mencakut 6 program:
  1. Pendidikan Kesetaraan
  2. Pendidikan Keaksaraan
  3. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
  4. Kursus dan pelatihan berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH)
  5. Pengarusutamaan Gender
  6. Pengembangan budaya baca

Dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, pendidikan nonformal dijelaskan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal 1 ayat 3). Pendidikan Nonformal juga terikat oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan (Pasal 1 ayat 24). 

Selain itu sistem pendidikan nonformal kita juga harus mengikuti aturan akreditasi, dengan adanya Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF) yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (Pasal 1 ayat 25). 

Dalam kasus pendidikan kursus dan pelatihan yang memfokuskan pada pendidikan keterampilan, akreditasi lembaga penyelenggara kursus atau kepelatihan ini masih masuk akal, karena kemudian melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini industri atau pasar. Jika seseorang membuka usaha baru, atau melamar pekerjaan, maka sertifikat yang didapatnya dari pendidikan kekursusan atau kepelatihan tersebut berguna sebagai bukti keterampilannya.

Yang agak aneh adalah dalam hal pendidikan kesetaraan, karena semua standar isi dan proses mengacu pada pendidikan formal, termasuk dalam implementasi KTSP. Dokumen perundang-undangan yang mengaturnya adalah Permendiknas No. 14/2007 tentang Standar Isi Paket A, Paket B, dan Paket C, dan Permendiknas No. 3/2008 tentang Standar Proses Kesetaraan Paket A, Paket B, dan Paket C.

Jadi apa sebenarnya paradigma pendidikan nonformal di Indonesia? Sebagai pebandingan, dalam sebuah jurnal dari Philipina, berjudul Evolving Paradigms in Nonformal Education: A Synthesis and A Research: Bases for a  Curriculum in Master in Nonformal Education, dijelaskan sekilas mengenai perkembangan paradigma pendidikan nonformal:

Alternative philosophy characterized as appropriate and autonomous as well as advanced and accelerated. Appropriate objectives and goals accentuate congruence to the learner’s realization of needs. Autonomous goals and objectives should respect and consider the individuality of the learner, so that all intentions must emanate from the individual himself.  Realization of such intents will be translated into a satisfying reality. Such condition enables the learner to be responsive and motivated to continuously go through the designed Nonformal Education learning system. 
Through the application of appropriate alternative learning system, the acquisition of objectives and the realization of the goals can be accelerated, thus learners’ satisfaction is attained. Autonomous goals can be elevated from simple to advanced, upon consideration and application of alternative mode of action. 

Paradigma yang bersifat filosofis ini menekankan pada kemandirian warga belajar, baik dalam menentukan tujuan belajarnya, maupun dalam menentukan prosesnya. Orientasi belajarnya sangat menekankan pada kebutuhan kehidupan sehari-hari. Akselerasi pencapaian tujuan belajar warga belajar, dapat dilakukan melalui sistem pendidikan nonformal yang dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan karakteristik warga belajar, difasilitasi oleh para pelaku dan pengelola pendidikan nonformal.

Filosofi ini kemudian ditopang oleh empat pilar mendasar yang menjadi tujuan atau orientasi pendidikan nonformal, yaitu 
Learning to learn focuses in a combination of a broad general knowledge with  the opportunity to work-in-depth on a small  number of subjects. 
Learning to do pertains to the acquisition not only of an occupational skill but also, more broadly, the competence to deal with many situations and work in teams.  
Learning to live together deals on the development of an understanding of other people and  appreciation of interdependence in a spirit of   respect for the values of pluralism, mutual understanding and   peace.  
Learning to be is the development of one’s personality and ability to act with ever greater autonomy, judgment, and personal responsibility. 

Dalam jurnal tersebut, Director Edicio de La Torre (2004) of Education for Life in the Philippines, menyatakan bahwa standard dan struktur implementasi pendidikan nonformal di lapangan, harus mengacu dan konsisten dengan filosofi di atas. Standard dapat mengacu pada set kriteria yang digunakan sebagai dasar pengukuran pencapaian suatu keterampilan tertentu. Ukurannya sangat tergantung pada kondisi dan situasi dimana masyarakat berada, terkait isu kawasan, dan sistem sosialnya.

Ini mengindikasikan bahwa standar PNFI tidak bisa dikembangkan secara nasional, mengingat kondisi masyarakat kita yang sangat beragam. Standar dapat dikembangkan berdasarkan sifat kawasan dimana masyarakat berada. Dalam hal ini Direktorat Jenderal PNFI sudah mengisyaratkan adanya pengkajian yang khusus untuk berbagai jenis kawasan, misalnya kawasan pegunungan, pesisir, dan perkotaan. Perbedaan ini akan mewarnai tema-tema dan jenis keterampilan yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di lingkungan PNFI.

Persoalannya, pada saat hasil pembelajaran PNFI ini akan disetarakan dengan hasil pendidikan formal, terutama terkait jenjang pendidikan. Bahwa angka kelulusan pendidikan dasar merupakan target formal dalam sistem pendidikan nasional kita, kemudian membebankan sistem PNFI untuk mencapai standard yang sama dengan pencapaian pendidikan formal. Meskipun pengelolaan pendidikan kesetaraan, sebentar lagi akan dikembalikan pada Direktorat Pendidikan Dasar, dan Direktorat Pendidikan Menengah, tetapi pada pelaksanaan di lapangan tetap di bawah pengelolaan para pelaku PNFI.

Ini akan menimbulkan kekacauan tersendiri, mengingat para pelaku PNFI di lapangan, dalam waktu yang bersamaan, harus berganti paradigma dari sistem pendidikan formal ke pendidikan nonformal. Bukan tugas yang ringan mengingat dampaknya pada penggunaan pendekatan, metode, dan proses belajar yang berbeda pula.

Bayangkan, dalam konteks pendidikan nonformal, tidak ada "guru" yang secara sistematis dikelola dan dibiayai oleh negara. Mereka adalah para tutor atau fasilitator yang bisa berlatar pendidikan apa saja, dan terkadang sukarela, atau bersifat pengabdian. Alasannya menjadi tutor bisa karena "daripada menganggur di desa". Karena tuntutan standarisasi pendidikan formal, mereka harus dilatih mengenai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), untuk dipraktekkan di kelompok belajar, atau di pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Ini karena standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan nonformal mengunakan standard yang sama seperti yang digunakan di lingkungan pendidikan formal.

Cita-cita besar PNFI, yang ingin Mewujudkan Pembelajar Sepanjang Hayat, sebaiknya kembali ke paradigma nonformal yang seutuhnya. Konsistensi ini sangat perlu, karena sistem pendidikan nonformal, tidak bisa dipandang sebagai "tempat sampah", tempat dimana kegagalan sistem pendidikan formal menyediakan layanan pendidikan, dilimpahkan begitu saja kepada lingkungan PNFI, tetapi tidak menyediakan sarana dan prasarana yang setimpal. Mewujudkan masyarakat pembelajar, adalah membekali mereka dengan kemampuan Learning to Learn, Learning To Do, Learning to Live Together, dan Learning to Be.

Pendidikan nonformal ada baiknya juga mulai mengkaji penyiapan warga belajar, masyarakat pada umumnya dalam hal menghadapi tantangan pendidikan di Abad 21. Dalam berbagai deklarasi yang terus diperbarui, sejak tahun 1982 (Deklarasi Grunwald - UNESCO) sudah diprediksi bahwa masyarakat dunia akan membutuhkan kemampuan menggali informasi dan mengolahnya, sehingga dapat memahaminya secara komprehensif dan menggunakannya secara produktif.

Duabelas rekomendasi dihasilkan, berdasarkan empat ruang lingkup program yang masih relevan hingga saat ini, yaitu; (1) Pengembangan pendidikan media di semua tingkatan pendidikan; (2) Peningkatan kapasitas guru dan awareness para pihak di lingkungan sosial masyarakat, (3) Penelitian dan diseminasi hasilnya; serta (4) Kerjasama di tingkat internasional dalam implementasinya. Rekomendasi ini dihasilkan dalam The Paris Agenda—12 Recommendations for Media Education.

Ini baru salah satu tantangan yang perlu dihadapi masyarakat di dunia nyata. Sementara, peningkatan kemampuan ini akan terus bersaing dengan perkembangan teknologi yang semakin gencar memaksa perubahan perilaku masyarakat. Program-program keaksaraan di tingkat masyarakat, sebaiknya mulai mengadopsi kebutuhan global ini, daripada sekedar berkejar-kejaran dengan standar pendidikan formal yang jelas akan sulit dipenuhi dengan sarana dan prasarana yang tidak merata.

11 May, 2010

Sekolah Membunuh Kreativitas


Sekolah telah membunuh kreativitas, menurut Sir Ken Robinson dalam presentasi di atas. Bagaimana mungkin? Semua hanya gara-gara salah paham, dan salah urus. Dalam satu kasus menarik yang diangkat oleh Ken, adalah seorang penari, koreografer terkenal bernama Gillian Lynne. Berikut adalah transkrip pemaparan Ken.

I'm doing a new book at the moment called "Epiphany," which is based on a series of interviews with people about how they discovered their talent. I'm fascinated by how people got to be there. It's really prompted by a conversation I had with a wonderful woman who maybe most people have never heard of, she's called Gillian Lynne, have you heard of her? Some have.

She's a choreographer and everybody knows her work. She did "Cats," and "Phantom of the Opera." She's wonderful. I used to be on the board of the Royal Ballet, in England, as you can see. Anyway, Gillian and I had lunch one day and I said, "Gillian, how'd you get to be a dancer?" And she said it was interesting, when she was at school, she was really hopeless. And the school, in the '30s, wrote to her parents and said, "We think Gillian has a learning disorder." She couldn't concentrate, she was fidgeting. I think now they'd say she had ADHD. Wouldn't you? But this was the 1930s, and ADHD hadn't been invented at this point. It wasn't an available condition. (Laughter) People weren't aware they could have that.
Anyway, she went to see this specialist. So, this oak-paneled room, and she was there with her mother, and she was led and sat on a chair at the end, and she sat on her hands for 20 minutes while this man talked to her mother about all the problems Gillian was having at school. And at the end of it -- because she was disturbing people, her homework was always late, and so on, little kid of eight -- in the end, the doctor went and sat next to Gillian and said, "Gillian, I've listened to all these things that your mother's told me, and I need to speak to her privately."
He said, "Wait here, we'll be back, we won't be very long." and they went and left her. But as they went out the room, he turned on the radio that was sitting on his desk. And when they got out the room, he said to her mother, "Just stand and watch her." And the minute they left the room, she said, she was on her feet, moving to the music. And they watched for a few minutes and he turned to her mother and said, "Mrs. Lynne, Gillian isn't sick, she's a dancer. Take her to a dance school."

Ya, anak itu pernah disangka mengalami kelainan. Kesalahpahaman semacam ini sering terjadi, dan melahirkan orang-orang yang stress di kemudian hari. Kesalahpaham mendidik bakat-bakat terpendam, menjurus pada salah urus, dan akhirnya bukan saja mematikan bakatnya, tetapi membuatnya hidup di alam yang tak nyata.

Pendidikan, harus mampu menjadikan manusia seutuhnya. Terdengar utopis? Mungkin iya. Tapi tidak mustahil. Jane Vella, ahli dalam pendidikan orang dewasa, dan pendidikan melalui dialog (dialogue education), menempatkan need assessment sebagai prinsip pertama dalam pendidikan orang dewasa. Prinsip ini menyatakan bahwa, pendidikan yang dialami pembelajar, seharusnya berbasis pada apa yang ia butuhkan, karena potensi yang sudah dimilikinya. Pendidikan inklusif, tidak menyeragamkan pembelajar, itulah intinya.

Dalam prinsip yang lain, adalah persoalan kontrol. Pembelajar seharusnya memiliki keleluasaan memilih, menentukan apa yang ingin dipelajarinya, tentu dengan bimbingan. Faktanya, pendidikan kita adalah bentuk dari "jual dedet", kalau kata orang Sunda, yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah "jual paksa".  Siswa hanya menerima dengan pasrah, apapun yang diberikan sekolah. Sekolah yang menentukan mana yang penting, dan ini teraplikasi pada sistem UN yang mengujikan beberapa pelajaran yang menurut Pemerintah, itulah yang paling penting.

Lalu apa yang akan terjadi dengan anak-anak berbakat seperti Gillian Lynne? Kalau ada anak dengan bakat seperti Gillian Lynne itu, maka ia (mungkin) tidak akan pernah lulus UN. Kalaupun bisa lulus, bisa dibayangkan tekanan yang harus ia alami karena harus belajar mata pelajaran yang bukan bidangnya. Kemana anak-anak seperti itu akan berujung?

Semoga bukan di rumah tahanan, atau perawatan keterbelakangan mental.
Berikut adalah vesi lain dari presentasi Ken Robinson ini.


06 April, 2010

[copas] Saat Menteri Linda Gumelar Menangis

Pendidikan untuk anak "nakal", memang bukan penjara. Keluarga sebagai satuan unit terkecil untuk remaja, seharusnya bisa memberikan ruang yang cukup longgar, agar "kenakalan" itu tidak harus dikategorikan sebagai kriminalitas. Sudah fitrah remaja untuk mencari sesuatu yang baru, dan menemukan identitasnya. SUdah selayaknya pula pendidikan memberi ruang, bukannya malah mempersempitnya.

Presiden, baru-baru ini memberi grasi pada narapidana anak, di Lapas Anak Tangerang. Semoga ini bisa menjadi langkah awal untuk perbaikan sistem pendidikan anak/remaja kita, agar tidak perlu lagi ada Lapas khusus Anak. Kami berharap padamu, Ibu Menteri.

Tangerang (ANTARA News) - Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Linda Amalia Sari Gumelar menangis saat pemberian grasi bagi tiga orang narapidana anak di Lapas Anak Pria Tangerang.

Linda menangis saat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar memberikan Surat Keputusan Presiden tentang Grasi Terhadap Narapidana Anak di Lapas Anak Pria Tangerang, Selasa.

Ketiga orang narapidana anak yang mendapatkan grasi adalah dua orang anak laki-laki bernama Andika dan Aditya, serta satu orang anak perempuan bernama Sheila.

Suasana haru terasa saat Menteri Hukum dan HAM memberikan surat keputusan kepada tiga orang anak tersebut.

Bahkan, Sheila menangis sesaat setelah namanya disebut sebagai narapidana anak yang mendapatkan grasi presiden.

Melihat hal tersebut, Linda Amalia Sari mendekati Sheila dan merangkulnya seraya menangis haru.

Linda mengatakan pihaknya sangat bersyukur dengan kebijakan grasi yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Kebijakan ini sangat tepat dan kami sangat menyambut baik," katanya.

Menurutnya, pendidikan yang paling baik adalah bukan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan melainkan di lingkungan keluarga.(W004/J006)

COPYRIGHT ANTARA © 2010

08 February, 2010

Literasi Setengah Hati


Literasi, dalam program pemerintah seringkali diterjemahkan lurus menjadi program Calistung, Baca-Tulis-Hitung. Paling tidak itulah program awal yang berkaitan dengan literasi, karena memang yang menjadi target adalah angka melek-huruf rakyat Indonesia. Standar minimum melek huruf di Indonesia memang bisa membaca, baik itu huruf latin, dan/atau huruf Arab. Secara lengkap, dijelaskan bahwa melek huruf berarti mampu mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan.

Program melek huruf sudah menjadi program PBB, karena dipercaya melek huruf memiliki kaitan sangat erat dengan kemiskinan. Untuk itu, hari melek huruf diperingati setiap tahunnya, pada bulan September, tepatnya pada tanggal 8 September. UNESCO, mendeskripsikan hari melek huruf, atau Literacy Day sebagai berikut:
September 8th was proclaimed International Literacy Day by UNESCO on November 17, 1965. It was first celebrated in 1966. Its aim is to highlight the importance of literacy to individuals, communities and societies. On International Literacy Day each year, UNESCO reminds the international community of the status of literacy and adult learning globally. Celebrations take place around the world. Some 774 million adults lack minimum literacy skills; one in five adults is still not literate and two-thirds of them are women; 72.1 million children are out-of-school and many more attend irregularly or drop out. – UNESCO
Berdasarkan informasi di web tempointeraktif.com, pada semester pertama 2006, jumlah buta aksara mencapai 8,36 persen atau 3.182.492 orang. Pemerintah menargetkan buta aksara usia 15 tahun ke atas, turun menjadi 5 persen pada 2009. Lengkapnya, berikut kutipan dari tempointeraktif.com:
Pada tahun 2004 angkanya mencapai 15,4 juta orang, atau 10,21 persen dari jumlah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas. Tahun 2006 jumlahnya turun menjadi 12,88 juta (8,44 persen), dan tahun 2007 turun menjadi 11,87 juta (7,33 persen).
Hingga tahun 2009, Indonesia tercatat negara dengan 92% penduduknya sudah melek huruf, berdasarkan data UNDP tahun 2009. Pencapaian ini sungguh tampak hebat, karena jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan sudah mencapai 240-an juta per 2009. Angka melek huruf ini berlaku untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas.


Tapi dibalik angka melek huruf itu, ada data mengenai kemampuan membaca yang diteliti oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Lembaga riset ini melakukan penelitian 5 tahun sekali, dimulai pada tahun 2001. Beberapa negara di dunia sudah diteliti, dan data-datanya juga diterbitkan untuk umum. Indonesia masuk dalam data tersebut, pada tahun 2006, yang menunjukkan bahwa angka partisipan pendidikan di Indonesia, masih didominasi oleh kalangan pembaca 'pas-pasan'.

Artinya, ada potensi 54% dari penduduk yang melek huruf di Indonesia (waktu itu), baru menunjukkan kemampuan baca yang pas-pasan. Hanya sedikit sekali jumlah penduduk yang sudah memiliki kemampuan membaca yang baik, bahkan menurut standar PIRLS, yang memiliki kemampuan baca mahir kurang dari satu persen! Ini baru membaca teks, belum kemampuan dalam berhitung. Sementara, ada 25% lagi yang statusnya tidak jelas. Tapi kita masih disibukkan dengan UN, yang tidak jelas mau mengukur apa.

Kemampuan membaca, sangat menentukan kualitas intelektual penduduk, karena melek huruf saja tidak menjamin wawasan mereka kemudian jadi luas. Melek huruf saja baru menjamin satu hal, mengenali abjad dan bisa membaca. Sementara dari definisi di atas, selain mampu mengidentifikasi dan memahami, diperlukan kemampuan mengolah dan mengkomunikasikan kembali.

Jadi, sementara sibuk dengan program memberantas buta huruf, harus mulai diseriuskan upaya meningkatkan kemampuan membaca bangsa ini, sehingga mencapai kualitas literasi yang maksimal. Sudah mulai tumbuh komunitas perpustakaan keliling, atau taman bacaan yang lebih ilmiah, bukan sekedar komik dan bacaan hiburan lainnya.

Pada saat yang sama, media informasi semakin berkembang, dan menuju pencapaian yang luar biasa cepatnya. Setelah ada radio dan televisi, kini ada internet, yang tidak saja menyuguhkan teks, tapi juga bahasa rupa dan rungu. Kita butuh tidak saja literasi teks, tapi juga literasi visual. Selain itu internet menawarkan lingkungan baru, dengan aturan baru pula. Kita yang tidak literate, hanya akan jadi penonton, atau paling tidak cuma bisa mengkonsumsinya. Lalu muncullah kasus-kasus 'pelanggaran' yang belakangan rame, upaya reproduksi tanpa mengindahkan etika.

Dengan informasi di atas, saya sih tidak terlalu heran kalau kasus-kasus akan bermunculan semakin banyak. Literasi jaman sekarang, sudah tidak bisa lagi berkutat seputar membaca teks, tetapi juga bagaimana mengelola informasi itu menjadi sesuatu yang berguna. Dan itu semua, hanya bisa berjalan kalau kita tahu tata-kramanya.

Karenanya, media literacy, atau melek media sudah sepantasnya jadi perhatian kita. Jangan sampai diperdaya informasi, berdayalah dengan informasi!

[ via medialiterasi.co.cc ]

18 November, 2009

Dipecat dari Pesantren, Santri Bunuh Diri



Satu lagi, kasus siswa yang secara tragis bunuh diri karena dikeluarkan dari lembaga pendidikan. "Kenakalan"nya yang dianggap sudah melebihi batas, tidak dapat ditolerir lagi, sehingga pihak pengelola pesantren terpaksa melayangkan surat DO.

Menurut kabar, anak ini pernah dibina langsung di rumah gurunya, dan keadaan bisa membaik. Ia mulai memiliki kesibukan baru, dan kebiasaan buruknya mulai berkurang. Tapi kebijakan ini tidak bisa berlangsung lama, karena tidak dimungkinkan seorang murid berlama-lama di rumah gurunya. Ia harus kembali ke asrama, Berikut kutipan pengakuan dari sang guru, seperti yang dituliskannya di Politikana.com:

Dua kali dia pernah hendak dipulangkan ke orangtuanya karena banyak melanggar disiplin, dan 2 kali itu pula orangtuanya bermohon agar Cibro jangan dipecat. Atas jaminan saya, maka kala itu pihak pengasuhpun membatalkan surat pemecatan. Bahkan jaminan yang kedua, saya harus menempatkan dia serumah dengan saya, dan ditemani oleh seorang teman karibnya agar dia tak merasa sendirian....
Dan selama tinggal di rumah itu, berbagai aktifitas positif saya ciptakan untuknya, termasuk mewajibkannya aktif di Politikana. Saya belikan dia buku-buku ringan, kebanyakan buku cerita humor agar dia bisa lebih santai. Maka tak heran, artikel2nya kebanyakan hanyalah copasan belaka!! Selain itu saya juga berkonsultasi dengan aktivis BRANTAS dalam menghilangkan kebiasaan ngelem itu. Atas saran mereka, saya melakukan terapi, dengan minum air kelapa hijau, madu, telor ayam, dll... termasuk mengkonsumsi klorofil yang sengaja saya sediakan buatnya...
Selepas hari raya Idul Fitri kemaren, oleh pihak pengasuh dia disarankan untuk kembali ke asrama. Dia sudah dianggap sehat dan tak boleh berlama2 lagi bermukim di rumah guru. Akhirnya dia pun kembali bergabung dengan teman2nya di asrama.... Dan di setiap kesempatan, saya tetap menyempatkan diri untuk memantau aktifitasnya... Tapi karena di asrama ada bapak/pamong asrama, maka saya mengurangi diri dalam memantaunya, lebih2 karena kesibukan kerja dan kuliah saya yang lumayan banyak...

Yudi Cahyadi Cibro, adalah seorang anak berusia 15 tahun. Ia tercatat sebagai siswa/santri di Pesantren Al-Manar, Jalan Karya Bhakti Medan Johor. Siswa Tsanawiyah (setara SMP) ini dikeluarkan dari asramanya karena berulang kali ketahuan merokok, ngelem dan keluar asrama tanpa izin. Ia kemudian nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di toilet asrama pesantren, Jumat (13/11) siang.

Aktifitasnya di Politikana.com, mengundang banyak decak kagum pembaca lain. Sebagai anak berusia 15 tahun, banyak yang berpendapat bahwa kecerdasannya jauh melebihi usianya. Meski dalam aktifitasnya di Politikana, sang guru berperan sangat besar sebagai orang yang membimbing, memberinya asupan informasi, dan bimbingan, semangat anak itu sungguh sebuah potensi yang kiranya tidak main-main.

Sayang sekali, kebiasaan merokok dan ngelem, yang akhirnya tertangkap tangan oleh pihak pengelola asrama dan berujung keluarnya surat DO, meruntuhkan semangat hidupnya. Tanggal 11 November 2009 ia menerima surat itu, hari berikutnya ia dilaporkan teman-temannya menjadi murung, dan tanggal 13 November 2009, tampaknya ia memutuskan untuk meninggalkan semua aktifitasnya di dunia, nyata dan maya. Selamanya.

Melihat dari sisi kependidikan, bagaimana seharusnya lembaga pendidikan punya tanggung jawab dalam mendidik siswa/santrinya, hal seperti ini selalu menjadi ganjalan dihati. Kenapa, lembaga pendidikan kita selama ini seolah-olah hanya berperan seperti lembaga penitipan? Seperti tempat parkir, dimana Anda bisa menitipkan motor/mobil, tapi tukang parkir tidak peduli dengan kondisi kendaraan Anda. Mau ban bocor, bensin habis, rem blong, buat mereka selama konsumen bayar parkir, silakan nangkring.

Saya tidak mengarahkan tuduhan ini pada pengelola pesantren dimana Cibro akhirnya meninggal dunia. Saya mencoba melihat gejala, fenomena yang mumpung belum membawa korban lebih banyak, sebaiknya diatasi dari sekarang.

Apa yang bisa kita lakukan? Mengubah paradigma pengelolaan sekolah? Mengubah paradigma para pengelola sekolah? Mengubah paradigma pendidikan itu sendiri?

Harusnya ada cara lain, seperti kisah berikut, yang saya ambil dari tulisan di Politikana.com untuk cibro:

Once in Shao Lin monastery, a young monk was caught stealing from his fellow monks. That was not the first time, and all his fellow monks ran out of patience and petitioned the abbot to expel him. The abbot refused, and the angry monks threatened to walk out of the monastery.
To this threat, the abbot replied calmly thus, "You've all known already the difference between right and wrong. I know you're all good persons, and you'll all do well outside this monastery. This friend of yours, on the other hand, doesn't the difference between right and wrong. I can not let him go in his present condition. He needs me to teach him, and that's what I'm here for. Go, if you all want to go. He will stay here. So will I".
It is said that the young monk was so moved by the abbot's speech that he mended his way immediately. It is also said that later he became one of the abbots in Shao Lin's long history. His angry fellow monks? They stayed, of course.


Selamat jalan, kawan Cibro. Apapun faktanya, saya tidak akan pernah mengubah rasa simpati saya pada apa yang telah menimpamu. Semoga keluargamu diberi ketabahan oleh Allah, SWT. Amin, ya robbal alamin.