25 July, 2009
Pendidikan Buruh untuk Negara Agraris' (?)
Coba kita lihat beberapa kasus menarik. Ketika kurikulum pendidikan kita mencoba menjawab tantangan industri, bahkan SMK kini diiklankan sebagai 'jalan pintas' bagi orang miskin daripada meneruskan ke perguruan tinggi yang mahal. Kita lupa dengan konsep pendidikan dasar, yang sekarang baru ditetapkann hingga 9 tahun. Dimana-mana, pendidikan dasar dipatok 12 tahun. Asumsinya, dalam konvensi hak anak, yang disebut anak itu hingga yang berusia 18 tahun. Di sini, kita mempersiapkan anak berusia dibawah 17 tahun, untuk menjadi buruh. Kita serius dengan usaha itu, dilembagakan, dibangga-banggakan pula sebagai terobosan!
Berbasis kompetensi. Belakangan kurikulum pendidikan kita bergeser menjadi KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Asumsinya, kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan seterusnya. Berbagai kemampuan mental, akan diukur dengan standar kompetensi. Jadi bayangkan, bagaimana ukuran seseorang sudah beriman atau tidak? Rajin beribadah, tapi kalau bikin KTP masih suka nyogok? Bagaimana membuat standar performance dari Keimanan dan Ketakwaan itu?
Mungkin toolsnya bisa dikembangkan, tapi kalau urusan ibadah itu sudah jelas patokannya di agama masing-masing. Nah, kalau masih suka nyogok, mau dibahas di pelajaran agama atau di pelajaran PPKN? Lalu bagaimana supaya ukuran kompetensi tadi tidak saling tertukar?
Competency Based Education, diterapkan di negara yang memang secara kultur industrinya kuat. Artinya, mereka adalah negara industri. Makanya disana partai buruh yang berkuasa, karena sebagian besar manusia di sana adalah 'buruh'. Lha kita? Negara berkembang? Negara agraris? Atau apa sih sebenarnya? Oke lah, kalau kita memang pernah mengaku sebagai negara agraris dan kelautan, apakah negara cukup serius menggarap industri kelautan dan agrobisnis, supaya pendidikan berbasis kompetensi itu jadi relevan? Rasanya tidak.
Petani dan nelayan adalah kaum marjinal di negara yang mengaku dan agraris dan kelautan ini. Industri yang dimodali negara besar-besaran malah industri yang lain lagi. Petani dan nelayan butuh sumberdaya manusia unggul, teknologi tepatguna, untuk membuat inovasi-inovasi, tapi sekolah tak sanggup melayani kebutuhan yang cepat itu. Pertanian cuma jadi sebuah fakultas, atau sebuah institut. Sekolah menengah pertanian malah diberangus. Paradoks. Negara ini memang 'negara' yang aneh.
21 August, 2008
Mencermati 20% Anggaran Pendidikan
Horee! Anggaran pendidikan kita benar-benar memenuhi amanat UUD 45 yang diamandemen, yaitu 20% dari APBN, dalam hal ini APBN 2009. Kalau dirupiahkan, kira-kira anggaran pendidikan kita tahun 2009 nanti menurut MenKeu Sri Mulyani, jumlahnya naik dari Rp 154 triliun menjadi Rp 224 triliun atau naik cukup besar, sehingga porsi anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari total anggaran sesuai dengan amanat konstitusi.
Nah, kemana saja tuh duit? Dari laporan ANTARA, menurut Mendiknas anggaran pendidikan itu akan dialokasikan melalui Depdiknas, Depag, dana alokasi umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). "Anggaran terbesar diberikan ke daerah melalui DAU dan DAK di mana sebagian besarnya adalah untuk gaji guru," katanya. Namun Presiden sudah memberikan pengarahan agar diprioritaskan tunjangan fungsional guru, peningkatan mutu SMK, dan pengembangan penelitian. Demikian laporan ANTARA.
Jadi jangan terlalu gembira dulu. Berdoa saja anggaran itu bisa dibelanjakan dengan baik dan benar, mengingat daya serap anggaran kita masih sangat rendah, baru mencapai sekitar 30% dari rencana anggarannya. Sementara itu, simak juga laporan dari KOMPAS.com yang menyebutkan, bahka kenaikan ini berarti juga kenaikan hutang negara. Berikut kutipan dari kompas.com:
Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 persen ternyata seiring dengan meningkatnya defisit anggaran 2009. Dapat diasumsikan, ambisi pemerintah memenuhi konstitusi tersebut dipenuhi dengan cara berutang. Hal ini diungkapkan oleh anggota Komisi XI dari Fraksi PAN Dradjad Wibowo usai keterangan pers sejumlah partai menanggapi pidato kenegaraan presiden di Jakarta, Jumat (15/8).
Nah lo. Tapi tidak apa-apalah. Saya lebih setuju ngutang demi pendidikan, daripada ngutang buat dikorupsi sama pejabar negara, atau dikemplang sama pengusaha tak bertanggung jawab.
18 August, 2008
Meneruskan Fakta dari Lapangan
Teman-teman,
Anak saya saat ini menjadi siswa sekolah negeri di Jakarta. Awalnya saya senang sekali karena proses seleksi dan pendaftarannya dari SMP ke SMA sangat transparan. Saya dampingi dia waktu daftar dan beberapa saat kemudian kami bisa cek perkembangannya via website. Dua hari kemudian, saya cek dari Medan (via internet) dan ternyata anak saya diterima di SMA pilihan pertamanya pada urutan 36 dari 275 peserta yang lolos seleksi (sesuai daya tampung) sekolah tersebut padahal anak saya daftar dari sekolah yang berbeda.
Hari ini saya sangat kecewa, setelah mendapat informasi rencana iuran peserta didik. Kebetulan yang ikut rapat adalah istri saya dan dia tidak puas. Akhirnya, pihak sekolah dan ketua komite sekolah (gak jelas bagaimana proses pemilihannya dulu) menyetujui cara pembayarannya yang semula mereka tawarkan 6 bulan menjadi 1 tahun. Sementara besarnya biaya tiap orang tua sebesar Rp 5.000.000 tidak bisa ditawar lagi meski sudah berdebat.
Mempelajari rincian anggraan yang diajukan pihak sekolah membuat kita berang, beberapa point penting misalnya :
1. Peningkatan pembelajaran sekolah : Rp 147.000.000,
2. Transport tenaga honor ; Rp 68.640.000,
3. Latihan Dasar Kepemimpina Sekolah (LDKS) : Rp 123.750.000,
4. Honor Dokter: Rp 33.000.000.
5. Pembelian barang, sarana dan humas (8 item) total : Rp 227.000.000
6. Lain-lain ;
Ulang tahun sekolah : Rp 33.000.000
Rapat kerja untuk 100 orang @ Rp 615.000 ; Rp 91.500.000
Total biaya Rp 1.320.055.000 (rinciannya terlampir)
Lucu rasanya, sekolah negeri namun hampir semua kebutuhan sekolah termasuk pengadaan AC, Laptop, printer dibebankan ke orang tua murid. Belum lagi tiap mata anggaran masih bisa dihemat dan kala itu diperdebatkan, sudah tidak bisa ditawar lagi. Akhirnya istri saya pulang dengan kecewa. Tidak berdaya karena kebanyakan orang tua yang ikut rapat juga sepertinya enggan bicara. Dia seperti teriak di padang pasir, padahal semua yang hadir adalah korban.
Barang kali diantara teman-teman (khususnya punya kegiatan advokasi sekolah) punya saran, informasi, produk hukum yang bisa dijadikan rujukan menghantam kesewenang-wenangan ini. Tampaknya pihak sekolah tidak prihatin dengan kondisi ekonomi saat ini. Menetapkan sesuatu dengan harga yang tidak masuk akal. Dan lagian ini sekolah negeri, lantas apa peran pemerintah.
Kami informasikan juga bahwa disamping Rp 5.000.000 tersebut anak kami masih harus bayar Rp 225.000 per bulan, uang seragam 195.000, LKS (lembar Kerja siswa) Rp 98.000 buku wajib (harus ada) Rp 660.000 dan semua itu sudah kami penuhi.
Kami mohon bantuan informasi, kemana harus mengadukan ketidak puasan ini?
Langkah apa yang harus kami tempuh. Bagimana sesungguhnya pembiayaan pendidikan di SLA. Mekanisme complain, dll.
Terima kasih,
Tumpal P. Saragi
10 August, 2008
Mengukur Hasil Pendidikan Kita
Daripada capek-capek mengukur standar keberhasilan pendidikan kita, kenapa tidak coba dengan sesuatu yang lebih sederhana, misalnya seberapa banyak pengguna jalan yang paham akan rambu-rambu di jalan raya? Seberapa banyak orang yang mampu bertahan dalam antrian yang rapi dan terkendali? Seberapa banyak orang yang mampu membedakan mana uang korupsi dan mana hasil diseminasi?
Orang-orang yang korupsi sekarang ini di DPR, adalah produk pendidikan masa lalu, paling tidak kurikulum tahun 70-an. Bahkan di antara mereka ada yang produk 80-an. Kenapa tidak mencoba lebih pintar dengan memperhatikan kegagalan kurikulum yang melahirkan para koruptor itu, lalu segera memperbaikinya.
Dengan cara-cara UN sekarang ini, anak-anak sudah diajarkan bagaimana caranya memperoleh hasil dengan jalan pintas. Tidak perlu sekolah dasar 6 tahun, tidak perlu sekolah menengah 3 tahun, karena jawabannya ada pada kelas akselerasi, atau kursus-kursus. Kursuslah yang mampu menjawab UN, lalu buat apa sekolahan?
Kenapa bersusah payah mengukur standar kependidikan kita, dengan ukuran yang dibuat oleh orang lain? Karena kita memang bangsa kuli, yang bisanya mengekor kebijakan orang lain? Seperti juga presiden yang bisa didikte oleh segerombolan orang dari Amerika yang menamakan dirinya anggota Kongres? Bagaimana presiden kita yang terhormat itu akan merespon surat dari Amerika yang arogan itu?
Halah. Kita dibuat capek dengan sibuk mempermak muka kita demi orang lain. Kita tidak pernah benar-benar mengarahkan pendidikan untuk kepentingan diri kita sendiri. Nyatanya sarjana pertanian nganggur, lantaran tidak ada lagi lahan pertanian. Padahal, katanya negeri ini negeri agraris. Mau jadi negara industri? Kalau tidak bisa bikin inovasi, jangan mimpi!
16 July, 2008
Mahalnya Buku Sekolah
Kita tahu bahwa harga-harga memang naik gara-gara BBM ikut naik. Penulis butuh duit, penerbit butuh duit, distributor butuh duit, toko buku butuh duit, maling pun butuh duit. Siapa sih yang nggak butuh duit di jaman kayak gini? Tapi kalau sudah berurusan dengan soal pendidikan, benturannya sulit dihindari.
Banyak kasus, orang-orang miskin yang disubsidi bukannya mengalihkan pendapatannya untuk pendidikan, tetapi untuk hal yang lain. Dan urusan perut adalah prioritas. Bahkan ketika sebuah program bagi-bagi makanan tambahan bergizi untuk anak, supaya orang tua tidak harus belanja, tetap saja uang itu tidak berujung ke biaya pendidikan anaknya.
Kenapa sih buku harus menjadi masalah terus menerus? Padahal pemerintah sudah berupaya membuka ruang agar masyarakat dapat memperoleh buku gratis, dengan mengunduhnya lewat internet. Hmmm.. silakan Anda periksa, buku-buku yang dipasang disana, apakah yang termasuk dalam buku yang dipakai sekolah atau bukan?
Kalau sekolah punya itikad baik, harusnya buku-buku yang sudah ada disana tidak perlu lagi diwajibkan membeli. Tapi kalau ini memang niatnya bisnis, sekolah bisa cari-cari alasan dan malah kucing-kucingan dengan memilih buku yang tidak ada versi gratisnya di internet. Lha, siapa yang tahu?
Buku-buku teks yang dipakai di sekolah tersebut merupakan keluaran dari penerbit buku ternama yang umum dipakai di sekolah. Tidak ada satu buku pun yang direkomendasikan dari buku digital yang disediakan pemerintah di situs web Depdiknas.
- Kompas.com
Sebagai informasi, harga buku dari penerbit rata-rata 30% lebih murah daripada harga buku yang ada di pasaran, atau di toko buku. Marjin yang cukup besar ini memang dinikmati oleh distributornya, atau si toko buku. Kalau tidak begini, memang sulit menjual bukunya. Mana ada toko buku yang mau untung sedikit? Tampaknya sih ada saja, tapi jumlahnya lebih sedikit daripada toko buku yang cari untung besar.
Gimana kalau gak usah pergi ke sekolah aja? Bikin aja sekolah sendiri di rumah. Syaratnya ya tentu saja orang tua harus berani ambil risiko. Ya siap diam di rumah, atau mencari kelompok-kelompok kecil yang mendirikan homeschooling murah. Kalau Homeschooling yang punya 'merk', wah itu mah sama saja dengan sekolah swasta. Biayanya bisa 50 juta!
Keompok-kelompok seperti ini seharusnya bisa membantu masyarakat miskin, agar tidak terus miskin hanya karena tidak bisa ke sekolah. Tanpa lembaga yang namanya sekolah, rasanya masih bisa dicarikan alternatif lain yang bisa mencerdaskan mereka. Pendidikan tidak sama dengan sekolah *formal* kan?
28 August, 2007
Liberalisasi Pendidikan
Menyambung postingan dari Farlan mengenai pendidikan gratis, di kompas tgl 28 Agustus 2007, halaman depan, membicarakan soal pendidikan kita yang semakin menjadi komoditi. Tampaknya, ruang-ruang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan murah harus segera diperjuangkan, kalau tidak, kalah sama kebijakan yang semakin condong ke pemilik modal.
simak saja kutipan berikut:
Dalam Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007—keduanya terkait soal penanaman modal asing—disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal sebagai bidang usaha dapat dimasuki modal asing dengan batas kepemilikan maksimal 49 persen.Kita semakin dijauhkan dari cita-cita pendidikan yang membebaskan, amanat UUD 45 kita yang sakti itu. Ajaibnya, yang melanggengkan itu adalah pemerintah sendiri, pengemban amanat UUD 45 dan Pancasila. Weleh-weleh...
Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, masuknya bidang pendidikan sebagai bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing, meski dengan persyaratan, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah telah memosisikan pendidikan sebagai komoditas. Padahal, katanya, persoalan pendidikan bukan sebatas hitungan untung rugi. Di dalamnya, dan ini yang penting, terdapat visi dan misi ideologi bangsa.
10 November, 2006
Gugatan Ujian Nasional 2006
Setelah mediasi gugatan UN 2006 gagal dilakukan, sidang lanjutan gugatan Ujian Nasional (UN) digelar PN Jakarta Pusat (18/10) diisi dengan eksepsi para tergugat. Gugatan terhadap UN ini diajukan oleh Tim Advokasi Korban Ujian NAsional (Tekun) yang mewakili kurang lebih 398.049 orang warga negara Indonesia (WNI) korban UN. Gugatan Citizen Law Suite ini ditujukan kepada Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan.
1). Perkara ini akan membuat status siswa yang tidak lulus UN 2006
terkatung-katung bisa sampai 5 tahun lamanya.
2). ujian dimanapun memang lebih singkat waktunya dibandingkan proses belajar.
3). Dugaan adanya kebocoran soal UN tidak bisa dibuktikan oleh aparat hukum.
4). Pernyataan Yusuf Kalla yang menyebut siswa yang tidak lulus UN sebagai siswa yang malas dan bodoh, tergugat membantah kalau pernyataan tersebut tergolong perbuatan melawan hukum.
5). Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini. materi gugatancitizen law suite berhubungan dengan perkara pelanggaran HAM. Perkara ini lebih tepat diselesaikan di PTUN. Hal ini didasarkan pada berkas gugatan penggugat yang mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan azas-azas umum pemerintahan yang baik.
Isi gugatan merupakan pengujian material terhadap PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Institusi yang memiliki wewenang untuk mengadakan pengujian material terhadap PP tersebut adalah MA.
Sidang selanjutnya yang akan digelar 08 November mendatang, pihaknya akan menyusun jawaban yang berisi penolakan terhadap seluruh eksepsi tergugat.
powered by performancing firefox
23 June, 2006
Lagi-lagi UAN(G)

Ujian Nasional memang kini disingkat UN. Bukan lagi Ujian Akhir Nasional yang disingkat UAN seperti tahun lalu. Tapi seperti yang kita semua tahu, UAN atau UN lagi-lagi menuai polemik.
Perdebatan soal UN ini terkait dengan perbedaan persepsi pemerintah dan DPR dalam mengkaji Pasal 57 dan 58 UU Sisdiknas. Berdasarkan pasal 57 pemerintah berhak menyelenggarakan ujian nasional. Namun, menurut kalangan anggota Komisi X DPR yang dimaksud dalam pasal 57 itu bukan ujian, melainkan evaluasi. Sedangkan, pasal 58 menyebutkan sekolah dan guru yang berhak menyelenggarakan ujian tersebut.
Sebut saja penolakan forum bersama Poros Pelajar yang terdiri dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Pelajar NU (IPNU), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Institute for Education Reform( IER) Paramadina, Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip), Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pendidikan, dan Front Mahasiswa Nasional (FMN). Forum ini memprediksi dalam UN yang diselenggarakan satu kali ini akan banyak yang berguguran, terutama di wilayah pedesaan, anak miskin di perkotaan, dan di daerah bencana serta konflik.
Kenapa proses mengatahui kualitas pendidikan kita ini selalu menuai polemik? Kompas sendiri menilai polemik seputar UN mulai berubah menjadi pembicaraan ngalor ngidul, pembicaraan yang tidak ada gunanya (?) Agak aneh juga, mengingat reputasi Kompas sebagai harian besar yang sangat dihormati.
Coba tengok judul tulisan ini. Benarkah ini masalah UN/UAN atau UANG? Dari sumber yang sama, yaitu Balitbang Depdiknas, dua media mencatat angka yang berbeda. Kompas mencatat Rp 250 Milyar, sedangkan Media Indonesia mencatat 280 Milyar. Angka yang fantastis bukan? Belum lagi dana dari setiap daerah yang dialokasikan melalui APBD, tidak kecil jumlahnya, seperti yang dilakukan di Medan dan Semarang . Semua itu demi menggratiskan UN yang fenomenal ini.
Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proses UN ini? Mereka yang mengelola ratusan milyar itu? Atau para pelajar yang menerima kunci jawaban dari guru-guru mereka? Dengan besaran anggaran seperti ini, siapa yang tidak mati-matian mempertahankan keberadaan UN? Alasan uang pada akhirnya merebak, meski ditutupi dengan berbagai alasan klise yang tidak jelas juntrungannya.
Kecurangan seputar UN
Bicara pelanggaran, memang hal yang lain lagi. Tapi apakah terpikir oleh pemerintah, bahwa mematok kelulusan melalui UN hanya akan membuat sekolah mengakali UN ini dengan memberi kunci jawaban ke siswanya? Apakah kenaikan prosentase kelulusan, dan nilai rata-rata sekonyong-konyong menjadi tolok ukur keberhasilan UN?
Berikut adalah data dari Kompas: untuk SMA, angka kelulusan naik dari 80,76 persen tahun 2005 menjadi 92,50 persen; madrasah aliyah dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen; SMK dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen. Adalah logika yang sederhana, jika sekolah tidak menginginkan reputasi mereka anjlok gara-gara UN. Dan seribu satu cara bisa dilakukan, termasuk mengirim jawaban melalui SMS yang berakhir dengan babak belur-nya seorang siswa di Banten . Hasil UN disana memang dianulir, tapi di tempat lain apa yang terjadi?
Sedemikian terbukanya kecurangan yang terjadi, dan seperti biasa, tidak ada audit yang dibeberkan kepada publik mengenai penyelenggaraan UN kali ini, termasuk UAN tahun lalu, baik dari segi pengelolaan uang, maupun dari segi penyelenggaraan kegiatan. Ingat, UAN yang lalu pemerintah dengan arogan mengeluarkan sistem konversi, agar nilai rata-rata hasil UAN bisa "dipermak". Hmmm...
Pada akhirnya UN hanya mengajarkan kecurangan, dan jalan pintas. Tak tanggung-tanggung, kecurangan itu dilakukan secara sistematis, dan terstruktur. Masih pantaskah kita bicara ngalor-ngidul tentang UN?
Seribu satu pertanyaan, dan sulit mencari jawaban di negeri yang suram ini. Di negeri korupsi ini, uang bisa (baca: sudah) menjadi Tuhan.
17 May, 2006
Mahal, Pendidikan Bermutu Rendah
Anggaran pendidikan yang hampir tak pernah lebih dari 10 persen APBN, target kelulusan ujian nasional yang rendah, standar pendidikan yang baru ribut disusun setelah 60 tahun merdeka, dan pendidikan yang seolah-olah hanya urusan Menteri Pendidikan, mengungkap satu hal: pemerintah tidak memiliki kebijakan pendidikan berorientasi mutu tinggi.
Pemerintah berganti-ganti, termasuk pemerintah saat ini, masih percaya, orang Indonesia yang rata-rata miskin tidak berhak memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi karena pendidikan semacam ini mahal (terlalu mewah) biayanya. Benarkah demikian?
Itu adalah kebijakan yang amat keliru dan biaya pendidikan murah serta bermutu rendah ini justru mahal sekali. Kemiskinan adalah harga yang harus dibayar dari pendidikan semacam ini.
Kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu tinggi telah menyebabkan infrastruktur pendidikan yang jauh dari memadai (gedung rusak tidak terawat, perpustakaan dengan koleksi usang dan terbatas), guru yang tidak kompeten dan memiliki citra diri yang negatif, serta proses-proses pembelajaran yang miskin inovasi karena penelitian pendidikan yang telantar.
Akibat pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun, untuk dua tahun terakhir ini saja pengangguran warga usia produktif ditaksir mencapai sekitar 15 juta orang.
Pengangguran yang tinggi disebabkan dua hal: kesempatan kerja terbatas dan inkompetensi (warga yang tidak terdidik dan terlatih baik).
Dari dua hal ini, inkompetensi dalam banyak situasi merupakan faktor yang menyebabkan kesempatan kerja terbatas. Banyak lulusan pendidikan yang tidak memiliki kompetensi dasar yang dibutuhkan wirausahawan: berani mengambil risiko, kreatif, dan peka pasar. Birokrat yang tidak kompeten telah menampilkan perilaku yang tidak ramah pada investor sehingga investasi yang melahirkan kesempatan kerja tidak tumbuh seperti diharapkan.
Akibat pengangguran ini saja, kita telah merugi kira-kira Rp 15 triliun per bulan atau sekitar Rp 180 triliun per tahun berupa opportunity loss. Anggaran APBN yang hanya sekitar Rp 40 triliun saat ini tidak sebanding dengan kerugian akibat kehilangan kesempatan bekerja yang besarnya bisa mencapai empat kali lipat. Ini berarti, pendidikan yang bermutu rendah justru mahal sekali harganya. Bahkan, banyak perusahaan yang mulai melakukan relokasi usaha ke negara lain yang lebih ramah, seperti Malaysia, Vietnam, dan China.
Kolam talenta
Warga negara yang tidak kompeten juga menyumbang pada jumlah investasi yang rendah di negeri ini. Daya tarik investasi sebuah negara sebagian ditentukan oleh kolam talenta negeri itu. Warga yang tidak terampil, penguasaan bahasa asing yang amat terbatas, sikap yang tidak jujur, indisiplin, dan tidak toleran merupakan disinsentif bagi investasi. Lingkungan yang rusak juga merupakan indikasi warga negara yang tidak terdidik dengan baik.
Warga dan pemimpin yang tidak terdidik dengan baik gagal mengembangkan dialog sosial, menggunakan sarana demonstrasi sebagai cara berkomunikasi, bukan dengan berdebat.
Budaya demonstrasi, bahkan oleh mahasiswa, adalah indikasi kegagalan demokrasi yang sehat. Cara berkomunikasi satu arah ini menunjukkan kegagalan sekolah dan kampus mengembangkan budaya berbeda pendapat secara sehat. Kita tahu, demonstrasi mudah sekali ditunggangi untuk dibawa ke anarki, amuk massa, dan kerusakan prasarana serta sarana pembangunan.
Warga yang tidak terdidik hanya akan menghasilkan demokrasi yang tidak sehat, menghasilkan pemimpin yang tidak berkompeten. Berapa biaya yang harus kita tanggung akibat pejabat eksekutif dan legislatif, juga yudikatif, yang tidak kompeten secara moral dan teknikal?
Biayanya adalah reformasi yang tidak jelas ujungnya, seperti saat ini, serta revitalisasi ekonomi yang amat lamban.
Secara teoretis, kebijakan menetapkan target mutu pendidikan yang rendah (semacam nilai kelulusan ujian 4,50) adalah resep bagi banyak produk pendidikan yang cacat (lulusan pendidikan yang tidak kompeten jumlahnya justru besar).
Kebijakan mutu tinggi, jika disikapi secara konsisten, akan menghasilkan banyak lulusan yang kompeten, dan jumlah ketidaklulusan (yang tidak kompeten) justru sedikit. Kebijakan ini akan menghasilkan warga negara yang berkompeten dalam jumlah besar.
Masalahnya adalah, berbeda dengan cacat barang yang dengan mudah bisa didaur ulang, manusia yang terlanjur salah didik, tidak berkompeten secara moral, mahal sekali biaya rehabilitasinya. Warga semacam ini bukan aset bangsa, tetapi malah menjadi liability-nya. Dan, jika jumlahnya terlalu besar, akan menjadi "bom waktu" demografi.
Efek berganda
Investasi pembangunan pendidikan yang memadai akan menggerakkan ekonomi masyarakat dengan efek berganda yang besar melalui pembangunan sekolah baru, pengadaan dan perawatan infrastruktur pendidikan, peningkatan ekonomi perbukuan, serta daya beli guru yang meningkat (jumlahnya ratusan ribu). Warga yang kompeten tidak saja sanggup meraih setiap peluang kerja yang tersedia melalui investasi, tapi juga sanggup menciptakan lapangan-lapangan kerja yang baru.
Karena itu, kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu sekarang ini adalah kebijakan yang keliru dan mahal biayanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengambil alih kebijakan pendidikan nasional dari sekadar urusan Menteri Pendidikan Nasional.
Masalah pendidikan adalah masalah lintas sektor, harus menjadi kebijakan presiden. Kita harus segera mengambil kebijakan pendidikan berorientasi mutu yang tinggi.
Jika perubahan kebijakan pendidikan ini tidak kunjung berubah, saya curiga, kebijakan pendidikan yang tidak bermutu ini disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam. Money politics akan "tidak dibeli" oleh warga negara yang terdidik.
Daniel MOH Rosyid
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Tenaga Ahli Menristek, dan Dosen Teknik Kelautan ITS