Showing posts with label media-literacy. Show all posts
Showing posts with label media-literacy. Show all posts

03 October, 2010

PNFI, Mewujudkan Pembelajar Sepanjang Hayat


Demi pemerataan pendidikan nasional, menurut UU Sisdiknas ada beberapa jalur pendidikan yang bisa ditempuh. Setelah reformasi terjadi sedikit perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur,  sekolah dan luar sekolah, menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13). Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak diatur secara ketat. Tetapi dalam prakteknya, sistem pendidikan nonformal dan informal disatukan dalam satu Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) di bawah Kementrian Pendidikan Nasional.

Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15).
Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16). Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Itulah kenapa istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP.

Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).

Setelah menempuh jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) dilanjutkan ke jenjang pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18).

Sementara itu pendidikan nonformal di Indonesia diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Selain itu berfungsi juga dalam mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2).

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3).

Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6).

Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).

Paradigma Nonformal tapi Sok Formal
Entah bagaimana asal usulnya, pendidikan nonformal di Indonesia, yang dalam istilah lainnya disebut Non-Formal Education (NFE), justru terjebak dalam standarisasi dan pemformalan sistem, baik dalam isi maupun proses. Berdasarkan prioritas program Pendidikan Nonformal dan Informal di Indonesia, paling tidak mencakut 6 program:
  1. Pendidikan Kesetaraan
  2. Pendidikan Keaksaraan
  3. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
  4. Kursus dan pelatihan berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH)
  5. Pengarusutamaan Gender
  6. Pengembangan budaya baca

Dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, pendidikan nonformal dijelaskan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal 1 ayat 3). Pendidikan Nonformal juga terikat oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan (Pasal 1 ayat 24). 

Selain itu sistem pendidikan nonformal kita juga harus mengikuti aturan akreditasi, dengan adanya Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF) yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (Pasal 1 ayat 25). 

Dalam kasus pendidikan kursus dan pelatihan yang memfokuskan pada pendidikan keterampilan, akreditasi lembaga penyelenggara kursus atau kepelatihan ini masih masuk akal, karena kemudian melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini industri atau pasar. Jika seseorang membuka usaha baru, atau melamar pekerjaan, maka sertifikat yang didapatnya dari pendidikan kekursusan atau kepelatihan tersebut berguna sebagai bukti keterampilannya.

Yang agak aneh adalah dalam hal pendidikan kesetaraan, karena semua standar isi dan proses mengacu pada pendidikan formal, termasuk dalam implementasi KTSP. Dokumen perundang-undangan yang mengaturnya adalah Permendiknas No. 14/2007 tentang Standar Isi Paket A, Paket B, dan Paket C, dan Permendiknas No. 3/2008 tentang Standar Proses Kesetaraan Paket A, Paket B, dan Paket C.

Jadi apa sebenarnya paradigma pendidikan nonformal di Indonesia? Sebagai pebandingan, dalam sebuah jurnal dari Philipina, berjudul Evolving Paradigms in Nonformal Education: A Synthesis and A Research: Bases for a  Curriculum in Master in Nonformal Education, dijelaskan sekilas mengenai perkembangan paradigma pendidikan nonformal:

Alternative philosophy characterized as appropriate and autonomous as well as advanced and accelerated. Appropriate objectives and goals accentuate congruence to the learner’s realization of needs. Autonomous goals and objectives should respect and consider the individuality of the learner, so that all intentions must emanate from the individual himself.  Realization of such intents will be translated into a satisfying reality. Such condition enables the learner to be responsive and motivated to continuously go through the designed Nonformal Education learning system. 
Through the application of appropriate alternative learning system, the acquisition of objectives and the realization of the goals can be accelerated, thus learners’ satisfaction is attained. Autonomous goals can be elevated from simple to advanced, upon consideration and application of alternative mode of action. 

Paradigma yang bersifat filosofis ini menekankan pada kemandirian warga belajar, baik dalam menentukan tujuan belajarnya, maupun dalam menentukan prosesnya. Orientasi belajarnya sangat menekankan pada kebutuhan kehidupan sehari-hari. Akselerasi pencapaian tujuan belajar warga belajar, dapat dilakukan melalui sistem pendidikan nonformal yang dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan karakteristik warga belajar, difasilitasi oleh para pelaku dan pengelola pendidikan nonformal.

Filosofi ini kemudian ditopang oleh empat pilar mendasar yang menjadi tujuan atau orientasi pendidikan nonformal, yaitu 
Learning to learn focuses in a combination of a broad general knowledge with  the opportunity to work-in-depth on a small  number of subjects. 
Learning to do pertains to the acquisition not only of an occupational skill but also, more broadly, the competence to deal with many situations and work in teams.  
Learning to live together deals on the development of an understanding of other people and  appreciation of interdependence in a spirit of   respect for the values of pluralism, mutual understanding and   peace.  
Learning to be is the development of one’s personality and ability to act with ever greater autonomy, judgment, and personal responsibility. 

Dalam jurnal tersebut, Director Edicio de La Torre (2004) of Education for Life in the Philippines, menyatakan bahwa standard dan struktur implementasi pendidikan nonformal di lapangan, harus mengacu dan konsisten dengan filosofi di atas. Standard dapat mengacu pada set kriteria yang digunakan sebagai dasar pengukuran pencapaian suatu keterampilan tertentu. Ukurannya sangat tergantung pada kondisi dan situasi dimana masyarakat berada, terkait isu kawasan, dan sistem sosialnya.

Ini mengindikasikan bahwa standar PNFI tidak bisa dikembangkan secara nasional, mengingat kondisi masyarakat kita yang sangat beragam. Standar dapat dikembangkan berdasarkan sifat kawasan dimana masyarakat berada. Dalam hal ini Direktorat Jenderal PNFI sudah mengisyaratkan adanya pengkajian yang khusus untuk berbagai jenis kawasan, misalnya kawasan pegunungan, pesisir, dan perkotaan. Perbedaan ini akan mewarnai tema-tema dan jenis keterampilan yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di lingkungan PNFI.

Persoalannya, pada saat hasil pembelajaran PNFI ini akan disetarakan dengan hasil pendidikan formal, terutama terkait jenjang pendidikan. Bahwa angka kelulusan pendidikan dasar merupakan target formal dalam sistem pendidikan nasional kita, kemudian membebankan sistem PNFI untuk mencapai standard yang sama dengan pencapaian pendidikan formal. Meskipun pengelolaan pendidikan kesetaraan, sebentar lagi akan dikembalikan pada Direktorat Pendidikan Dasar, dan Direktorat Pendidikan Menengah, tetapi pada pelaksanaan di lapangan tetap di bawah pengelolaan para pelaku PNFI.

Ini akan menimbulkan kekacauan tersendiri, mengingat para pelaku PNFI di lapangan, dalam waktu yang bersamaan, harus berganti paradigma dari sistem pendidikan formal ke pendidikan nonformal. Bukan tugas yang ringan mengingat dampaknya pada penggunaan pendekatan, metode, dan proses belajar yang berbeda pula.

Bayangkan, dalam konteks pendidikan nonformal, tidak ada "guru" yang secara sistematis dikelola dan dibiayai oleh negara. Mereka adalah para tutor atau fasilitator yang bisa berlatar pendidikan apa saja, dan terkadang sukarela, atau bersifat pengabdian. Alasannya menjadi tutor bisa karena "daripada menganggur di desa". Karena tuntutan standarisasi pendidikan formal, mereka harus dilatih mengenai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), untuk dipraktekkan di kelompok belajar, atau di pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Ini karena standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan nonformal mengunakan standard yang sama seperti yang digunakan di lingkungan pendidikan formal.

Cita-cita besar PNFI, yang ingin Mewujudkan Pembelajar Sepanjang Hayat, sebaiknya kembali ke paradigma nonformal yang seutuhnya. Konsistensi ini sangat perlu, karena sistem pendidikan nonformal, tidak bisa dipandang sebagai "tempat sampah", tempat dimana kegagalan sistem pendidikan formal menyediakan layanan pendidikan, dilimpahkan begitu saja kepada lingkungan PNFI, tetapi tidak menyediakan sarana dan prasarana yang setimpal. Mewujudkan masyarakat pembelajar, adalah membekali mereka dengan kemampuan Learning to Learn, Learning To Do, Learning to Live Together, dan Learning to Be.

Pendidikan nonformal ada baiknya juga mulai mengkaji penyiapan warga belajar, masyarakat pada umumnya dalam hal menghadapi tantangan pendidikan di Abad 21. Dalam berbagai deklarasi yang terus diperbarui, sejak tahun 1982 (Deklarasi Grunwald - UNESCO) sudah diprediksi bahwa masyarakat dunia akan membutuhkan kemampuan menggali informasi dan mengolahnya, sehingga dapat memahaminya secara komprehensif dan menggunakannya secara produktif.

Duabelas rekomendasi dihasilkan, berdasarkan empat ruang lingkup program yang masih relevan hingga saat ini, yaitu; (1) Pengembangan pendidikan media di semua tingkatan pendidikan; (2) Peningkatan kapasitas guru dan awareness para pihak di lingkungan sosial masyarakat, (3) Penelitian dan diseminasi hasilnya; serta (4) Kerjasama di tingkat internasional dalam implementasinya. Rekomendasi ini dihasilkan dalam The Paris Agenda—12 Recommendations for Media Education.

Ini baru salah satu tantangan yang perlu dihadapi masyarakat di dunia nyata. Sementara, peningkatan kemampuan ini akan terus bersaing dengan perkembangan teknologi yang semakin gencar memaksa perubahan perilaku masyarakat. Program-program keaksaraan di tingkat masyarakat, sebaiknya mulai mengadopsi kebutuhan global ini, daripada sekedar berkejar-kejaran dengan standar pendidikan formal yang jelas akan sulit dipenuhi dengan sarana dan prasarana yang tidak merata.

08 February, 2010

Literasi Setengah Hati


Literasi, dalam program pemerintah seringkali diterjemahkan lurus menjadi program Calistung, Baca-Tulis-Hitung. Paling tidak itulah program awal yang berkaitan dengan literasi, karena memang yang menjadi target adalah angka melek-huruf rakyat Indonesia. Standar minimum melek huruf di Indonesia memang bisa membaca, baik itu huruf latin, dan/atau huruf Arab. Secara lengkap, dijelaskan bahwa melek huruf berarti mampu mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan.

Program melek huruf sudah menjadi program PBB, karena dipercaya melek huruf memiliki kaitan sangat erat dengan kemiskinan. Untuk itu, hari melek huruf diperingati setiap tahunnya, pada bulan September, tepatnya pada tanggal 8 September. UNESCO, mendeskripsikan hari melek huruf, atau Literacy Day sebagai berikut:
September 8th was proclaimed International Literacy Day by UNESCO on November 17, 1965. It was first celebrated in 1966. Its aim is to highlight the importance of literacy to individuals, communities and societies. On International Literacy Day each year, UNESCO reminds the international community of the status of literacy and adult learning globally. Celebrations take place around the world. Some 774 million adults lack minimum literacy skills; one in five adults is still not literate and two-thirds of them are women; 72.1 million children are out-of-school and many more attend irregularly or drop out. – UNESCO
Berdasarkan informasi di web tempointeraktif.com, pada semester pertama 2006, jumlah buta aksara mencapai 8,36 persen atau 3.182.492 orang. Pemerintah menargetkan buta aksara usia 15 tahun ke atas, turun menjadi 5 persen pada 2009. Lengkapnya, berikut kutipan dari tempointeraktif.com:
Pada tahun 2004 angkanya mencapai 15,4 juta orang, atau 10,21 persen dari jumlah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas. Tahun 2006 jumlahnya turun menjadi 12,88 juta (8,44 persen), dan tahun 2007 turun menjadi 11,87 juta (7,33 persen).
Hingga tahun 2009, Indonesia tercatat negara dengan 92% penduduknya sudah melek huruf, berdasarkan data UNDP tahun 2009. Pencapaian ini sungguh tampak hebat, karena jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan sudah mencapai 240-an juta per 2009. Angka melek huruf ini berlaku untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas.


Tapi dibalik angka melek huruf itu, ada data mengenai kemampuan membaca yang diteliti oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Lembaga riset ini melakukan penelitian 5 tahun sekali, dimulai pada tahun 2001. Beberapa negara di dunia sudah diteliti, dan data-datanya juga diterbitkan untuk umum. Indonesia masuk dalam data tersebut, pada tahun 2006, yang menunjukkan bahwa angka partisipan pendidikan di Indonesia, masih didominasi oleh kalangan pembaca 'pas-pasan'.

Artinya, ada potensi 54% dari penduduk yang melek huruf di Indonesia (waktu itu), baru menunjukkan kemampuan baca yang pas-pasan. Hanya sedikit sekali jumlah penduduk yang sudah memiliki kemampuan membaca yang baik, bahkan menurut standar PIRLS, yang memiliki kemampuan baca mahir kurang dari satu persen! Ini baru membaca teks, belum kemampuan dalam berhitung. Sementara, ada 25% lagi yang statusnya tidak jelas. Tapi kita masih disibukkan dengan UN, yang tidak jelas mau mengukur apa.

Kemampuan membaca, sangat menentukan kualitas intelektual penduduk, karena melek huruf saja tidak menjamin wawasan mereka kemudian jadi luas. Melek huruf saja baru menjamin satu hal, mengenali abjad dan bisa membaca. Sementara dari definisi di atas, selain mampu mengidentifikasi dan memahami, diperlukan kemampuan mengolah dan mengkomunikasikan kembali.

Jadi, sementara sibuk dengan program memberantas buta huruf, harus mulai diseriuskan upaya meningkatkan kemampuan membaca bangsa ini, sehingga mencapai kualitas literasi yang maksimal. Sudah mulai tumbuh komunitas perpustakaan keliling, atau taman bacaan yang lebih ilmiah, bukan sekedar komik dan bacaan hiburan lainnya.

Pada saat yang sama, media informasi semakin berkembang, dan menuju pencapaian yang luar biasa cepatnya. Setelah ada radio dan televisi, kini ada internet, yang tidak saja menyuguhkan teks, tapi juga bahasa rupa dan rungu. Kita butuh tidak saja literasi teks, tapi juga literasi visual. Selain itu internet menawarkan lingkungan baru, dengan aturan baru pula. Kita yang tidak literate, hanya akan jadi penonton, atau paling tidak cuma bisa mengkonsumsinya. Lalu muncullah kasus-kasus 'pelanggaran' yang belakangan rame, upaya reproduksi tanpa mengindahkan etika.

Dengan informasi di atas, saya sih tidak terlalu heran kalau kasus-kasus akan bermunculan semakin banyak. Literasi jaman sekarang, sudah tidak bisa lagi berkutat seputar membaca teks, tetapi juga bagaimana mengelola informasi itu menjadi sesuatu yang berguna. Dan itu semua, hanya bisa berjalan kalau kita tahu tata-kramanya.

Karenanya, media literacy, atau melek media sudah sepantasnya jadi perhatian kita. Jangan sampai diperdaya informasi, berdayalah dengan informasi!

[ via medialiterasi.co.cc ]

11 October, 2008

Terpesona Keluguan Laskar Pelangi

laskarpelangithemovie.com

Ketika mau menonton film ini, sebelumnya terbesit rasa khawatir. Khawatir karena tidak banyak sutradara kita yang mampu menerjemahkan sensasi novel menjadi sebuah film cerita. Dengan unsur visual yang harus menggantikan tarian kalimat-kalimat dalam novel, biasanya banyak visualisasi yang mengecewakan karena kita yang sudah pernah membaca novelnya jadi kehilangan imajinasi atas novel itu.

Begitu nonton Laskar Pelangi, ada sesuatu yang berbeda. Memang sensasinya tidak sedahsyat membaca novelnya. Tapi saya kira Riri Riza berhasil membuat sesuatu yang justru unik. Tidak terjebak untuk melulu mengilustrasikan nnovel, tetapi diceritakan kembali dengan cita rasa yang lain. Saya lebih menangkap aura keluguan dalam sepanjang film, plus semangat dan tentu saja nilai-nilai perjuangan di sana.

Perjuangan Lintang, sang jenius yang kurang begitu beruntung, menurut saya menjadi semacam bagian yang ditebalkan dalam film ini. Selain mendapat porsi khusus di penghujung film, juga perannya di sepanjang cerita cukup dominan. Tentu saja dengan tidak melupakan keunikan Mahar dan kesedihan Ikal ditinggal pergi sang pujaan hati.

Dibanding cerita tentang Ikal dan Mahar, maka kisah Lintang 'lebih' selaras dengan plot film ini secara umum. Perjuangan, pantang menyerah, dan pada akhirnya, takdir. Kisah Laskar Pelangi, yang memang bercerita tentang bagaimana sebuah cita-cita menjadi inspirasi untuk tidak menyerah, agaknya tampil lebih dominan dari kisah Lintang.

Segenap semangat, cita-cita dan harapan anak-anak ini tampil lugu dan menyentuh. Lugu dalam arti yang sebenarnya, karena Anda tidak akan menyaksikan aktor hebat sekelas McCulay Culkin ketika memerankan Home Alone. Tapi Anda disuguhi anak-anak yang bercerita tentang kisah orang lain, dengan penghayatan seadanya, tapi menyentuh. Justru kesederhanaan penghayatan inilah yang menunjukkan dunia kekanak-kanakan yang menjadi roh cerita ini.

Lintang mungkin terlalu dewasa untuk anak seusianya, tapi inilah bagian dari cerita. Anda hanya perlu menyaksikannya, dengan hati lapang dan riang gembira. Tidak perlu risau dengan teknik-teknik pemeranan, atau dramaturgi kelas wahid. Santai, dan nikmati saja alurnya. Dan satu hal mengenai pendidikan yang diucapkan dengan sangat serius, bahwa pendidikan tidak bisa hanya diukur dengan angka-angka, tapi juga harus dengan hati.
Reblog this post [with Zemanta]

10 August, 2008

Mengukur Hasil Pendidikan Kita

Selama ini, UN masih diperdebatkan sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan kita. Tetapi sayangnya, yang menjadi ukuran hanyalah variabel kecerdasan otak, dan bukan kecerdasan mental. Lalu, ketika tidak banyak anak-anak yang dirasa bisa lolos dari lubang jarum yang namanya UN, ramai-ramai dibuka kelas-kelas akselerasi, bak mesin mobil F-1 yang di 'tune-up' supaya larinya lebih kencang.

Daripada capek-capek mengukur standar keberhasilan pendidikan kita, kenapa tidak coba dengan sesuatu yang lebih sederhana, misalnya seberapa banyak pengguna jalan yang paham akan rambu-rambu di jalan raya? Seberapa banyak orang yang mampu bertahan dalam antrian yang rapi dan terkendali? Seberapa banyak orang yang mampu membedakan mana uang korupsi dan mana hasil diseminasi?

Orang-orang yang korupsi sekarang ini di DPR, adalah produk pendidikan masa lalu, paling tidak kurikulum tahun 70-an. Bahkan di antara mereka ada yang produk 80-an. Kenapa tidak mencoba lebih pintar dengan memperhatikan kegagalan kurikulum yang melahirkan para koruptor itu, lalu segera memperbaikinya.

Dengan cara-cara UN sekarang ini, anak-anak sudah diajarkan bagaimana caranya memperoleh hasil dengan jalan pintas. Tidak perlu sekolah dasar 6 tahun, tidak perlu sekolah menengah 3 tahun, karena jawabannya ada pada kelas akselerasi, atau kursus-kursus. Kursuslah yang mampu menjawab UN, lalu buat apa sekolahan?

Kenapa bersusah payah mengukur standar kependidikan kita, dengan ukuran yang dibuat oleh orang lain? Karena kita memang bangsa kuli, yang bisanya mengekor kebijakan orang lain? Seperti juga presiden yang bisa didikte oleh segerombolan orang dari Amerika yang menamakan dirinya anggota Kongres? Bagaimana presiden kita yang terhormat itu akan merespon surat dari Amerika yang arogan itu?

Halah. Kita dibuat capek dengan sibuk mempermak muka kita demi orang lain. Kita tidak pernah benar-benar mengarahkan pendidikan untuk kepentingan diri kita sendiri. Nyatanya sarjana pertanian nganggur, lantaran tidak ada lagi lahan pertanian. Padahal, katanya negeri ini negeri agraris. Mau jadi negara industri? Kalau tidak bisa bikin inovasi, jangan mimpi!


Enhanced by Zemanta