Belakangan ini, istilah shared learning nge-trend bener. Paling tidak di lingkungan kerja saya. Pokokna mah lagi hot lah. Ada juga lembaga donor, tertarik untuk mendanani program seperti ini. Memangnya apa sih shared learning? Apa pula kaitannya dengan pendidikan alternatif?
Saya jelas bukan ahlinya shared learning. Tapi ini hanya sekedar mencoba menuangkan gagasan dan sumbang pemikiran saja, berdasarkan terpaan diskusi dan bahan bacaan dari berbagai sumber. Kalau Anda penasaran, ketik saja kata shared learning di halaman google, maka Anda akan mendapatkan kira-kira 22,200,000 hasil telusur untuk shared learning. Kalau Anda ubah sedikit pencarian Anda, hanya di google.co.id, maka Anda akan temukan kira-kira 7,970 hasil telusur untuk shared learning.
Shared learning berkaitan dengan budaya. Paling tidak itulah impresi saya, terutama setelah membaca sebuah temuan dari website www.bpkpenabur.or.id, tentang Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural, sebuah opini oleh Prof. Dr. Sutjipto, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, dan dimuat dalam Jurnal Pendidikan Penabur, No.04/ Th.IV/ Juli 2005.
Berikut adalah kutipan dari tulisan tersebut,
Kultur sendiri memang sulit didefinisikan, namun tidak dapat disangkal bahwa ia berfungsi sebagai katalisator pembentukan kepribadian manusia itu, dan sekaligus menjadi tujuan kehidupan suatu masyarakat. Barangkali apa yang dijelaskan oleh Schein (1992) dapat menolong memahami pengertian kultur tersebut. Menurut Schein, ada beberapa hal yang berhubungan dengan konsep kultur, yaitu:
- regularitas perilaku manusia jika ia berinteraksi dengan yang lain, yang meliputi bahasa yang dipergunakan, kebiasaan dan tradisi, ritual yang dilakukan;
- norma kelompok, yaitu standar dan nilai yang berkembang dalam suatu kelompok;
- nilai yang ingin dicapai oleh suatu kelompok dan diketahui umum;
- filosofi atau keyakinan yang dianut oleh suatu komunitas;
- aturan main, yang harus diikuti oleh anggota komunitas itu;
- iklim, yaitu apa yang dirasakan bersama tentang lingkungan dimana seseorang berada;
- ketrampilan yang melekat yang diwariskan kepada generasi muda;
- kebiasaan berpikir, model mental dan/atau paradigma linguistik, yang merupakan kerangka kognitif yang dirasakan sebagai acuan dalammembangun persepsi, berpikir dan bahasa yang dipakai kelompok;
- shared meaning, yaitu munculnya pengertian yang diciptakan oleh kelompok pada saat mereka berinteraksi satu sama lain, dan
- akar metafora (root metaphors) atau integrasi simbol, yaitu ide, perasaan, dan citra kelompok yang dikembangkan sebagai ciri kelompok itu yang dapat atau tidak diapresiasi secara sadar, namun melekat dalam berbagai karya seperti bangunan, layout kantor dan artifak lainnya.
Ada pernyataan Schein yang perlu dikutip, sehubungan dengan kultur terutama dalam kaitannya dengan suatu proses belajar. Ia mengatakan sebagai berikut:
The most useful way to think about culture is to view it as the accumulated shared learning of a given group, covering behavioral, emotional, and cognitive elements of the group members’ total psychological functioning. For shared learning to occur, there must be a history of shared experience, which in turn implies some stability of membership in the group. Given such stability and shared history, the human need for parsimony, consistency, and meaning will cause the various shared elements to form into patterns that eventually can be called culture (p.10).Kutipan itu menunjukkan bahwa kultur adalah suatu proses yang di satu pihak stabil, tetapi juga di lain pihak selalu berkembang sesuai dengan akuisisi dari suatu proses shared learning.
Jika digunakan konsep kultur sebagai proses belajar yang menuntut keterlibatan psikologis yang total dan intensif para pelakunya, maka pendidikan multikultural merupakan proses kulturalisasi tentang multikultural. Jika diperhatikan pula bahwa kultur adalah shared meaning akibat interaksi dengan lingkungan, pendidikan itu sendiri sebenarnya adalah proses pembentukan kultur multikultural.
Sejak anak lahir, manusia bersosialisasi dengan lingkungannya. Jika ia menangis, maka orang tuanya mengerti apa artinya tangisan itu. Ia makin berkembang, dan dalam keluarga itu ia belajar bagaimana berbagi perasaan dan arti dengan ibu, bapak, saudara, nenek yang kemudian berkembang ke sanak saudara dan tetangga dan masyarakat yang makin lama makin luas, sehingga masuk kepada budaya dunia (global culture). Ia harus secara cerdas mengakomodasi nilai-nilai yang terterpa (exposed) kepadanya, sehingga terbentuk kulturnya melalui proses internalisasi nilai itu.
Di sini shared learning disebutkan hanya akan terjadi jika memang pernah terjadi pertukaran pengalaman yang mempengaruhi status para anggota kelompok tersebut. Implisit saya menangkap, keberadaan kelompok itu terjadi secara organik, dan sudah berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Mungkin saja terjadi tanpa, atau dengan intervensi pihak lain.
Mari kita lihat kutipan selanjutnya.
Karena kultur menyangkut asumsi yang menjadi dasar nilai, tujuan dan strategi yang kemudian terlihat dari artifaknya baik fisik maupun perilaku, maka pemahaman dan internalisasi nilai multikultural itu menjadi amat penting, dan bukan hanya menyangkut masalah kurikulum. Sebagai wahana pengembangan, kurikulum memang penting, tetapi perlu diingat bahwa hal itu hanya merupakan sebagian dari dari upaya menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural.
Orangtua, kepala sekolah, guru, bangunan fisik sekolah, proses belajar mengajar, perlakuan terhadap murid, kesempatan terlibat dalam kegiatan kelompok, belajar melakukan perbandingan dari berbagai macam kultur dalam bentuk shared learning adalah contoh beberapa perangkat untuk menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural. Pendidikan multikultural berarti juga pengembangan kreativitas yang merupakan faktor yang sangat penting dalam pendidikan.
Orang tidak akan kreatif dalam situasi yang kaku, dan penuh komando, tetapi akan berkembang jika mereka merasa aman. Sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk berinteraksi sebagai bagian dari group learning untuk membangun kultur. Pembangunan kultur multikultural inilah yang harus menjadi bagian penting dalam manajemen sekolah.
Disini memang menggunakan istilah group learning, mengingatkan saya tentang kisah kegiatan belajar kelompok. Dulu, sewaktu sekolah kami senang sekali belajar kelompok, terutama kalau anggotanya cantik-cantik. Atau dengan sengaja mengajak para gadis itu untuk belajar kelompok, sekedar alasan agar bisa bertemu lebih sering dan lebih lama.
Shared learning, dapat terjadi dalam sebuah kelompok. Hasilnya adalah shared meaning. Ini akan terinternalisasi menjadi filosofi, atau norma dalam konteks sosial. Shared learning, menjadi sangat dekat dengan kegiatan belajar kelompok yang sebenarnya, bukan seperti yang barusan saya contohkan. Kelompok yang dengan serius berinteraksi, menemukan makna-makna baru kehidupan melalui interaksi tersebut. Tidak ada narasumber, kecuali pengalaman mereka sendiri. Semua menjadi narasumber dalam kelompok.
Anda ingat film Fight Club? Ada banyak klub yang saya kenal melalui film-film Hollywood. Salah satunya adalah klub pecandu alkohol. Dalam klub ini Anda bisa berkeluh kesah di antara para mantan pecandu, atau yang masih jadi pecandu dan berharap bisa berhenti. Mereka mencari support group. Nah, dalam film Fight Club, gagasannya adalah menebar anarki dan kekerasan sebagai salah satu terapi. Terapi terhadap penyakit apa? Nah, ini dia. Penyakit-penyakit sosial, yang menjangkit tanpa bisa dideteksi dengan stetoskop dokter.
You're not your job. You're not how much money you have in the bank. You're not the car you drive. You're not the contents of your wallet. You're not your fucking khakis. You're the all-singing, all-dancing crap of the world.
Melalui kekerasan, baik melampiaskan kekerasan atau menerimanya sebagai sebuah keniscayaan, Fight Club bersama-sama memaknai kembali kehidupan. Dan ternyata banyak yang berhasil menemukan makna itu melalui jalan rintisan Tyler Durden, si dedengkot Fight Club. Durden sendiri, sempat kecanduan menghadiri berbagai klub, hanya demi menemukan citra dirinya sendiri. Hingga akhirnya ia mendirikan Fight Club.
Mana shared learning-nya? Mana pula belajar kelompoknya? Belajar bersama-sama dalam kelompok, dalam suasana saling dukung, dan saling memberi-menerima, merupakan kunci yang seharusnya menjadi landasan utama shared learning. Fight Club adalah sebuah contoh ekstrim. Di sana penuh kekerasan. Tapi lihatlah bagaimana seorang pemimpin seperti Durden terkadang juga harus terkapar dihajar orang lain, hanya demi sebuah metode belajar yang diyakininya. Ini bukan tentang kalah-menang, ini tentang memaknai sebuah proses, mengambil hikmahnya, dan menggeneralisirnya menjadi aturan main, kebiasaan berpikir, bahkan filosofi baru. Mungkin juga ideologi atau bahkan 'agama' baru.
No comments:
Post a Comment