20 November, 2007

Paket B sekali lagi!!!!



Hari ini, untuk kedua kalinya saya mengantarkan murid-murid saya untuk mengikuti Ujian Paket B. dari 8 orang murid saya yang harusnya mengikuti ujian, hanya ada 7 orang murid yang bisa ikut. Satu orang murid saya yang tidak ikut ujian dikirim orang tuanya unruk menjadi
tukang bangunan di Jawa.

Dari 7 orang muridku yang mengikuti ujian, ada 6 orang yang ujian PAket B di PKBM Amanah dan 1 orang ujian di Patra Komala.

Kami semua tiba di PKBM Amanah pukul 12.oo. Hingga sekitar pukul 12.30, PKBM Amanah masih sepi. PKBM Amanah memiliki 2 ruang kelas yang kecil. Suasananya mengingatkan saya akan sekolah murid-murid saya yang telah bubar.

Ujian mulai pukul 13.oo. Mendekati waktu ini, pengawas pun telah tiba. Ibu Euis, pemilik PKBM Amanah, dan seorang guru dari SMP Bina Bangsa merupakan pengawasnya. Selain ke 6 muridku, ada juga 5 orang bapak-bapak yang juga mengikuti ujian.

Ujian pertama adalah PPKN. Perlu diketahui bahwa kami semua belum mengetahui jadwal ujian untuk 3 hari ini dan waktunya sebelum kemarin pk 13.oo. Gila bukan!! Kami baru diberitahu jadwal ujian sehari sebelumnya!! Bahkan, kemarin pagi, kami belum mengetahui apakah ujiannya pagi atau siang.

Setiap muridku diminta oleh oihak PKBM untuk membayar p 250.000,- per anak. Hal itu cukup berat untuk keluarga murid-muridku, dan sampai seminggu sebelum ujian, kami masih bingung darimana harus mendapatkan uangnya.

Beruntunglah kami, seorang kenalan dari internet membantu membiayai uang ujian ketujuh muridku. Kami sangat bersyukur akan hal ini.

Walaupun uang sumbangan tersebut telah saya pegang, sampai ujian tadi saya belum membayarkannya ke PKBM. Saya ingin tahu apakah saya akan ditagih atau tidak.

Waktu saya sedang menungu murid-muridku yang ujian PPKN, saya dipanggil untuk masuk ke ruang kelas yang tidak digunakan untuk ujian.

"Ibu ada yang manggil," kata Bu Euis. Ternyata seorang ibu yang berseragam dinas pendidikan, Bu Dewi namanya. Dia ternyata memanggilku untuk mengingatkanku bahwa anak-anak belum membayar uang ujian.

Saya iseng bertanya," Bukannya pemerintah yang membiayai?" Ibu itu pun menjawab,"Ibu jangan salah, ujian ini tidak disubdsidi pemerintah. Tolong dibedakan yah. Ada ujian yang disubsidi pemerintah. Kalau ini tidak."Dan secara manis, ibu tersebut mencoba merayuku,"Ini uangnya kan dipakai buat uang transport. Pengawasnya kan tiap hari ada 2, jadi untuk 3 hari pengawasnya ada 6. Kalau disubsidi pemerintah mah kita juga gak bakal minta. Selain itu kan buat transport pengawas."

Dalam hati saya percaya bahwa sebenarnya pihak PKBM Amanah memungut bayaran dalam keadaan 'terpaksa'.Pasti ada pihak tertentu yang memberikan tekanan pada PKBM untuk menarik bayaran1. Saya telah menanyakan penduduk sekitar tentang PKBM Amanah. Bu Euis, pemilik PKBM Amanah terkenal karena sering memberikan bantuan pendidikan ke anak-anak usia SD – SMU di sekitar sana. Selain itu ia sibuk mengajar di sana-sini.

Teman saya telah memperingatkan saya bahwa bisa saja pihak PKBM Amanah menggratiskan anak-anak untuk ikut ujian, tetapi pihak PKBM Amanah mungkin akan ditekan oleh pihak tertentu. Salah satu bentuk tekanan yang mungkin terjadi adalah pihak PKBM dimintai menggantikan uang anak-anak yang tidak membayar. Walaupun ini belum tentu benar, saya tidak berharap hal ini terjadi.

Akhirnya saya pun membayar uang ujian murid-murid dengan hasil sumbangan seorang kenalan di Internet. Untuk 6 orang anak, saya harus membayar 6 x Rp 250.000,- = 1,5 juta rupiah.

Setelah saya membayar, saya mendapatkan perlakuan yang sangat manis dari Ibu dari dinsa pendidikan Kota Bandung, yang katanya merupakan penilik ujian yang tugasnya adalah untuk mengawasi ujian tersebut. Aku benci sekali sikap 'sok manis ini' ini dan sebenarnya saya marah sekali. Akan tetapi kemarahan tersebut saya simpan dalam hati dan saya paling memberikan semyuman sinis pada ibu tersebut.

Ibu tersebut meminta Bu Euis untuk meberikan saya soal matematika yang akan diujiankan untuk pelajaran kedua(saat itu masih waktu untuk ujian I). Katanya saya boleh membuatkan solusinya dan memberikannya ke anak-anak saat ujian. "Biar anak-anak lulus, kasian kan udah 2 kali gak lulus."

Saya menolak sambil tersenyum sinis.

Saya bahkan ditawarkan untuk mengisi lembar jawabannya Heri, muridku yang tidak mengikuti ujian karena telah menjadi tukang bangunan. Agar Heri nanti bisa mendapatkan ijazah.

Saya pun menolak.

Saat anak-anak akan memasuki ujian ke dua, saya diperbolehkan masuk ke dalam kelas. Saya duduk di bangku kosong panjang yang ada di belakang kelas. Saat soal dibagikan, saya pun diberi soal matematika yang diujiankan.

Karena iseng, dan suka menghitung, saya pun membuat solusi jawaban. Rencananya akan saya simpan sendiri, sebagai 'bahan tambahan belajar' untuk murid-muridku yang sekarang. Tapi ternyata ibu-ibu dari dinas pendidikan mengira saya membuatkan kunci jawaban untuk murid-murid saya yang akan ikut ujian,"Nah gitu dong!" Padahal, solusi tersebut sama sekali baut muridku yang saat itu sedang mengikuti ujian. Dan saya sama sekali tidak suka dengan kata-kata si ibu tersebut. Saya pun sibuk sendiri menghitung dan membiarkan si ibu pergi.

Ujian selesai sekitar pukul 17.00 kami pun pulang. Saya ingin segera pulang untuk menuliskan apa yang telah saya alami hari ini.

-dari Puti/Taboo

1 comment:

Anonymous said...

Duh... menyedihkan sekali ya mbak realitas pendidikan kita di lapangan.
Banyak kontribusi yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi ini; mulai penolakan, perlawanan, advokasi, hingga menuliskan fakta-fakta yang terjadi seperti ini.
Semoga fakta-fakta seperti ini bisa menggugah siapapun yang terkait..