Bagaimana tidak, anak-anak yang berusia antara 11-18 tahun itu bergaul bebas dengan narapidana lain di Rutan. Tata nilai yang dibangun dalam pergaulan seperti itu, justru mengukuhkan nilai-nilai ‘kepremanan’ yang selama ini dianut oleh anak-anak itu, baik secara sadar maupun tidak.
Penghargaan biasanya diberikan pada mereka yang aksi kriminalnya paling ‘hebat’. Para terpidana dengan masa tahanan paling lama, menjadi tolok ukur kehebatannya. Pemerkosaan adalah aksi kriminalitas yang dipandang ‘hina’ oleh komunitas narapidana di dalam Rutan. Karenanya, tak jarang terpidana kasus perkosaan akan mendapat perlakuan buruk di dalam Rutan oleh rekan-rekan narapidana lainnya.
Tata nilai seperti ini menjadi norma sosial di kalangan mereka, dan ini tampaknya diadopsi dengan cepat oleh anak-anak yang menjadi narapidana di sana. Hukum rimba berlaku, sementara anak-anak ini sudah bisa dipastikan sebagai pihak yang paling lemah. Anak yang paling lemah, hanya akan menjadi bulan-bulanan rekannya yang lebih kuat. Sementara anak yang paling kuat sekalipun, takkan berdaya menghadapi narapidana dewasa.
Kejahatan yang dilakukan anak-anak itu memang tidak se-mengerikan senior-seniornya. Meski demikian, ada juga kasus pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan. Hukuman paling lama yang dijatuhkan pada anak-anak tersebut adalah lima tahun, dengan tindak kejahatan memperkosa rekan seusianya. Ada pula yang masuk Rutan gara-gara mencuri kabel, ia dihukum 6 bulan karenanya.
Anak yang terakhir disebut ini cukup menarik perhatian. Usianya baru 13 tahun, seusia dengan anak-anak lain yang duduk di bangku SMP. Motifnya mencuri kabel-kabel tersebut adalah untuk bertahan hidup. Meski kedua orang tuanya masih ada, tapi kemiskinan yang mendera keluarga mereka mengakibatkan anak ini sangat pragmatis dalam memandang masa depannya.
Ia sadar, tak gampang mendapatkan pekerjaan, apalagi bagi anak seusianya. Ayahnya, seorang pekerja serabutan, terkadang menjadi kuli bangunan. Itupun jadwalnya tak tentu, terkadang satu tahun sekali, atau enam bulan sekali. Keluarga yang terdiri dari ayah. Ibu, dan 4 orang anak itu berjuang untuk bisa tetap hidup normal.
Anak ini rela berbuat apa saja, agar adik-adiknya bisa menamatkan sekolah. Tanggung jawab sebagai seorang kakak, membuatnya berada dalam situasi yang sulit. Untuk anak seusianya, turut menanggung beban keluarga sedemikian berat rasa-rasanya di luar batas kemampuannya. Terbatasnya pilihan dalam mengatasi permasalahan hidup, membuatnya memilih jalan ‘lain’ untuk bisa bertahan.
Kesedihan tampak di wajahnya ketika membayangkan suasana ramadhan di rumah. Terbayang kehangatan keluarganya, senyum sang ibu, canda riang adik-adiknya, dan suasana berbuka atau waktu sahur. Dengan nada getir ia bercerita, meski meja makan tak pernah lebih dari nasi dan tempe, tapi rumah adalah tempat terbaik baginya.
Di sisi lain, kehidupan di Rutan memang tak terlalu jauh berbeda dengan kenyataan hidupnya sehari-hari. Rutan yang hanya sanggup mensubsidi makanan untuk narapidana sebesar 3000 rupiah sehari perorang, tak bisa menyediakan banyak pilihan makanan. Kualitas makanannya pun sulit dijamin kesehatannya. Makanya banyak di antara narapidana yang memilih makan mie instant daripada jatah makanan dari Rutan.
Kapasitas Rutan yang dihuni anak ini menurut informasi pihak Rutan sebenarnya sudah tidak mampu menampung jumlah narapidana. Dengan kapasitas 800 orang, Rutan ini kini dihuni oleh sekitar 1.500 orang narapidana. Bayangkan betapa sesaknya. Ini pula yang menyebabkan turunnya kualitas pelayanan Rutan, karena jumlah penghuni Rutan sudah tidak sesuai lagi dengan kapasitasnya. Sebagian napi tidak lagi tidur di tempat yang cukup layak, karena tempat yang layak sudah dikuasai oleh oknum-oknum napi yang berkuasa. Siapa yang mau memanfaatkannya, harus membayar sejumlah uang kepada si penguasa.
Anak tadi sadar betul, bahwa cepat atau lambat, setelah keluar dari Rutan nanti ia akan kembali lagi. Pencurian demi pencurian yang sudah menjadi agendanya ke depan, menjadi pilihan dengan konsekuensi yang jelas. Ia tahu bahwa apa yang diperbuatnya salah, tetapi tak ada pilihan lain. Bertahan hidup, atau mati. -
29 July, 2005
Ah, Nanti Juga Kembali
Rumah tahanan (Rutan) yang dihuni pula oleh anak-anak, sungguh memilukan hati kondisinya. Di salah satu Rutan di Bandung, keberadaan anak-anak di Rutan ini bisa dibayangkan sebagai sebuah ‘pematangan’ sikap dan nilai kriminalitas, daripada sebagai sebuah tempat rehabilitasi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment